Cari Blog Ini

Selasa, 14 Maret 2017

(Menjawab) Penggunaan At-Taubah 84, Dalil Melarang Shalatkan Jenazah Pendukung Ahok

 
Kalau dikatakan, apakah ada dalilnya larangan menshalatkan jenazah pendukung Ahok-Djarot? Kaum bumi datar yang mempercayai monas mampu menampung 7 juta umat akan mengatakan “tentu ada dalilnya”. Mereka akan langsung merujuk kepada Surah At-Taubah ayat 84. Begini bunyinya:
Dan janganlah engkau sekali-kali menshalatkan jenazah seseorang yang mati di antara mereka dan jangan pula engkau berdiri berdoa di atas kuburannya. Sesungguhnya mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan durhaka.
Kaum bumi datar menganggap masalah larangan menshalatkan pendukung/pembela Ahok (penista Quran) tidak ada hubungannyan dengan Anies-Sandi. Tapi urusannya sama At-Taubah 84 ini. Tidak berhenti pada argumentasi tadi, ditambahlah bumbu-bumbu yang sepertinya cukup pedas. Dikatakan:
 
“Keluarga mayat pembela penista Quran juga gak perlu baper, ketika hidup melawan Quran, pasti si mayat juga gak mau diurus masjid”
Saya cuma mau katakan satu hal: Kaum bumi datar, seenak jidat mencomot satu ayat, lalu ayat lainnya, untuk menjustifikasi propaganda politik kotor mereka.
Dulu, Al-Maidah 51 yang dipolitisir bahwa haram hukumnya memilih pemimpin dari kalangan non-muslim. Padahal, ayat tersebut tidak berbicara Pilkada atau konsep kepemimpinan. Kitab-kitab tafsir klasik tidak ada yang membahas ayat tersebut berkaitan dengan memilih pemimpin. Bahkan, Zakir Naik pun mengartikan “auliya” sebagai “teman/sahabat”.
Setelah gagal memenangkan Pilkada lewat propaganda Al-Maidah 51 yang telah diselewengkan maknanya, kini mereka menekan dan mengancam lebih jauh lagi. Tujuannya, agar warga DKI takut jika memilih Ahok-Djarot. Takut jika mayatnya tidak dishalatkan oleh umat.
Maka, dicarilah dalil untuk menguatkan propagandanya ini. Didapatnya lah At-Taubah 84 yang cukup gamblang untuk menekan para pemilih muslim di DKI. Supaya mereka ketakutan untuk memilih Ahok-Djarot. Nenek Hindun dan Nenek Rohbaniah dijadikan sebagai contoh bahwa memilih “penista Quran” bakal bernasib malang seperti mereka.
Baiklah kita bahas singkat dulu, maksud dari At-Taubah 84 di atas:
Dan janganlah engkau sekali-kali menshalatkan jenazah seseorang yang mati di antara mereka dan jangan pula engkau berdiri berdoa di atas kuburannya. Sesungguhnya mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan durhaka.
Pertanyaannya adalah siapa yang dimaksud mereka? Mengapa mayat mereka dilarang untuk dishalatkan, padahal hukum menshalatkan itu fardhu kifayah, artinya wajib bagi masyarakat di sekitarnya?
Dalam ayat-ayat sebelumnya diketahui bahwa mereka adalah orang-orang munafik. Mereka inilah yang mayatnya dilarang untuk dishalatkan.
Mengapa mereka dikatakan sebagai “kaum munafik”? Apa yang menyebabkan kemunafikan mereka?
Mereka dikatakan munafik karena saat seruan berjihad di jalan Allah telah diumumkan, orang-orang ini dengan seribu satu alasan menolak untuk ikut berpartisipasi. Tidak hanya enggan ikut berjihad, mereka juga mencela dan menertawai orang-orang yang berjihad di Jalan Allah.
Orang munafik adalah orang yang di lisannya ia berkata, ia beriman, tapi di dalam hati dan perbuatannya tidak ada iman yang tersisa. Ia menyembunyikan “kekafiran”nya dalam balutan lisannya yang manis.
Saat berkumpul dengan para mukmin sejati, mereka bersandiwara seakan-akan mereka lah yang paling beriman. Saat bersama kaumnya, mereka menjadikan lelucon sandiwara mereka yang telah mengelabui orang-orang mukmin tadi.
Allah SWT tahu bahwa banyak orang-orang munafik yang masuk Islam untuk mengambil suatu manfaat tertentu. Maka, diuji lah oleh Allah dengan sebuah pengorbanan berupa “jihad”. Tujuannya adalah untuk memisahkan mana mukmin sejati, mana mukmin karbitan.
At-Taubah 81 melarang menshalatkan orang-orang munafik yang tidak mau diajak berjihad di jalan Allah. Apakah mencoblos Paslon muslim itu bagian dari jihad? Sejak kapan urusan politik praktis disamakan dengan jihad di jalan Allah?
Esensi jihad adalah melawan kezaliman. Kezaliman apa yang telah Ahok lakukan? Ahok memberangkatkan para marbot dan guru ngaji pergi umroh, zalim? Ahok menggaji para marbot dan guru ngaji, zalim? Ahok membangun banyak masjid di Jakarta, zalim? Ahok memberikan upah yang layak kepada pekerja kasar di DKI seperti petugas PPSU, zalim?
Jadi kezaliman seperti apa yang umat Islam harus mengangkat senjata untuk berjihad melawan Ahok? Toh, ini kan Jakarta bukan Suriah, bukan Aleppo. Malahan, pekerjaan Ahok di atas tidak dilakukan secara serius oleh gubernur-gubernur sebelum Jokowi-Ahok. Ini kan tanda tanya, mengapa tiba-tiba ada konsep jihad yang masuk ke tubuh politik negeri ini?
Masa gara-gara memilih Ahok, yang dianggap penista padahal saksi-saksinya (pelapor) kebanyakan abal-abal, lalu mereka dianggap munafik. Ini kan lucu. Seenak jidat melabelkan kafir, munafik, penghuni jahannam kepada mereka yang punya pilihan politik yang berbeda. Konyol sekali orang-orang ini. Kampungan!
Munafik itu dikatakan dalam sebuah hadits: “Jika berbicara ia berbohong, jika berjanji ia ingkar, dan jika dipercaya ia berkhianat.”
Yang memenuhi ketiga syarat menjadi orang munafik adalah anggota DPR yang merampok proyek e-KTP. Mereka lah orang-orang munafik itu. Bohongnya paling jago, ingkarnya apalagi. Dan ujung-ujungnya berkhianat pada rakyat, padahal mereka adalah wakil rakyat.
Seharusnya, mereka yang suka merampok uang rakyat itulah yang lebih pantas tidak dishalatkan jenazahnya. Karena kemunafikan mereka benar-benar nyata.
Masa orang susah. Nyari makan aja susah. Punya kontrakan bagus aja susah. Lalu ia berharap pada sosok Ahok yang memang mampu membangun. Mampu memberikan keringanan hidup di ibukota. Juga mampu memberikan tempat yang layak untuk hidup. Dan orang-orang itu memilihnya. Lalu kalian katakan mereka munafik? Mayat mereka haram dishalatkan? Sementara kalian diam melihat maraknya kasus korupsi?
Saya curiga. Orang-orang ini terlalu banyak makan mecin. Yang akhirnya membuat logika berpikirnya terbolak-balik.
 

0 komentar:

Posting Komentar