Cari Blog Ini

Selasa, 08 Agustus 2017

Serangkaian Peristiwa Menuju HUT ke-72 RI


 
 
Miris di tengah modernisasi bangsa, masih banyak masyarakatnya yang berpikir secara primitif. Belakangan ini, bukanlah kasus Rizieq yang menjadi perhatian saya, karena menurut saya dia sudah kalah telak, hingga menunda kepulangannya ke Indonesia. Bukan pula koalisi mantan jendral yang bergabung melawan tukang kayu, karena menurut saya sudah jelas ketakutan Pilpres mendatang sudah tergambar di wajah mereka.
Saya juga tidak tertarik mengomentari HT yang labil, dengan mendukung ke sana, lalu ke sini. Apalagi membahas tentang serentetan artis ibu kota yang terjerat kasus narkoba. Mulai dari yang gemuk—bertato pun memiliki segudang alasan. Yang saya hendak bahas di sini, ketika menjelang HUT ke-72 RI, sifat primitif bangsa Indonesia mulai terlihat.
Beberapa hari lalu, muncul kasus di media massa, di mana seorang ‘terduga’ pencuri di musala, dibakar hidup-hidup. Setelah saya mengikuti beberapa kasus di media sosial, dan media massa, dia merupakan seorang tukang servis, yang memang benda tersebut milikinya, yang dibawa masuk, karena takut hilang jika ditinggal di luar. Lalu, mengapa bisa bangsa Indonesia yang sudah mapan, berpikir primitif seperti itu?

Cara Berpikir
Sebagian masyarakat Indonesia, masih memiliki pola pikir yang rendah. Survei dari suatu lembaga survei mengatakan, 60% masyarakat Indonesia menggunakan pola pikir dasar, artinya langsung menelan berita tanpa meneliti kebenarannya. Sama halnya seperti beredarnya berita hoax di media massa, masyarakat memercayainya sebagai kebenaran yang hakiki. Inilah yang membuat sikap dan karakteristik bangsa Indonesia menjadi primitif. Setiap ada isu atau teriakan secara histeris yang didengarkan oleh orang lain, mereka langsung berkelompok dan menjadi hakim jalanan.
Ketidaklogisan suatu berita, dipandang sebagai wujud eksistensi zaman, di mana setiap masyarakat modern, meyakini bahwa perkembangan berdasarkan tingkat kecerdasan. Akan tetapi, berita yang dimuat di media massa, memancing pembacanya untuk kritis membaca, bukan melihat sekilas, kemudian percaya akan isinya. Penulis di media massa, membuat suatu berita  yang memang dimaknai secara tersirat, agar pembacanya menjadi cerdas, tetapi masyarakat Indonesia cenderung malas dalam menelaah suatu informasi.
Dari malasnya berpikir, kemudian bangsa Indonesia menjadi bangsa yang ‘gelap’ akan gaya bahasa seorang penulis. Hal ini berdampak pada cara berpikir bangsa Indonesia yang semakin aneh belakangan ini. Mereka yang dikenal kekeluargaan, bersahaja, seakan kehilangan jati dirinya. Cara masyarakat membuat hukum jalanan, menjadi suatu contoh nyata, bahwa bangsa Indonesia telah kehilangan jati diri bangsanya. Hukum tidak lagi menjadi suatu hal yang mutlak dipatuhi di Indonesia.
Selain cara berpikir yang pendek, main hakim sendiri, masyarakat Indonesia mulai kehilangan semangat dalam memecahkan masalah hidup. Mereka cenderung mengambil jalan pintas dalam menyelesaikan masalah hidupnya, padahal jalan pintas itu tidak menyelesaikan masalahnya. Sikap yang seperti ini, haruslah hilang dari generasi bangsa Indonesia, karena bangsa Indonesia merupakan bangsa yang terbiasa berpikir dan mencari solusi atas permasalahan hidupnya, bukan mengambil jalan pintas.

Memaknai Modernisasi
Sebagai bangsa yang modern, masyarakat Indonesia dituntut lebih matang dalam berpikir. Salah satunya dalam menelaah suatu informasi yang berkembang di masyarakat. Perkembangan zaman mengharuskan bangsa Indonesia melakukan  transformasi dalam pelbagai aspek. Misalnya dalam bidang pendidikan, pembangunan, dan politik yang selama ini menyumbang kemajuan bangsa.
Sebagai bangsa yang maju, bangsa Indonesia sudah melalui tahap tersulit, yaitu saat era penjajahan, dan saat ini bangsa Indonesia sedang berusaha untuk berkembang. Pembangunan di mana-mana, pergolakan politik yang cukup hangat, banyaknya generasi muda berprestasi, merupakan salah satu makna modernisasi. Mereka yang masih berpikir primitif, seharusnya memetik hikmah dari apa yang sedang terjadi di Indonesia. Jika tidak bisa mengikuti perkembangan zaman, maka dia akan tergerus oleh zaman.
Memaknai modernisasi bukan hanya menerima pembangunan, melainkan membentuk pola pikir yang kritis. Sikap mengkritisi, menelaah, meneliti, merupakan suatu bentuk karakteristik bangsa Indonesia yang modern. Seharusnya bangsa Indonesia menghapus budaya primitif mulai saat ini. Segala macam aksi yang memang bertolakbelakang dengan ideologi bangsa, seharusnya mulai ditinggalkan. Aksi demonstrasi, main hakim sendiri, dan memercayai berita yang belum pasti haruslah tidak ada dalam era modern seperti saat ini. Terlebih lagi, seorang politisi yang ternyata tidak menghargai adanya pembangunan yang modern. Tersesat di simpang Semanggi, lantas menyebutnya sebagai pembangunan yang gagal, lalu bagaimana jika Anda berkunjung ke Dallas? Semoga tidak ada lagi generasi primitif di Indonesia yang malas membaca dan mengkaji.

0 komentar:

Posting Komentar