Cari Blog Ini

Sabtu, 11 Maret 2017

Konflik Agama, Dulu dan Sekarang

 
Tak penting apapun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu dengan baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu-Gusdur,
Tepat pada hari lebaran 2015, ada sebuah intoleran yang terjadi di Indonesia. Sekelompok orang telah melakukan tindakan inkonstitusional dengan membubarkan kegiatan shalat Ied di Lapangan Koramil Karubaga, Tolikara, Papua. Tindakan brutal tersebut diikuti dengan pembakaran sebuah mushala serta sejumlah rumah di sekitar lokasi kejadian. Ternyata pengerusakan rumah ibadah di Indonesia tidak berhenti sampai di sana. Gereja Baptis Indonesia Saman di Dusun Saman, Desa Bangungharjo, Sewon, Bantul dibakar oleh orang tak dikenal dini hari
.
Saya kira, aksi di Bantul merupakan lanjutan aksi di Papua. Dalam kejadian ini saya mengkategorikan kalau masyarakat termasuk kategori masyarakat yang reaksioner. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia reaksioner dapat diartikan sebagai bersifat berlawanan dengan tindakan revolusioner. Tetapi, menurut sebenarnya saya lebih setuju dengan arti reaksioner di Wikipedia, reaksioner adalah sikap politik warga Negara yang serba aktif dan reaktif serta suka menanggapi suatu keadaan. Beberapa tahun ini, ada banyak kejadian intoleran yang terjadi di Indinesia.
Padahal dulu, ketika saya masih kecil, saya tidak pernah menemukan konflik agama yang seperti ini. Bahkan di tempat tinggal saya, ketika puasa kemarin umat kristiani sama-sama melaksanakan puasa. Setiap pagi selama bulan puasa, saya tidak pernah menghirup aroma masakan dari dapur tetangga saya yang beragama kristiani. Ketika natal, tetangga saya yang berasal dari batak seangaja membagikan makanan khas bataknya dengan mengganti dengan daging ayam. Menelisik lebih jauh lagi tentang agama, riwayat Indonesia selaku sebuah entitas nation state, secara historis bisa dikatakan terlalu panjang. Indonesia masih berada dalam taraf awal. Akan tetapi, tanpa disadari Indonesia saat ini memiliki pengaruh agama-agama dunia yaitu, Indonesia  adalah sebuah melting poe dan super markee.
Dahulu, agama dunia datang silih berganti. Satu menggantikan yang lain. akan tetapi dalam arti tertentu juga ada semacam pila amalgamasi. Baik dengan sesama impor, maupun antara agama impor dengan tradisi agama lokal. Pola hubungan antar agama di masa lalu, sangat dipengaruhi oleh politik stelsel dan politik keagamaan pemerintah kolonial. Masing-masing dibiarkan dalam sebuah gubungan antitesis, persaingan. Syakwasangka dan sikap ignoran ditunjang demi kepentingan politik kolonial. Pemerintah kolonial melakukan politik keagamaan yang hanya bersumbu pada dogma dan bukan pada etika. Bahkan pada ajaran yang berlaku, bukan menitikberatkan pada  prilaku.
Akibatnya, kehidupan agama bercorak tertutup dan kehilangan inspirasi yang segar bagi umat dan masyarakat untuk menuntut perbaikan nasib. Pada saat itu, agama boleh menjadi apa saja, asalkan tidak menjadi agama pembebasan. Oleh elit penguasa kolonial, komunikasi antar agama dikendalikan sedemikan rupa. Sehingga, tidak berjalan secara bebas dan terbuka. Sejak abad 19, agama-agama muncul dalam sebuah fase formatig yang ditandai oleh upaya untuk merumuskan ajaran-ajaran dan pendidikan yang dirasa cicik dengan tantangan yang muncul saat itu.
Terjalinnya hubungan dengan pusat-pusat keagamaan di luar negeri menyebabkan munculnya gerakan purifikasi agama. Ortodoksi menjadi ciri yang meninjol sebagai contoh pada saat itu, kekristenan menjadi terlalu berat, begitu pula Islam lebih berkiblat pada tanah Arab, Hindu ke India, Buddha ke Srilanka atau Thailand. Proses purifikasi ini seringpula dimuati oleh masalah-masalah luar ke dalam negri. Pada gilirannya problem-problem diimpor tersebut bisa menjadi problem yang menetap dan sukar dicari jalan keluarnya. Daftar panjang perang agama bisa dutambah dengan konflik-konflik di zaman modern.
Contohnya, stigma sejarah yang pahit tentang perang salub turut terungkit juga di Indonesia. Dendam sejarah, kebencian, serta permusuhan bisa muncul kembali manakala cerita tentang perang yang berjalan selama berabad-abad itu dibaca dalam konteks pemahaman yang salah. Begitu pula perang yang terjadi antara golongan Protestan dan Katolitik di sejarah Eropa bisa pula menimbulkan trauma yang sama serta menimbulkan kembali prasangka keagamaan yang negatif. Daftar panjang perang agama, bisa ditambah dengan konflik-konflik di zaman modern, sebagaimana yang terjadi di Irlandia Utara, Libanon, Israel, Bosnia dan lain sebagainya.
Dalam hal ini agama bisa berperan sebagai minyak diatas nyala api yang membakar. Alangkah panas nyala itu menuksa dan mematikan sekian banuak manusia di panggung sejarah. Ditambah dengan suara-suara pesimis terhadap fenomena agama bahkan menyimpulkan, manakala agama berperan dalam konflik dan peperangan. Maka sulit orang keluar dari sana tanpa luka rohani yang mendalam. Hal tersebut ternyata terbawa hingga saat ini. sehingga, ruh agama seakan sudah hilang. Beberapa ciri masyarakat yang sudah kehilangan ruh agama adalah sebagai berikut :
Pertama, musnahnya kepekaan terhadap nilai baik. nilai baik dan buruk, lebih banyak menjadi komoditas tanpa landasan moralitas. Daripada menjadi pandangan hidup yang melekat utug pada kehidupan individua maupun sosial. Kedua, hubungan sosial beroriensitasi pada profit semata. Persaudaraan menjadi tandus. Tujuan hidup tidak lagi memberi banyak perhatian terhadap pertautan hati yang didasari persamaan, tolong-menolong dan penghargaan nilai kemanuaan. Doktrin agama hanya menjadi falsafi dan tidak banyak lagi membawa konsekuensi praktis dalam kehidipan masyarakat.
Ketiga, kebebesan manusia mulai melampaui batas norma yang menunjukan ketinggian derajatnya sebagai manusia. Manisia menutup mata terhadap akibat yang dimunculkan oleh tindakan menuruti naluri rendahnya. Kehidupan kapitalis menjadi trend yang menggejala. Berbagai polusi budaya mencemari peradaban manusia. Kemudian, berbagai usaha yang didorong kerakusan, menyebabkan sebagai masalah sosial, lingkungan dan terandangnya masa depan peradaban manusia itu sendiri.
Belajar dari luka sejarah yang terus bergores dalam kehidupan manusia layaknya menusia dapat mengambil ikhtibar. Bahwa, sudah saatnya nilai-nilai mengajari cinta, persaudaraan, persamaan dan berbagai sifat mulia launnya dihidupkan di tengah masyarakat. Manusia harus bisa menerima pluralisme SARA sebagai sesuatu yang bukan untuk dipertentangkan. Harus pula menyadari bahwa kekerasan apapun alasannya hanya mendatangkan mudharat, kerugian mencakup miril dan materil.
Akhirnya, masih mungkinkah membalut luka sejarah selama ini dengan perban cinta dan damai? Ataukah memang naluri manusia akan terus doyan pertikaian? Jawabannya berpulang ke masing-masing individu dan kelompik sosial dari manusia sendiri. Sebab, tidak ada yang bisa mengubah nasib suatu bangsa, kecuali bangsa itu sendiri yang akan mengubahnya.
 

0 komentar:

Posting Komentar