Cari Blog Ini

Sabtu, 11 Maret 2017

Saat Ayat-Ayat Perang Digunakan Dalam Kondisi Damai, Kebhinnekaan Tercabik

Demokrasi Indonesia sedang diuji hebat dengan noise dari semua komponen masyarakat. Atas nama kebebasan berpendapat atau demo yang dijamin dan dilindungi Undang-Undang, seakan-akan semua boleh dilegalkan. Sadis dan kejam ! agama ikut-ikutan dijadikan tameng pembenaran atas khayalan.
Adalah kealpaan yang akut para wakil rakyat pembuat UU yang “hobi” membuat pasal karet dan multi tafsir, maka lengkap sudah kegaduhan yang ada.
Kita tidak boleh dan bisa menyalahkan perkembangan teknologi digital, karena apapun wujud dan canggihnya, selalu akan memiliki dua sisi  yang sama tajamnya. Masyarakat Indonesia sepertinya masih “gagap” dalam mengejawantahkan dari niat baik sang inventor. So jangan salahkan facebook, twitter, wa, instagram atau aplikasi lainnya.
Pilkada DKI kali ini, kegaduhannya sudah dalam taraf yang sangat akut stadium IV, terlampau banyak kepentingan yang ikut menungganginya. Sampai-sampai, siapa menunggangi siapa, tidak jelas terlalu absurb. Kepentingan politik selalu akan menarik sepanjang jaman, dengan slogan politik adalah pilar demokrasi.
Kesadisan dan kebengisan yang paling mengerikan adalah saat politik berbaur dengan kepentingan ekonomi, lalu disusupi dengan pembenaran agama. Batasan yang muncul menjadi semakin tipis dan rapuh, tetapi tajam menusuk kepada jiwa dan nurani individu yang berseberangan paham.
Awalnya FPI dan garis keras lainnya, muncul hanya sebagai jawaban atas penghayatan pribadi beberapa ulama yang tidak mendapatkan panggung, seolah-olah membenarkan bahwa mereka adalah korban (victim) dari kekuasaan. Khayalan-khayalan perlahan dibangun atas dasar ayat-ayat yang secara konteks dijabarkan dalam bahasa keseharian dengan sangat dangkalnya pemahamannya.
Penulis setuju dengan kesimpulan dari seorang Dafid Fuadi yang berhasil menyimpulkan salah satu bentuk propaganda atas kepentingan sesaat yang sangat naïf ini. Hal ini hanya akan memperlihatkan kekurangpahaman atas keyakinannya.
Lihat saja bagaimana kaum dangkal yang ingin memaksakan konsep wahhabi secara terstruktur, mulai menyerang dan begitu mudahnya menghakimi.
  1. Pertama stempel kata “musyrik”, “kafir”, “zindig”, “ahli bi’dah” dan “khurafat”.
  2. Tahap ke-2 menjadi kata “syiah”, “liberal”
  3. Tahap ke-3 menjadi “munafik”
  4. Tahap ke-4 menjadi kata “komunis”, “PKI”
  5. Tahap akhir apabila belum mempan juga akan memakai peran sebagai korban terzalimi, “playing victim
Contoh kecil bagaimana agama mulai diterjemahkan dalam konteks kepentingan politik.
Apakah tidak menimbulkan kengerian dalam masyarakat, munculnya propaganda atau kampanye semacam ini, jawaban yang masuk akal hanyalah pemakaian ayat-ayat perang dalam kondisi damai. Kampanye semacam ini  murni pesanan, entah menunggangi atau ditunggani oleh “pemilik modal” atau “pesohor” yang kehilangan peran di negara ini.
Mengutip dari seorang cendikiawan Nadirsyah Hosen, maaf ya prof ! Saya tidak sematkan gelarnya takutnya nanti ada merasa sensi dan terimtimidasi oleh gelarmu.
 “Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi AWLIYA dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.”
Misalkan saja tentang perdebatan terhadap penghakiman atas pelabelan seorang muslim yang pilih kandidat non muslim sebagai munafik. Adalah pembenaran dan khayalan yang ditebarkan dan dikampanyekan secara massif tanpa melihat terlebih dahulu tentang kebenaran sesungguhnya.
Pada saat yang sama sang cendikiawan santun ini mulai mencari dalam kaidah keilmuan yang dalam, tanpa diracuni oleh kepentingan pribadi ataupun pesanan dari “seorang pemangku kepentingan”. Lihatlah bagaimana pelabelan tersebut ternyata ditelaahnya dalam banyak sumber keilmuan agama yang sangat dalam.
Inilah 10 rujukan kitab Tafsir yang beliau dapat cantumkan, ternyata cukup banyak juga. Satu hal yang pasti bagi penulis adalah tidak perlu menyertakan ayat detailnya tetapi poin utama yang ingin digali adalah bahwa untuk memahami sebuah kebenaran seringkali harus memperhatikan kondisi saat ini dan suasana kebatinannya ataupun sumber kebenaran yang lain sebagai referensi.
  1. Tafsir al-Thabari
  2. Tafsir al-Qurthubi
  3. Tafsir Ibn Abbas
  4. Tafsir al-Tsa’labi
  5. Tafsir Hasyiah al-Shawi
  6. Tafsir al-Munir
  7. Tafsir al-Wasith Sayyid Thantawi
  8. Tafsir al-Qasimi
  9. Tafsir al-Khozin
  10. Tafsir al-Sya’rawi
Apakah ada pembaca yang ingin membedah lebih dalam dan detail ? Monggo silahkan saja, apalagi ingin melengkapinya.
Terakhir kalinya beliau sempat ngetwit,”Inilah cara kita membela al-Qur’an dg benar: menempatkan ayat suci dg terhormat, bukan membenamkannya dalam kubangan politik kebencian”.
Bagaimana menurutmu ? Saatnya berpikiran waras !
Salam NKRI
 

0 komentar:

Posting Komentar