Cari Blog Ini

Minggu, 19 Maret 2017

Membendung Radikalisme Di Indonesia

Radikalisme telah menjadi momok yang sangat menakutkan bagi negara-negara di dunia. Terutama negara-negara mayoritas muslim, khususnya Indonesia. Bahayanya, ideologi tersebut  cenderung mengajarkan pemberontakan dan mendoktrin para pengikutnya untuk menjadi seorang jihadis muslim yang siap berperang dalam keadaan apapun.
Sebagaimana kita tahu, bahwa radikalisme telah memporak-porandakan negara-negara bagian Timur Tengah seperti halnya Suriah, Irak, Yaman dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, tentu hal serupa tidak boleh terjadi di negara kita, Indonesia. Dalam hal ini pencegahan sejak dini perlu dilakukan.
Sementara itu, belakangan penolakan terhadap ustad Abu Yahya Badrussalam oleh pengurus NU Surabaya dikarenakan ajarannya yang menentang para Wali Songo yang telah menyebarluaskan agama Islam di Indonesia. Pun penolakan terhadap ustad Khalid Basalamah juga dikarenakan ajarannya yang mengandung provokatif dan kebencian. Karenanya, pemahaman ekstrim semacam ini perlu dibendung demi menjaga Indonesia dari hal-hal yang tidak kita inginkan.
Presiden Republik Indonesia yang pertama, Ir. Soekarno pernah berkata dalam sebuah pidatonya, “Kalau jadi Hindu jangan jadi orang India, kalau jadi Islam jangan jadi orang Arab, kalau jadi Kristen jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat-budaya yang kaya raya ini”. Secara implisit, bung Karno ingin menyatakan bahwa negara kita memiliki budayanya sendiri dalam hal apapun. Terutama dalam hal berkeyakinan, itulah sebabnya mengapa Islam dapat dengan mudah masuk ke Indonesia.
Sejarah Masuknya Islam Ke Indonesia
Sejarah mencatat, jauh sebelum masuknya Islam ke nusantara, masyarakat Indonesia dengan agama yang dianutnya memiliki tingkat kebatinan dan mistisisme yang sangat tinggi. Ajarannya mencakup seruan-seruan tentang moral. Di bawah pengaruh agama Hindu-Buddha, masyarakat hidup dengan tenteram dan menjunjung tinggi nilai-nilai kesantunan dan kebatinan.
Maka dari itu, para wali songo menjadikan ajaran tasawuf sebagai media untuk menyerluaskan agama Islam di kalangan masyarakat Indonesia yang saat itu di bawah pengaruh ajaran Hindu-Buddha. Terlepas dari itu, cara-cara yang digunakan ialah dengan kesantunan dan menjunjung tinggi moralitas (akhlaq), sehingga dapat dengan mudah diterima oleh khalayak umum.
Faktanya, salah seorang wali songo yang bernama Sunan Kalijaga mengakulturasikan ajaran Islam ke dalam wayang yang sarat dengan ajaran Hindu. Ia mengajak para penonton yang menyaksikan pertunjukan wayang untuk masuk Islam dengan cara melafazkan ajimat Pandawa Lima, yakni “Kalimosodo”. Menurut orang Jawa, kata tersebut ialah nama lain dari “Kalimat syahadat”.
Di sisi lain, sejarah juga mengatakan, bahwa masuknya Islam ke Indonesia dibawa dari para pedagang Gujarat. Menurut Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul “L ‘Arabi Et Les Indes Neerlandaises” menjelaskan, bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui kota-kota di anak benua India seperti Gujarat, Bengali, dan Malabar. Sebab, di kota-kota tersebut Islam lebih dulu berkembang. Snouck juga menjelaskan bahwa teori Gujarat didasarkan pada peran orang-orang Gujarat yang telah membuka hubungan dagang dengan Indonesia sebelum pedagang Arab.
Oleh sebab itu, terlepas dari ke-otentikan data bahwa Islam masuk ke Indonesia dari para pedagang Gujarat itu benar atau tidak. Yang jelas, ajaran tasawuf telah berkembang di Indonesia sejak lama. Tentu saja, tulisan ini tidak akan membahas tentang itu semua. Karena tak akan cukup waktu dan muatannya. Namun perlu digarisbawahi, bahwa masuknya Islam ke Indonesia diperkuat dengan ajaran tasawuf yang sejalan dengan keadaan masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas.
Provokasi Dan Kebencian    
Di tengah-tengah derasnya arus kebencian yang kerap membumbuhi nilai-nilai keagamaan, menjadi kekhawatiran tersendiri di kalangan masyarakat tentang bahayanya. Tentu saja, akan mengganggu tata cara ‘ubudiyah kita dan merusak kehidupan kita yang selama ini hidup dalam kerukunan, kedamaian, dan ketenteraman.
Sementara itu, belum lama ini kita mendengar tentang konten ceramah jum’at yang berbau politis. Sekarang ramai tentang pelarangan memandikan dan menyolatkan jenazah para pendukung Ahok. Apalagi pasca bergulirnya informasi tentang tidak dimandikan dan disalatkannya jenazah almarhumah ibu Hindun beberapa waktu lalu. Hal itu sungguh di luar akal sehat. Saya yakin, hati nurani bertolak belakang dengan tindakan tersebut. Na’udzubillahi min dzalik
Oleh sebab itu, izinkanlah saya untuk mengutip istilah Almarhum mendiang KH. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden keempat RI. Beliau mengatakan, “Politik ialah seni mengelola kebencian”. Dalam hal ini, beliau menyatakan hal tersebut karena melihat politik dari sisi tasawuf. beliau juga menyatakan bahwa politik bukan hanya sekadar seni (art). Tetapi juga, ada nilai-nilai yang terkandung di dalam seni berpolitik itu sendiri, yakni nilai-nilai moralitas (akhlaq).
Karenanya, wajah keaslian Islam Indonesia harus senantiasa dirawat bersama-sama. Budaya kita merupakan patrimoni yang harus senantiasa dijaga, agar kelak tetap berwajah asli sebagaimana mestinya. Tentunya, paham-paham yang terkesan kaku dan bertendensi radikalis harus menjadi perhatian khusus bagi kita selaku masyarakat awam. Illatnya, nilai-nilai toleransi yang diajarkan oleh nenek-moyang kita harus senantiasa terpatri di dalam hati untuk menjaga Indonesia dari sesuatu hal yang tentunya tidak kita inginkan.
Kita tahu, negara-negara di bagian Timur Tengah hancur karena paham radikalisme yang menginfiltrasi masyarakatnya. Di sana, mereka diajarkan untuk membela agamanya tanpa dibumbuhi kecintaan terhadap negaranya. Itulah sebabnya pendiri NU Hadratussyaikh mendiang KH. Hasyim Asy’ari mengatakan, “Hubbul wathon minal iman” yang berarti, cinta terhadap tanah air adalah sebagian dari iman.
Maka dari itu, mari hindari pertikaian yang memicu pada konflik-konflik primordial yang membahayakan Negara-Bangsa Indonesia. Terutama, paham-paham radikalisme yang kian menguat perannya dan menginfiltrasi masyarakat. Untuk itu, kecintaan terhadap negara harus senantiasa dipupuk secara bersama-sama.
Terakhir, mari kita sadari, awal kehancuran negara-negara di Timur Tengah disebabkan karena isu-isu keagamaan yang menguat dengan segala pengaruhnya. Maka dari itu, kita tidak boleh seperti mereka.
Salam NKRI.

0 komentar:

Posting Komentar