Cari Blog Ini

Jumat, 24 Maret 2017

Cuci Otak Ala Spanduk


Sudah beberapa tahun ini kita disajikan berbagai macam spanduk berisikan pesan-pesan provokasi. Di banyak tempat di Jakarta, spanduk-spanduk yang berisi seolah-olah pesan keagamaan, menjadi pemandangan sehari-hari di kompleks perumahan, dekat masjid, dekat gereja atau di jalan-jalan. Tidak bisa dipungkiri, pesan-pesan tersebut membawa-bawa agama tertentu. Seringkali, pesan provokasi tersebut dibungkus dengan bahasa yang lebih halus dan dengan pintarnya, menggunakan jargon-jargon nasionalisme.
Bukan tidak sedikit orang di awal-awal spanduk-spanduk itu naik menjadi risih, terganggu, dan malu. Bayangkan kalau pesan-pesan itu dibaca client dari luar negeri, atau kawan kita tahu agama kitalah yang membawa pesan itu. Rasanya agak risih juga untuk orang-orang yang mengaku ‘waras’. Meskipun dengan berusaha santai akan berkata, “Agamaku tidak seperti itu. Itu sih garis keras. Heran juga dengan orang-orang itu, kok ada banyak ya pengikutnya?”.
Membaca pesan-pesan provokasi di spanduk-spanduk itu tidak bisa merubah mindset saat itu juga, atau seminggu kemudian, atau sebulan kemudian. Itu adalah pesan softsell atau pesan jangka panjang. Pesan itu tidak diharapkan dimengerti untuk saat ini. Namun dengan berjalannya waktu, pesan itu akan tertanam secara perlahan di benak kita dan kita menjadi terbiasa dengan pesan-pesan provokasi tersebut, kemudian secara tidak sadar, kita ikut menyetujuinya.
Di awal-awal melihat pesan-pesan tersebut, seperti kebanyakan orang waras lainnya, mereka mengira, takkan ada seorang pun yang akan terpengaruh atas pesan-pesan provokasi tersebut. Mereka melihat, melewati, melupakan. Kadang-kadang berusaha meng-upload nya di media sosial sebagai bagian dari tanggungjawab sosial. Beberapa orang akan bereaksi, komen, akhirnya kembali melupakan.
Dalam dunia pemasaran, ada yang disebut dengan softsell dan hardsell. Pada pesan hardsell diharapkan bisa memberikan reaksi spontan. Seperti misalnya, “Beli satu dapat satu”, “Diskon 50%”, atau “Harga naik minggu depan”. Melalui pesan-pesan tersebut, kita diharapkan untuk langsung melakukan tindakan, karena kalau terlambat, tidak akan kebagian. Call to action-nya sangat kuat. Biasanya menggunakan kata-kata: “Beli Sekarang”, “Hanya Hari Ini”, dan sebagainya. Namun berbeda dengan pesan softsell. Pesan softsell sangat halus dan berumur sangat panjang. Contohnya adalah produk Aqua. Sangat lama Aqua mendidik konsumennya akan air sehat yang praktis setiap saat. Puluhan tahun dihabiskan Aqua untuk memasukkan pesan-pesan tersebut. Hari ini bisa kita lihat hasilnya. Setiap kali kita beli air mineral, kita pasti bilang : Ada Aqua? Padahal yang diberikan ke kita adalah merk lain. Itulah contoh kekuatan pesan softsell. Pesan softsell tertanam sangat dalam di benak kita dan menjadi bagian dari keseharian kita.
Hal ini berlaku juga untuk spanduk-spanduk berisi pesan provokasi. Contoh pesan spanduk seperti Tolak Kriminalisasi Ulama dan sejenisnya adalah spanduk-spanduk yang biasa kita lihat di sekitar jalan-jalan masuk perumahan kelas menengah ke bawah. Pesan-pesan itu hampir kita bisa temui di ujung-ujung gang atau jalan raya ke rumah-rumah penduduk. Siapa yang paling banyak menghabiskan waktu di kompleks perumahan tersebut? Anak-anak dan remaja. Mereka adalah generasi yang disasar.
Spanduk provokasi berisi pesan-pesan provokasi tidak diharapkan untuk memberikan reaksi instant dari orang-orang yang melihatnya. Tapi itu adalah pesan jangka panjang. Dengan melihat pesan-pesan provokasi tersebut setiap hari, kita akan terbiasa dengan pesan-pesan berisi kata-kata kasar dan provokasi. Mula-mula kita menganggap kata-kata itu keterlaluan, tapi setelah melihatnya sepuluh, dua puluh, tiga puluh kali, kita akan terbiasa. Kita menjadi imune. Secara tidak langsung, sangat perlahan, tapi pasti, pesan tersebut tertanam dalam pikiran kita, dalam benak kita. Sekali, sepuluh kali, dua puluh kali, kita tidak merasakannya. Namun, setelah sekian puluh kali melihat pesan tersebut, kita jadi menganggap, barangkali pesan tersebut benar adanya. Barangkali, kita bisa pertimbangkan kebenarannya. Barangkali, cuma kita yang terganggu. Buktinya, spanduk-spanduk provokasi itu aman-aman saja di tempat itu, bahkan semakin banyak di tempat-tempat lain.
Jangan menganggap remeh keberadaan spanduk-spanduk provokasi. Banyak anak-anak, banyak remaja, banyak pemuda-pemudi yang baru tumbuh, jadi terbiasa dengan pesan-pesan terrsebut. Mereka tumbuh dengan pesan-pesan provokasi tersebut, dan lama-lama mereka akan menganggap pesan-pesan tersebut adalah hal yang normal. Pesan-pesan provokasi itu adalah bagian dari bentuk cuci otak jangka panjang.
Akhir-akhir ini kita melihat bahwa regenerasi di ormas-ormas radikal adalah anak-anak muda usia menjelang dua puluhan. Mereka tumbuh karena terbiasa dengan ujaran-ujaran kebencian. Mereka telah menganggap bahwa ujaran-ujaran tersebut adalah hal yang lumrah.
Ini adalah perang softsell. Siapa pun aktor di balik pesan-pesan provokasi itu adalah seorang yang jenius. Ia seorang yang sangat sabar. Ia seorang pemain yang tenang dan tidak terburu-buru. Ia tahu, suatu hari nanti, akan lahir generasi baru yang mudah digerakkan untuk kepentingannya.

0 komentar:

Posting Komentar