Cari Blog Ini

Sabtu, 04 Maret 2017

Cara Memaknai Kunjungan Salman Ala Jokowi



Nampaknya, setidaknya dua pekan ini wacana di negeri kita akan dihiasi tentang kunjungan Raja Salman ke Indonesia, dengan berbagai sudut dan pernik. Kunjungannya sendiri selama 9 hari, yakni dari tanggal 1-9 Maret 2017. Ditambah dengan beberapa hari sebelum dan sesudahnya, bahasan mengenai kunjungan bersejarah ini masih menarik diulas. Sekalipun ada banyak tema lain yang menarik dan seksi, namun tema ini juga sayang untuk dilewatkan, mumpung ada konteksnya.
Sejak kabar akan datangnya Raja Salman dan 1500 rombongan besarnya ke Indonesia beberapa hari sebelum Hari H hingga tanggal 3 Maret, saya masih belum berencana menulis. Barulah setelah kunjungan tiga harinya di Jakarta selesai, di mana hal-hal penting berkaitan dengan pembicaraan dan tugas-tugas kenegaraan berakhir, saya ingin ikut nimbrung meninggalkan catatan tentang ini.
Adapun rombongan mewah itu, sekarang silahkan mereka menikmati liburan di Pulau Dewata Bali. Semoga mereka sudah cukup tahu, bahwa Indonesia bukan hanya Bali. Dan keindahan Bali hanya sedikit saja dari sejuta pesona Indonesia yang tidak ada di negeri padang pasir. Jadi, kalau mau menikmati dan mengerti Indonesia, sangat banyak destinasi yang menggoda. Orang-orang kebanyakan seperti saya tidak mempunyai cukup biaya untuk bisa menikmati ragam destinasi itu, tapi bagi mereka mudah saja. Tinggal maunya. Beda dengan orang-orang seperti saya, bahkan Bali pun baru bisa sekadar dilihat di media atau didengar saja.
Mengenai kunjungan Raja Saudi saat ini, saya melihat bahwa bangsa Indonesia setidaknya telah terbagi menjadi tiga bagian. Mereka ada, dan bisa kita dengar, lihat atau saksikan. Komentar dan pendapat mereka di medsos bisa kita tangkap dan pahami, dan sekaligus mencerminkan siapa mereka.
Kelompok yang pertama, saya sebut sebagai para pemuja Salman. Mereka adalah kalangan yang di medsos atau obrolan langsung, banyak menulis, membagikan atau menceritakan berita sanjungan yang aneh-aneh dan irasional. Misalnya mereka menyebut bahwa Raja Salman datang ke Indonesia untuk menolong umat Islam di Indonesia yang sedang dizalimi oleh pemerintah. Mereka berpikir bahwa pemerintahan Jokowi bertindak sewenang-wenang kepada umat Islam (tentu saja ini pendapat yang ngawur), sehingga Salman datang ke sini untuk “menekan” Jokowi menghentikan kezaliman (dalam bayangan mereka). Kalangan ini sampai ada yang bilang, bahwa Raja Salman lebih tahu kondisi umat Islam di Indonesia ketimbang umat Islam di Indonesia sendiri (coba simak, apa pikiran ini tidak aneh?)
Kalangan ini juga ada yang menyebut bahwa Raja Saudi datang ke sini untuk membebaskan Indonesia dari beban utang kepada Cina. Kata mereka, Raja datang membawa uang sangat banyak untuk membantu Indonesia membayar utang-utangnya kepada Tiongkok yang komunis, tanpa bunga dan tanpa syarat ini-itu. Berbeda dengan Cina, di mana Cina datang ke Indonesia dengan syarat ini itu dan lain sebagainya.
Pikiran ini jelas saja irasional, ilusif, tidak berdasar, dan bikin orang tertawa. Dari mana ceritanya sampai begitu. Lha, Saudi datang ke sini mau berinvestasi kok, ya tentu saja tanpa bunga, tapi nanti ia akan mendapatkan untung dari hasil investasi (istitsmar) itu. Namanya juga bisnis. Negara-negara lain yang berinvestasi, ya sama begitu juga. Bunga hanya ada dalam transaksi pinjaman. Peran Cina dalam proyek Speed Train Jakarta-Bandung senilai puluhan trilyun itu, bersifat investasi, bukan pinjaman. Jadi sama saja dengan rencana Saudi yang sekarang hendak berinvestasi.
Lagian, dalam kondisi saat ini, Saudi mau “membantu” negara-negara lain, kalau bukan karena landasan bisnis, bagaimana bisa. Seperti kita tahu, Saudi sekarang sedang kesulitan cashflow, sampai pada tahun 2016 yang lalu meminjam uang ratusan milyar dolar untuk menutupi APBN-nya. Apalagi banyak analisa yang menyebutkan bahwa Raja melakukan roadshow ke berbagai negara Asia Tenggara dan Timur sekarang adalah dalam rangka menawarkan divestasi 5 % saham Saudi Aramco.
Yang tidak kalah menggelikan, kalangan ini bahkan ada yang berilusi bahwa Raja mau menemui Imam Besar dari sebuah ormas berlabel Islam. Kabarnya Imam Besar ini diundang oleh DPR untuk turut mendengar pidato Salman di gedung DPR. Namun kabarnya tidak jadi datang, entah apa alasannya. Bahkan dalam pertemuan khusus Salman dengan para pimpinan ormas-ormas Islam pun, nama Imam Besar itu tidak termasuk dalam undangan.
Kalangan pertama ini juga menganggap Saudi dan rajanya sebagai representasi Islam. Alasan yang paling mudah mereka pahami adalah jelas karena raja ini orang Arab yang menguasai sebagian negeri Arab yang ada Tanah Haramnya, Mekkah dan Madinah, negeri yang ada Baitullah-nya. Sedangkan kerajaan sendiri menyebut dirinya sebagai pelayan Dua Tanah Haram, Khadim al-Haramayn, yang mengurus dan mengelola ibadah haji umat Islam seluruh dunia.
Kedua, kebalikan dari kelompok yang pertama, mereka melihat Raja Salman dan kerajaannya dalam perspektif yang memperlihatkan semuanya buruk, bahkan sangat buruk. Ini sebagai akibat dari kebijakan dan tindakan yang telah Saudi lakukan, baik di kawasan Timur Tengah maupun lebih jauh lagi. Misalnya karena dukungan Saudi pada ISIS dan para pemberontak Suriah serta ikut intervensi terhadap kedaulatan Suriah hingga Suriah kini porak poranda, agresi kepada Yaman yang sekarang masih berlangsung, “permusuhannya” terhadap Iran, sikapnya terhadap Israel, dan lain sebagainya. Termasuk bagaimana Saudi memperlakukan Tanah Haram yang dianggap justru merusak kesucian dan telah menghancurkan sejarah agungnya.
Bagi kalangan yang kedua ini, Raja Saudi dan pemerintahannya bukanlah Khadim al-Haramayn (Pelayan Dua Tanah Haram). Melainkan sebagai Hadim al-Haramayn, Penghancur Dua Tanah Haram. Mengapa disebut demikian, karena rezim Saudi telah menghancurkan banyak peninggalan sejarah Islam yang berkaitan dengan Nabi Saw serta para sahabat dan orang-orang dekat beliau. Banyak peninggalan Islam yang dirobohkan pemerintahan Saudi, dan diganti dengan bangunan-bangunan megah dan mewah. Bagi kalangan ini, Kerajaan Saudi telah menghancurkan banyak peninggalan bersejarah Islam, kemudian membangun istana-istana raja dan para pangeran.
Kalangan ini juga menyebutkan bahwa Kerajaan Saudi bukanlah representasi dari Islam, apalagi Islam yang dibawakan oleh Nabi.  Yang ada adalah, pemerintahan ini telah membid’ah-bid’ahkan banyak ajaran Islam, baik langsung maupun melalui pihak lain di negara-negara lain. Sebagai Kerajaan yang berpaham Wahhabi, pemerintahan Saudi telah banyak melalukan berbagai kebijakan di Tanah Suci yang sebenarnya ditentang oleh umat Islam lain dari kalangan Ahlussunnah Waljamaah dan Syiah.
Pernah santer kabar bahwa pihak kerajaan hendak memindahkan Makam Mulia Nabi Saw dari tempatnya sekarang. Di Indonesia, yang santer menentang rencana ini adalah NU. Sekalipun kabar isu ini kemudian hilang, namun kekhawatiran umat Islam dunia terhadap tindakan Saudi yang berkaitan dengan sejarah Islam tetap sangat beralasan. Karena sebelumnya kerajaan juga telah menghilangkan jejak-jejak sejarah dan peninggalan penting Islam lainnya. Dan memang sudah seharusnya umat Islam sedunia memperhatikan kebijakan-kebjijakan Saudi di Tanah Suci ini.
Puluhan tahun yang lalu, pasca sukses besar revolusi tanpa darah di Iran, Imam Khomeini Pemimpin Besar Iran pernah mewacanakan agar Tanah Haram dikelola oleh otoritas umat Islam Dunia, dan bukan oleh sebuah negara tertentu. Di antara tujuannya adalah agar semua kepentingan Dunia Islam diakomodasi dalam kebijakan Tanah Suci, dan memberikan dampak positif yang meluas bagi umat Islam seluruh dunia.
Tanah Suci peninggalan Nabi adalah milik umat Islam seluruh dunia. Karenanya ia mesti dikelola oleh umat Islam seluruh dunia juga. Teknisnya bisa dikelola oleh organisasi semacam OKI atau otoritas lain yang disepakati umat Islam dunia. Di antara pemimpin Muslim dunia yang menyetujui gagasan ini adalah Muammar Khadafi, Presiden Libya yang digulingkan AS beberapa tahun lalu.
Selain itu, gaya hidup mewah yang diperlihatkan keluarga kerajaan juga menjadi alasan lain yang mempertanyakan apakah pantas mereka merepresentasikan Islam. Belum lagi kita mendengar kabar-kabar tentang kehidupan para pangeran dan putri kerajaan di luar sana.
Kalangan ketiga, adalah kalangan yang mencoba melihat kunjungan Salman ke Indonesia ini dengan kacamata realistis dan pragmatis. Karena Raja Saudi ini datang dengan tujuan bisnis dan politis, maka kunjungannya juga mesti dilihat dari kacamata bisnis dan politis. Pandangan inilah yang saya lihat menjadi pegangan Pemerintahan Joko Widodo. Karenanya kita lihat, bagaimana pemerintah menandatangani banyak MOU dengan Saudi. Setidaknya ada 11 MOU yang ditandatangani oleh Saudi di Indonesia. Untuk cara pandang yang terakhir ini, insyallah akan saya tuliskan dalam artikel lain, dengan judul “Salman Datang, Jokowi Menang. Saudi Berkunjung, Indonesia Untung.” Silakan mampir lagi.
Dan cara pandang ketiga inilah yang merupakan cara Jokowi memaknai kunjungan bersejarah Raja Salman. Sebagai presiden yang sudah mendapat banyak informasi, tentunya Pak Jokowi cukup mengerti dua cara pandang sebelumnya yang beredar di masyarakat. Namun sebagai presiden yang memiliki visi dan program yang jelas, dengan slogan kerja kerja kerja, cara pandang realistis dan pragmatis itulah yang seharusnya Indonesia ambil dalam melihat kunjungan Raja Salman.
Inilah ala Jokowi…

0 komentar:

Posting Komentar