Cari Blog Ini

Jumat, 25 Agustus 2017

Strategi Politik Kotor HTI dalam Menghancurkan Indonesia

Kemenangan Anies-Sandi dalam Pemilukada DKI Jakarta bukan hanya kemenangan bagi diri dan partai pengusungnya. Kemenangan ini juga merupakan kemenagan bagi ormas-orams Islam radikal yang selama ini setia mendukung mereka. HTI adalah salah satu dari mereka dan merupakan ormas yang paling intens melakukan aksi-aksi mengecam Ahok, tidak cuma di Jakarta namun di kota-kota lainnya. Ormas bernafaskan Islam yang mulai masuk ke Indonesia pada awal tahun 80-an ini, pada pemilukada DKI seakan memiliki stimulan untuk bangkit melakukan aksi dengan citra sebagai pembela Islam.
Padahal tahun-tahun sebelumnya kita sangat jarang melihat sepak terjang HTI di jalan-jalan, kalaupun ada biasanya isunya lintas negara seperti membela teroris di Suriah yang disebutnya Jihadis. Aksi-aksinya pun tidaklah pernah terekskalasi seperti sekarang. Biasanya hanya berbentuk aksi damai yang selalu berujung pada pengedaran kotak donasi untuk membantu warga muslim Suriah yang kemudian belakangan terbukti donasi itu mereka salurkan untuk para jihadis (teroris), bukan untuk warga Suriah.
Gerakan HTI sebelum proses pemilukada DKI Jakarta adalah gerakan underground. Gerakannya sangat hati-hati karena mereka paham bahwa tujuan gerakannya menyimpang dari nilai-nilai Pancasila yang hidup di masyarakat Indonesia. Menonjolkan ideologinya secara terbuka sama saja dengan bunuh diri. Mereka berusaha serapi mungkin untuk tidak bersinggungan dengan orma-ormas Islam yang moderat seperti NU dan Muhammadiyah.
Pemilukada DKI atau pasca polemik pidato Ahok di kepulauan seribu menjadi momentum bagi mereka untuk unjuk gigi. Tak akan ada yang mampu mengahalangi mereka, karena slogan di setiap demonya mencatut nama Islam yaitu “membela Islam”.  Menentang mereka seketika akan mendapatkan predikat penentang pembela Islam atau antek-antek kafir. Mereka berhasil melenggang di mimbar-mimbar jalanan dan mempromosikan HTI sebagai organisasi Islam yang bisa diandalkan oleh kaum muslim di Indonesia.
Anggota-anggota HTI di daerah-daerah lain dibangunkan dan  berhasil menguasai jalan-jalan utama setiap kota ketika aksi. Peserta aksi bukan hanya dari kalangan HTI saja tapi juga umat muslim lainnya yang termakan propaganda. Organisasi ini semakin menggila ketika Anies-Sandi berhasil menang dalam hitungan cepat pemilukada DKI Jakarta. Gerakan mereka semakin dimasifkan di seluruh Indonesia dengan membangunkan jaringan-jaringannya yang selama ini bekerja secara senyap. Mereka tidak takut lagi bersinggungan bahkan adu sikut dengan NU. NU melalui Banser dan Ansornya harus beberapa kali berjibaku dengan HTI seperti bentrok di Makassar, mengagalkan konvoi HTI di bandung, dan penolakan forum internasional khilafah di Bogor. Itu belum lagi pernyataan sikap Banser dan Ansor di Jombang, Tulungagung, Jember, Sidoarjo, Purbalingga, Karanganyer dan Surabaya yang menolak keberadaan HTI.
Kini HTI sudah mulai menabuh genderang perang terhadap Indonesia. Aksi-aksi provokasi yang mereka lakukan di berbagai wilayah di tanah air adalah upaya awal untuk memulai perang yaitu untuk mengukur dan memetakan kekuatan kelompok-kelompok yang selama ini menolak mereka. Saya memprediksi tak akan ada adu fisik di lapangan antara Ansor-Banser melawan HTI di lapangan tahun ini. Selain karena kalah jumlah massa, alasan yang paling tepat untuk mengatakan itu adalah tidak inginnya HTI ditetapkan sebagai pelaku/tersangka jika terjadi bentrok dengan Ansor-Banser. Stigma yang muncul di masyarakat ketika bentrok itu terjadi adalah HTI sebagai provokator bentrok karena melakukan aksi-aksi yang sudah jelas dilarang oleh Ansor-Banser dan dalam beberapa kasus juga dilarang oleh polisi. Tentu itu bukan metode HTI, mereka lebih suka diposisikan sebagai korban dalam setiap kasus agar mendapatkan simpati dari masyarakat muslim.
Desain konflik yang direncanakan HTI untuk melakukan makar di Indonesia sebenanya sangat mudah terbaca. Skenario mereka bangun sangat mirip dengan skenario yang dilakukan saudaranya Jabhat Al Nusra yang merupakan salah satu kelompok teroris di Suriah. Pasca pemilukada Jakarta ini mereka akan mecari isu yang lebih seksi untuk menjatuhkan Jokwi dari isu “menista agama” yang disematkan pada Ahok. Isu PKI mungkin tidak akan terlalu menjual lagi karena sudah mereka coba pada pilpres kemarin dan terbukti gagal. Isu yang paling potensial adalah isu yang sama yang menimpa Bashar Al Assad presiden Suriah yaitu pembredelan demonstrasi yang berujung pada pembantaian terhadap warga sendiri yang merupakan pelanggaran HAM berat.
Pemicu perang di Suriah di mulai dari aksi kecil-kecilan di Suriah. Aksi kecil-kecilan itu berujung pada bentrok antar tentara dan pengunjuk rasa, kemudian mengalami polarisasi akibat pemberitaan media-media mainstream internasional yang melebih-lebihkan bentrok, sehingga berujung pada datangnya para jihadis dari berbagai negara untuk berperang melawan Assad. Hal ini jugalah yang akan dilakukan HTI untuk menjatuhkan Jokowi. Mereka akan melakukan aksi-aksi provokasi terhadap polisi dan tentara sehingga terjadi bentrok dan jatuh korban jiwa. Jatuhnya korban jiwa akan menjadi alasan bagi mereka untuk menuding pemerintah melanggar HAM dan meminta negara-negara asing untuk menekan pemerintah RI.
Negara-negara asing yang selama ini dipecundangi Jokowi karena eksistensi perusahaan-perusahaannya diusik tentu akan ambil bagian dalam perang melawan Jokowi ini. Mereka akan menggunakan corong media-medianya untuk memberitakan miring pemerintahan Jokowi dan membentuk citra Jokowi sebagai rezim otoriter. Kelompok-kelompok radikal di timur-tengah dan kelompok Abu Sayyaf di Filiphina bisa jadi akan berpindah medan jihad ke Indonesia. Alasan mereka tentu sanagat kuat “membela saudara muslim di Indonesia yang sedang dizholimi dan dibantai”.
Makar di Indonesia tentu akan didesain lebih rapi ketimbang di Suriah yang telah memasuki tahun ke 6 konflik. Mereka akan belajar dari kesalahan-kesalahan saudara mereka di Suriah yang berlansung lama dan sampai sekarang tanda-tanda kemenangan mereka belum terlihat. Ditambah Jokowi memiliki kekuatan yang lebih kuat dari Assad karena setianya Polri dan TNI pada pemerintah, berbeda dengan Assad yang tentaranya sendiri banyak yang mengalami desersi dan bergabung dengan kelompok teroris. Potensi desersi TNI sangatlah minim disebabkan bertolak belakangnya ideologi Pancasila yang selama ini ditumbuhkan pada diri-diri tentara Indonesia dengan Ideologi Khilafah HTI.
Mengalahkan TNI dan Polri dengan kekuatan para jihadis juga hal yang mustahil bisa terlaksana. Kekuatan kelompok teroris dunia semakin mengecil dengan semakin berhasilnya tentara Irak dan Suriah dalam menggempur mereka di negaranya. Kekuatan yang paling mungkin menumbangkan Jokowi hanyalah tentara asing dari negara lain yang terlatih dan memiliki peralatan militer lengkap dan modern. Kekuatan tentara asing yang paling berpotensi melakukan itu hanyalah Amerika. Amerika tidak sedang senang hati pada pemerintah Indonesia akibat diusiknya Freeport dan tuduhan presiden Trump bahwa Indonesia melakukan kecurangan dalam perdagangan internasional.
HTI dan kelompok afiliasinya tentu sudah mengkaji itu. Kekuarangan Jokowi dari Assad adalah tidak adanya sekutu asing yang bisa dipercaya oleh Indonesia, berbeda dengan Assad yang memiliki Rusia dan Iran. Skenario yang paling cocok sebagai finishing adalah meniru penghancuran Khadafi di Libya. Khadafi terbunuh dan tentaranya menyerah hanya dengan sekali serang oleh militer NATO.  Tentara Indonesia juga bisa jadi menyerah pada Amerika dan sekutunya dengan sekali serang jika melihat kekuatan militer kita yang turun dua peringkat dari peringkat 12 ke 14 pada tahun 2016 menurut Global Fire Power. Celakanya peringkat kekuatan militer Negara lain di atas Indonesia diduduki oleh Amerika dan sekutunya minus Rusia, China, dan India.
Jokowi tentu sudah tahu skenario yang dimainkan oleh HTI ini. Sekarang tentu Jokowi sudah menyiapkan segala cara untuk menangkal makar jahat terhadap pemerintahannya. Jika Jokowi berkaca pada Assad maka Jokowi pasti sadar kekuatan apa yang membuat Assad bisa bertahan selama 6 tahun menghadapi keroyokan negara asing plus kelompok teroris. Sangat disayangkan, kekuatan itu adalah kekuatan rakyat Suriah yang loyal pada pemerintahnya dan itu belum terbukti di Indonesia. Loyal di sini bukanlah hanya pada tahap berucap mendukung pemerintah dan berusaha membuktikannya dengan status-statusnya di medsos. Itu hanyalah loyal pada perkataan saja tanpa aksi nyata. Sudah saatnya rakyat Indonesia ikut mengantisipasi perang yang dilancarkan HTI terhadap keutuhan bangsa dan negara. Sudah saatnya kita ikut turun ke jalan untuk melawan propaganada HTI. Kita harus menunjukkan sikap mulai dari sekarang bahwa kita berada di pihak mana. Jalan-jalan bukan hanya milik kaum-kaum radikal tapi jalan-jalan itu adalah milik semua masyarakat Indonesia. Jokowi telah mepertaruhkan nyawa untuk melindungi bangsa Indonesia mari ikut bertaruh nyawa bersama Jokowi.Kemenangan Anies-Sandi dalam Pemilukada DKI Jakarta bukan hanya kemenangan bagi diri dan partai pengusungnya. Kemenangan ini juga merupakan kemenagan bagi ormas-orams Islam radikal yang selama ini setia mendukung mereka. HTI adalah salah satu dari mereka dan merupakan ormas yang paling intens melakukan aksi-aksi mengecam Ahok, tidak cuma di Jakarta namun di kota-kota lainnya. Ormas bernafaskan Islam yang mulai masuk ke Indonesia pada awal tahun 80-an ini, pada pemilukada DKI seakan memiliki stimulan untuk bangkit melakukan aksi dengan citra sebagai pembela Islam.
Padahal tahun-tahun sebelumnya kita sangat jarang melihat sepak terjang HTI di jalan-jalan, kalaupun ada biasanya isunya lintas negara seperti membela teroris di Suriah yang disebutnya Jihadis. Aksi-aksinya pun tidaklah pernah terekskalasi seperti sekarang. Biasanya hanya berbentuk aksi damai yang selalu berujung pada pengedaran kotak donasi untuk membantu warga muslim Suriah yang kemudian belakangan terbukti donasi itu mereka salurkan untuk para jihadis (teroris), bukan untuk warga Suriah.
Gerakan HTI sebelum proses pemilukada DKI Jakarta adalah gerakan underground. Gerakannya sangat hati-hati karena mereka paham bahwa tujuan gerakannya menyimpang dari nilai-nilai Pancasila yang hidup di masyarakat Indonesia. Menonjolkan ideologinya secara terbuka sama saja dengan bunuh diri. Mereka berusaha serapi mungkin untuk tidak bersinggungan dengan orma-ormas Islam yang moderat seperti NU dan Muhammadiyah.
Pemilukada DKI atau pasca polemik pidato Ahok di kepulauan seribu menjadi momentum bagi mereka untuk unjuk gigi. Tak akan ada yang mampu mengahalangi mereka, karena slogan di setiap demonya mencatut nama Islam yaitu “membela Islam”.  Menentang mereka seketika akan mendapatkan predikat penentang pembela Islam atau antek-antek kafir. Mereka berhasil melenggang di mimbar-mimbar jalanan dan mempromosikan HTI sebagai organisasi Islam yang bisa diandalkan oleh kaum muslim di Indonesia.
Anggota-anggota HTI di daerah-daerah lain dibangunkan dan  berhasil menguasai jalan-jalan utama setiap kota ketika aksi. Peserta aksi bukan hanya dari kalangan HTI saja tapi juga umat muslim lainnya yang termakan propaganda. Organisasi ini semakin menggila ketika Anies-Sandi berhasil menang dalam hitungan cepat pemilukada DKI Jakarta. Gerakan mereka semakin dimasifkan di seluruh Indonesia dengan membangunkan jaringan-jaringannya yang selama ini bekerja secara senyap. Mereka tidak takut lagi bersinggungan bahkan adu sikut dengan NU. NU melalui Banser dan Ansornya harus beberapa kali berjibaku dengan HTI seperti bentrok di Makassar, mengagalkan konvoi HTI di bandung, dan penolakan forum internasional khilafah di Bogor. Itu belum lagi pernyataan sikap Banser dan Ansor di Jombang, Tulungagung, Jember, Sidoarjo, Purbalingga, Karanganyer dan Surabaya yang menolak keberadaan HTI.
Kini HTI sudah mulai menabuh genderang perang terhadap Indonesia. Aksi-aksi provokasi yang mereka lakukan di berbagai wilayah di tanah air adalah upaya awal untuk memulai perang yaitu untuk mengukur dan memetakan kekuatan kelompok-kelompok yang selama ini menolak mereka. Saya memprediksi tak akan ada adu fisik di lapangan antara Ansor-Banser melawan HTI di lapangan tahun ini. Selain karena kalah jumlah massa, alasan yang paling tepat untuk mengatakan itu adalah tidak inginnya HTI ditetapkan sebagai pelaku/tersangka jika terjadi bentrok dengan Ansor-Banser. Stigma yang muncul di masyarakat ketika bentrok itu terjadi adalah HTI sebagai provokator bentrok karena melakukan aksi-aksi yang sudah jelas dilarang oleh Ansor-Banser dan dalam beberapa kasus juga dilarang oleh polisi. Tentu itu bukan metode HTI, mereka lebih suka diposisikan sebagai korban dalam setiap kasus agar mendapatkan simpati dari masyarakat muslim.
Desain konflik yang direncanakan HTI untuk melakukan makar di Indonesia sebenanya sangat mudah terbaca. Skenario mereka bangun sangat mirip dengan skenario yang dilakukan saudaranya Jabhat Al Nusra yang merupakan salah satu kelompok teroris di Suriah. Pasca pemilukada Jakarta ini mereka akan mecari isu yang lebih seksi untuk menjatuhkan Jokwi dari isu “menista agama” yang disematkan pada Ahok. Isu PKI mungkin tidak akan terlalu menjual lagi karena sudah mereka coba pada pilpres kemarin dan terbukti gagal. Isu yang paling potensial adalah isu yang sama yang menimpa Bashar Al Assad presiden Suriah yaitu pembredelan demonstrasi yang berujung pada pembantaian terhadap warga sendiri yang merupakan pelanggaran HAM berat.
Pemicu perang di Suriah di mulai dari aksi kecil-kecilan di Suriah. Aksi kecil-kecilan itu berujung pada bentrok antar tentara dan pengunjuk rasa, kemudian mengalami polarisasi akibat pemberitaan media-media mainstream internasional yang melebih-lebihkan bentrok, sehingga berujung pada datangnya para jihadis dari berbagai negara untuk berperang melawan Assad. Hal ini jugalah yang akan dilakukan HTI untuk menjatuhkan Jokowi. Mereka akan melakukan aksi-aksi provokasi terhadap polisi dan tentara sehingga terjadi bentrok dan jatuh korban jiwa. Jatuhnya korban jiwa akan menjadi alasan bagi mereka untuk menuding pemerintah melanggar HAM dan meminta negara-negara asing untuk menekan pemerintah RI.
Negara-negara asing yang selama ini dipecundangi Jokowi karena eksistensi perusahaan-perusahaannya diusik tentu akan ambil bagian dalam perang melawan Jokowi ini. Mereka akan menggunakan corong media-medianya untuk memberitakan miring pemerintahan Jokowi dan membentuk citra Jokowi sebagai rezim otoriter. Kelompok-kelompok radikal di timur-tengah dan kelompok Abu Sayyaf di Filiphina bisa jadi akan berpindah medan jihad ke Indonesia. Alasan mereka tentu sanagat kuat “membela saudara muslim di Indonesia yang sedang dizholimi dan dibantai”.
Makar di Indonesia tentu akan didesain lebih rapi ketimbang di Suriah yang telah memasuki tahun ke 6 konflik. Mereka akan belajar dari kesalahan-kesalahan saudara mereka di Suriah yang berlansung lama dan sampai sekarang tanda-tanda kemenangan mereka belum terlihat. Ditambah Jokowi memiliki kekuatan yang lebih kuat dari Assad karena setianya Polri dan TNI pada pemerintah, berbeda dengan Assad yang tentaranya sendiri banyak yang mengalami desersi dan bergabung dengan kelompok teroris. Potensi desersi TNI sangatlah minim disebabkan bertolak belakangnya ideologi Pancasila yang selama ini ditumbuhkan pada diri-diri tentara Indonesia dengan Ideologi Khilafah HTI.
Mengalahkan TNI dan Polri dengan kekuatan para jihadis juga hal yang mustahil bisa terlaksana. Kekuatan kelompok teroris dunia semakin mengecil dengan semakin berhasilnya tentara Irak dan Suriah dalam menggempur mereka di negaranya. Kekuatan yang paling mungkin menumbangkan Jokowi hanyalah tentara asing dari negara lain yang terlatih dan memiliki peralatan militer lengkap dan modern. Kekuatan tentara asing yang paling berpotensi melakukan itu hanyalah Amerika. Amerika tidak sedang senang hati pada pemerintah Indonesia akibat diusiknya Freeport dan tuduhan presiden Trump bahwa Indonesia melakukan kecurangan dalam perdagangan internasional.
HTI dan kelompok afiliasinya tentu sudah mengkaji itu. Kekuarangan Jokowi dari Assad adalah tidak adanya sekutu asing yang bisa dipercaya oleh Indonesia, berbeda dengan Assad yang memiliki Rusia dan Iran. Skenario yang paling cocok sebagai finishing adalah meniru penghancuran Khadafi di Libya. Khadafi terbunuh dan tentaranya menyerah hanya dengan sekali serang oleh militer NATO.  Tentara Indonesia juga bisa jadi menyerah pada Amerika dan sekutunya dengan sekali serang jika melihat kekuatan militer kita yang turun dua peringkat dari peringkat 12 ke 14 pada tahun 2016 menurut Global Fire Power. Celakanya peringkat kekuatan militer Negara lain di atas Indonesia diduduki oleh Amerika dan sekutunya minus Rusia, China, dan India.
Jokowi tentu sudah tahu skenario yang dimainkan oleh HTI ini. Sekarang tentu Jokowi sudah menyiapkan segala cara untuk menangkal makar jahat terhadap pemerintahannya. Jika Jokowi berkaca pada Assad maka Jokowi pasti sadar kekuatan apa yang membuat Assad bisa bertahan selama 6 tahun menghadapi keroyokan negara asing plus kelompok teroris. Sangat disayangkan, kekuatan itu adalah kekuatan rakyat Suriah yang loyal pada pemerintahnya dan itu belum terbukti di Indonesia. Loyal di sini bukanlah hanya pada tahap berucap mendukung pemerintah dan berusaha membuktikannya dengan status-statusnya di medsos. Itu hanyalah loyal pada perkataan saja tanpa aksi nyata. Sudah saatnya rakyat Indonesia ikut mengantisipasi perang yang dilancarkan HTI terhadap keutuhan bangsa dan negara. Sudah saatnya kita ikut turun ke jalan untuk melawan propaganada HTI. Kita harus menunjukkan sikap mulai dari sekarang bahwa kita berada di pihak mana. Jalan-jalan bukan hanya milik kaum-kaum radikal tapi jalan-jalan itu adalah milik semua masyarakat Indonesia. Jokowi telah mepertaruhkan nyawa untuk melindungi bangsa Indonesia mari ikut bertaruh nyawa bersama Jokowi.

0 komentar:

Posting Komentar