Cari Blog Ini

Senin, 28 Agustus 2017

Saracen Mengingatkan Kita Pada Genosida Rwanda Akibat Media Penyebar Kebencian

Sebagai rujukan dan untuk mengetahui seperti apa peristiwa yang terjadi di Rwanda, kalian bisa menonton sebuah film based on true Story berjudul “Hotel Rwanda”. Sebuah film yang  menceritakan pengalaman seorang Manager Hotel bernama Paul Rusesabagina yang bersuku Hutu dan istrinya, Tatiana, yang bersuku Tutsi.
Latar Belakang Peristiwa Pembantaian di Rwanda
Tension antara Suku Hutu dan suku Tutsi mengarahkan kedua suku terbesar di Rwanda ke arah perang sipil. Korupsi dan main sogokan di Rwanda saat itu, sudah menjadi hal yang biasa.  Kebencian Hutu yang merupakan suku mayoritas pada Tutsi yang minoritas, karena Suku Tutsi lah yang memimpin Rwanda, dengan  dukungan yang Tutsi dapatkan dari Belgia setelah Perang Dunia I selesai.
Sejak tahun 1990, pembantaian terhadap suku Tutsi sering terjadi dalam skala kecil. Pemerintahaan yang sudah dikuasai suku Hutu, mewajibkan penulisan keterangan SUKU (kalau di Indonesia, penulisan AGAMA pada KTP adalah keharusan, entah untuk apa maksudnya) pada kartu tanda penduduk Rwanda. Dan kartu ini yang membuat kehidupan rakyat Rwanda seperti berada pada kondisi apartaid di Afrika Selatan dulu. Pada tahun 1992, terjadi kesepakatan politik antara pemerintah dan Barisan Patriots Rwanda (Suku Tutsi) yang berlokasi diluar Rwanda untuk membagi kekuasaan. Hal ini memicu kemarahan ekstrimis Hutu.  Suku Hutu benar-benar ingin menghabisi seluruh Suku Tutsi dan untuk itu, mereka membuat gerakan propanda agar seluruh suku Hutu terlibat dalam pembantaian suku Tutsi.
Mulai dari tanggal 8 Juli 1993, berdirilah Radio-Television Libre des Mille Collines atau RTLMC milik suku Hutu.  Radio ini secara signifikan memiliki peran nyata pada peristiwa genosida atau pembantaian besar-besaran suku Tutsi yang terjadi pada bulan April 1994.
Nama stasiun radio ini berasal dari bahasa Perancis yang artinya “Tanah Seribu Bukit (Thousand Hills atau Land of a Thousand Hills)”. Mereka menyiarkan berita-berita agitasinya dengan menggunakan peralatan radio milik pemerintah, sehingga dapat menjangkau pendengar di seluruh negeri. Proyek khusus dari radio ini adalah menyebarkan propanda tentang rasisme terhadap suku Tutsi, moderat Hutu, orang berkebangsaan Belgia dan UNAMIR atau pasukan keamanan PBB.
Saat itu belum ada facebook, instagram dan twitter, jadi semuanya lewat radio dan koran. Penyiaran kebencian terhadap kelompok yang saya sebutkan diatas, mereka lakukan dengan sangat intent dan massive. Disiarkan hampir setiap menit dengan seruan-seruan dan lagu-lagu yang membuat suku Hutu terpancing amarah untuk mendokrin Suku Hutu agar membenci suku Tutsi.
Pada bulan April 1994, Radia RTLMC dengan semua provokasi yang disiarkan, berhasil menggerakkan suku Hutu untuk mulai memburu suku Tutsi. Mereka membunuh setiap suku Tutsi yang ditemuinya. Tua muda, besar kecil, laki-laki perempuan, anak-anak orang tua, semuanya mereka babat habis.
Cukup setahun saja mereka menyiarkan kebencian secara terus menerus tanpa hentinya, dan 1 juta lebih nyawa melayang. Jumlah populasi Rwanda pada tahun 1994 hanya 6 juta orang dan 80% adalah Suku Hutu. 
Radio RTLMC dibubarkan dan ditutup pada tanggal 31 Juli 1994.
Latar Belakang Suhu Politik di Indonesia
Kalau kita menilik ke bekalang, sejarah bangsa ini, apa yang yang terjadi hari ini adalah akumulasi dari sekian banyak kejadian di masa lalu. Pengawasan yang super ketat atas media untuk tidak pernah menyentil pemerintahan dan penguasa di jaman Orba adalah cikal bakal semua kebebasan yang kebablasan yang kita lihat hari ini.
Menurut pandangan saya, Saracen lahir karena dua alasan. Pertama adalah pemanfaatan kebebasan bersuara dan berpendatan setelah sekian puluh tahun dipenjarakan. Kedua, munculnya 2 putra terbaik bangsa (Jokowi dan Ahok) yang merubahan BUDAYA pemerintahan yang menggebrak dan merubah tatanan kehidupan kaum Siluman yang sudah terbiasa dengan kemudahan untuk membelokkan uang negara ke kantong mereka.
Pilkada Jakarta 2012, para siluman yang saya sebutkan diatas, masih belum melihat kekuatan aura Jokowi dan Ahok. Mereka pikir dua orang ini akan “biasa” saja sama seperti pemimpin-pemimpin daerah atau pejabat-pejabat negara lainnya. Pertarungan Pilkada 2012, murni dimenangkan oleh Jokowi-Ahok karena program yang mereka tawarkan. Setahun menjadi pemimpin Ibu Kota, Jokowi-Ahok cukup menggebrak dan membangunkan para siluman. Mereka mulai membelalakkan mata dan mengerutkan alis sambil berkata, “2 orang ini pikir, mereka siapa bisa mengobok-obok kenyamanan kira?”
Pucuk dicinta ulam tiba. Dua kepentingan bertemu dan jatuh cinta. Pernikahan mereka ternyata memakan begitu banyak biaya. Apa itu biayanya? Perpecahan bangsa! itu biaya pernikahan Saracen dan Siluman. Dan kalau pernikahan ini terus dibiarkan, percaya atau tidak, Indonesia akan berakhir seperti Rwanda pada tahun 1994 dimana terjadi genosida suku Tutsi oleh suku Hutu. Korban dalam hitungan bulan mencapai hampir 1 juta.
Setahun setelah kepemimpinan Jokowi-Ahok di Jakarta, Saracen lahir. Dia lahir pada tahun 2013.
Pilpres 2014, peran Saracen sama sepeti RTLMC di Rwanda. Dan sejak kelahirannya, selama hampir 4 tahun, secara intensive dan massive, Saracen melakukan penyebaran kebencian terhadap Jokowi dan Ahok melalui media online di dunia maya. Sementara sepak terjang Jokowi, yang memenangkan pertarungan Pilpres, dan naiknya Ahok menjadi Gubernur Jakarta, membuat 2 anak bangsa ini menjadi pasangan yang sangat mematikan bagi para Siluman. Bagaimana tidak, Jokowi menguasai pemerintahan pusat, Ahok menguasai pemerintahan propinsi terpenting di Indonesia.
Melihat itu semua, para siluman berpikir kalau mereka ingin terus hidup nyaman, tidak ada jalan lain kecuali menghentikan pergerakan Jokowi merubah budaya Indonesia. Kalau perlu dimatikan. Caranya bagaimana? Pilkada Jakarta! Dan rakyat Indonesia menjadi saksi hidup atas sepak terjang para siluman ini menggerakkan Saracen sebagai corong mereka di dunia maya, ditambah pasukan tambahan yang lebih bergerak di dunia nyata.
Harusnya Para Siluman Menang, Kalau Saja…..
Sungguh suatu perpaduan kekuatan yang mengerikan yang harusnya mampu menjungkir balikkan Jokowi dengan satu jentikan jari tangan. Ahok adalah umpan yang sangat mahal yang dibayar oleh para Siluman.
Sayangnya, ada satu hal yang tidak diperhitungkan oleh para Siluman. Terlewatnya satu hal ini, membuat mereka sekarang dalam posisi sangat berbahaya. Kalau Mereka memperhitungkan satu hal ini, kemungkinan usaha mereka bisa berhasil. Tapi, akal mereka tidak sampai dan biarpun mereka siluman, tapi mereka tidak punya bola kristal yang bisa melihat masa depan.
Pilihannya sekarang, jika para siluman ingin selamat dengan kenyamanan yang halal, mereka HARUS segera menghentikan semua usaha penarikan waktu ke jaman dulu. Ibarat, mereka harus memijit tombol “Pause” sekarang. Jika tombol “Pause” tidak ditekan dan cerita dilanjutkan, maka akhir cerita tidak akan seperti yang mereka inginkan. Rakyat akan tahu nama-nama pemeran dalam cerita. Kan begitu biasanya, kalau film sudah selesai, akan muncul : “Para Pemain” , misalnya Eggi Sudjana as Penasehat Saracen. Jokowi as Presiden Indonesia, Ahok asGubernur yang dipenjarakan. Termasuk nama-nama para siluman. Siapa yang menjadi sutradara? Saya tanyakan dulu sama Pink yang nyanyiin “God is a DJ”.
Kesamaan Saracen dengan RTLMC adalah, keduanya digerakkan oleh kaum mayoritas. Kalau RTLMC adalah suku mayoritas, kalau Saracen adalah agama mayoritas. Perbedaannya, RTLMC didukung pemerintah, Saracen didukung oleh penentang pemerintah.
Jika Saracen Tidak Diciduk…
Silahkan bayangkan sendiri. Saya hanya sangat bersyukur bahwa Polisi sudah mengungkap dan menangkap mereka. Dan ya, sangat penting untuk menyisir dan menelusuri semua orang yang beruang yang ada dibelakang Saracen. Karena istilah Saracen adalah “Mati satu tumbuh 1000!”

0 komentar:

Posting Komentar