Cari Blog Ini

Rabu, 15 Maret 2017

Indonesia Sedang Dipecah Belah Isu Agama, Kemana NU, Tidurkah?

Menjadi ulama/kyai NU itu membutuhkan keikhlasan dan ketawadhuan tingkat tinggi. Menjadi kyai NU harus siap nrimo, hidup sederhana, bahkan bisa dibilang pangkatnya gitu-gitu aja. Menjadi Kyai NU lebih sering difitnah, dihina dan dicaci. Menjadi Kyai NU tidak akan pernah setenar ustaz-ustaz yang sering tampil di TV, yang bahkan tak pandai mengaji. Hanya bermodal suara serak, nangis, atau mengutip ayat al Quran dan Hadist dan dengan lantang suaranya bergemuruh Allahu Akbar sana-sini. Atau tidak akan dikagumi seperti halnya ustaz gadungan yang wajahnya ganteng rupawan, menjadi endorse baju muslim dan kerjanya kawin-cerai-poligami.
Begitulah menjadi Kyai Nu, antara ada dan tiada. Ada, ketika bangsa sedang dalam bahaya. Lalu dianggap tidak ada dan tidak berjasa ketika masalah itu sudah terselesaikan.  Istilah kerennya ya jadi satpam, lah. Gus Mus pernah mengadukan hal ini pada Gusdur. Sambil keduanya tiduran di lantai, beliau bilang ke Gusdur: “Gus, NU itu dari dulu ndak naik2 pangkatnya, jadi Satpam terus. Kalau ada sesuatu bahaya, maka NU maju ke depan (seperti sewaktu resolusi jihad, sewaktu DI/TII, PKI, dll). 
Tapi begitu bahayanya hilang, NU kembali duduk di pojokan sambil rokokan. Begitu terus, ini gimana nih Gus?”.  Jawaban Gusdur seperti biasa langsung membuat diskusi berhenti. Allah yarham Gusdur menjawab: “Apa masih kurang mulia kalau kita bisa jadi Satpam nya bangsa ini?”. Dan Gusmus pun terdiam tidak bisa melanjutkan omongannya.
Sejarah kembali terulang. Indonesia saat ini sedang diambang krisis toleransi. Sedikit-sedikit bawa isu agama. Masjid jadi sarang fitnah dan adu domba. Jika ada Kyai NU yang membela si Anu, dianggap menyimpang. Dilabeli kafir, munafik, asu, dan sebagainya. Jika kyai NU dianggap membela lawan si anu mereka bersorak gembira, lalu semuanya mendadak NU. Perbedaan pendapat dikalangan Kyai dijadikan bahan perdebatan dan olokan. Anak-anak muda NU pun, yang kencingnya saja masih belok ikutan menghujat. Katanya NU tidak seperti dulu lagi, tidak seperti NU nya Mbah Hasyim Asy-arie. Lalu mereka pun membelot, mendukung kelompok radikal yang selama ini teriak Allahu Akbar.
Strategi dakwah NU harus dipahami oleh orang yang cerdas dan memiliki keluasan ilmu. NU berdakwah bukan dengan cara turun ke jalanan, kampanye politik di jalan besar ibukota dengan menutupinya dengan ritual keagamaan biar dianggap lebih Islam. Teriak nyaring Allahu Akbar lantas merusak barang-barang. Itu strategi dakwah yang dangkal. Orang mungkin akan terkagum, tapi lihat kelompok yang seperti ini mudah terombang-ambing. Strategi dakwah NU itu licin, penuh perhitungan. Pada awal dakwah tentu akan dicaci karena dianggap musuh. Tapi pada akhirnya NU akan memenangi pertarungan. Berikut ada dialog menarik dari strategi dakwah tersebut, yang saya ambil dari situs Duta Islam.
“Aku malu jadi warga NU sekarang”.
“Kenapa memangnya?”
“NU sekarang tidak kayak NU zaman Mbah Hasyim dulu, sekarang NU disusupi Syiah, liberal, komunis, bahkan sangat dekat dengan Non-Muslim. kalau zamannya Mbah Hasyim kan masih murni, lurus, tidak disusupi macam-macam”.
“Emang kamu pernah hidup dan merasakan NU di masa Mbah Hasyim?”
“Nggak sih”.
“Makanya jangan sok tahu dan termakan fitnah dan isu tidak benar. Kamu tahu kan Jepang itu penjajah dan menyembah matahari?”.
“Kalau itu tahu lah, kan banyak di tulis di buku sejarah”.
“Kamu tahu nggak, NU nya Mbah Hasyim itu malah mengintruksikan santri-santri untuk latihan militer dengan Jepang. Bahkan Mbah Hasyim jadi ketua Shumubu atau Menteri Agama saat pemerintahan Jepang. Padahal kan Jepang Kafir, penjajah lagi. Dan ternyata NU nya Mbah Hasyim bisa kok bersikap koperatif dengan Jepang”.
“Masa sih?”
“Iya, dan kamu tahu nggak kalau Mbah Wahab Hasbullah pernah dicap Kyai Komunis karena bersikap kooperatif dengan Bung Karno dalam Nasakom nya. Berbeda dengan Masyumi yang memilih keluar. Itulah siyasah, strategi dakwah. Lihatlah dampaknya. Dengan kooperatif terhadap Jepang akhirnya bangsa Indonesia dapat bertempur dengan baik dan akhirnya merdeka. Dengan kooperatif terhadap Bung Karno (yang dekat dengan Komunis) akhirnya umat Islam terselamatkan dari bahaya komunis. Bahkan atas saran NU, akhirnya Bung Karno tidak jadi membubarkan HMI.
“Gitu ya?”
“Ya, Jadi NU Mbah Hasyim dan NU sekarang itu tetap sama, membela Islam dan Indonesia, bukan salah satunya. Islam saja atau Indonesia saja. Karena kalau membela salah satunya akan bisa memunculkan perang antar anak bangsa yang akhirnya ibadah jadi tidak nyaman dan selalu dihantui ketakutan”.
“Kalau gitu aku tidak malu lagi jadi NU dan bangga menjadi NU”.
“Makanya jangan percaya isu,fitnah,atau hoax yang menjelekkan NU. Belum apa-apa sudah nuduh macam-macam pada NU sekarang. Kita nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi. kita hanya tahu dari Medsos yang belum tentu benar, sebaiknya husnudzon saja pada penggede NU. Karena strategi NU ini mirip dengan starategi dakwah Nabi. Kapan-kapan saya kasih tahu, sekarang ayo kerja, wes wayahe tandur.
 

0 komentar:

Posting Komentar