Cari Blog Ini

Senin, 06 Maret 2017

Rahmatan lil Alamin: Yakinlah, Islam bukan Arab

 
 
Permasalahan “Arab” dan “Non Arab” belakangan menjadi isu yang hangat di tengah banyaknya permasalahan yang dihadapi bangsa belakangan ini. Ada kubu yang Pro dengan ke Arab-araban, lalu kemudian selalu memuji dan memuja segala hal yang berkaitan dengan sesuatu yang berbau “Arab” dan mengaitkan nya dengan ajaran Islam. Ada pula kubu yang kontra “Arab”, lalu kemudian membenci segala hal yang berkaitan dengan “Arab”, entah itu tradisi, kebudayaan, cara berpakaian, dll.
Mereka yang Pro “Arab”, seringkali menganggap orang-orang yang tidak mengikuti segala hal yang berbau “Arab” adalah orang yang juga membeci Islam. Begitu pula sebaliknya, mereka yang Kontra “ Arab” juga menganggap mereka yang terlalu mengaggung-agungkan “Arabi” adalah orang-orang yang terlalu kaku, dalam memahami agama secara berlebihan dan selalu mengaitkan Islam dengan Arab.
Dalam Islam semua orang dipandang sama, apapun ras, suku dan warna kulitnya, adalah salah jika kemudian ketika kita menganggap ras atau suku yang satu dan lain nya, lebih baik keislaman nya dibanding yang lain nya. Begitu pula ketika berbicara tentang “Arab”, sebagian dari kita memang meyakini, bahwa Islam selalu identik dengan “Arab”, tapi yakinlah sesungguhnya Islam bukanlah “Arab”.
Rasul bersabda:
“Tidak ada kelebihan orang Arab atas orang Ajam(bangsa non Arab), dan tidak pula orang berkulit putih atas orang berkulit hitam, kecuali dengan taqwa”.
Dalam rentang sejarah Islam yang sudah lebih dari 1400 tahun membuktikan bahwa isi hadits tersebut benar adanya. Bahkan lebih jauh lagi, empat orang dari enam orang Imam besar ahli Hadits yang buku-buku kompilasi Hadits mereka (Kutubus Sittah, Buku induk yang Enam, yaitu Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Turmudzi, Sunan Abu Dawud, Sunan An Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah) hingga kini masih dijadikan rujukan utama dalam mempelajari sumber-sumber Islam, ternyata bukanlah orang-orang Arab.
Imam Bukhari berasal dari Bukhara, Uzbekistan. Imam Muslim berasal dari Tashkent, Uzbekistan. Imam Turmudzi berasal dari Termez, Uzbekistan. Imam An Nasa’i berasal dari Khorasan, Iran. Bahkan ulama ahli hadits kontemporer, Syaikh Nashiruddin Al Albani, berasal dari Albania.
Dulu Almarhum Gusdur pernah berkata “Kita ini sebenarnya orang Islam yang (kebetulan) hidup di Indonesia ataukah orang Indonesia yang kebetulan beragama Islam?”
Yakinlah, menjadi Muslim tidak harus Arab. Dengan budaya lokal sekalipun, seseorang bisa menjadi Muslim sejati. Maka adalah salah besar jika kemudian ada yang berpandangan, demi menjaga kemurnian ajaran Islam, penganut Islam di Indonesia, atau di manapun berada diharuskan meniru “Islam masa Rasulullah”, dan bukan mengikuti “Islamnya Rasulullah”. Jika yang model seperti ini yang diikuti, maka yang akan terjadi adalah Arabisasi, bukan Islamisasi.
Sebagai contoh, dalam hal berpakaian, kita diwajibkan untuk menutup aurat. Tidak pernah ada ajaran yang mewajibkan kita unntuk memakai gamis, dan pakaian tradisional Arab lainnya. Toh dengan memakai sarung dan baju batik pun kita telah memenuhi kriteria menutup aurat. Sehingga muncul pula istilah orang-orang yang memahami Islam secara kontekstual. Islam yang di sesuaikan dengan budaya lokal, Islam yang terakulturasi dengan budaya setempat, selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya.
Akan tetapi, walaupun demikian di sisi lain, banyak pula ajaran Islam yang memang tidak bisa dipisahkan dengan dunia Arab, di mana tempat Agama ini diturunkan. Bagaimana pun kita harus mengakui pula, kitab suci yang menjadi sumber ajaran dalam Islam juga berbahasa Arab. Begitu pula kewajiban berhaji, dan yang lainnya.
Kita pun kemudian diajarkan untuk menghargai, bahkan mencintai bangsa Arab, seperti sabda Nabi Muhammad SAW sendiri :
“Cintailah oleh kamu akan Arab karena tiga hal (dalam riwayat lain, Jagalah hak-hak ku melalui Arab karena tiga hal) : pertama, karena aku orang Arab, kedua Alquran berbahasa Arab dan ketiga pembicaraan ahli surga dengan bahasa Arab
Namun, kecintaan dan penghargaan ini bukan berarti kita taklid seratus persen terhadap apa-apa yang dibawa oleh orang-orang Arab. Kita mesti memisahkan yang mana ajaran Islam, dan mana pula yang hanya sekedar budaya Arab.
Kita sebagai muslim harus mengikuti ajaran Islam, tapi tidak wajib untuk mengikuti budaya Arab.
 

0 komentar:

Posting Komentar