Cari Blog Ini

Rabu, 15 Maret 2017

Berbeda Agama; Apa Salah?

Ada cara baik untuk menilik sebuah agama yang berbeda dengan yang kita anut, tetapi dengan memakai cara pandang yang sama dengan yang menganut agama lain tersebut.  Pelajaran ini dapat dilihat sebagai  ilmu perbandingan agama, tapi dari perspektif agama yang hendak kita pelajari itu. Namanya teologi religionum.
Berbeda dengan ilmu religi-religi yang mempelajari sejarah, ajaran dan tradisi agama-agama, maka teologi religionum memikirkan hubungan suatu agama (yang kita anut) dengan agama-agama lain. Sampai dimana kita meyakini bahwa Allah juga bertindak dan bersabda di dalam agama-agama yang lain itu?
Berbeda dengan ilmu ilmu agama mainstream, maka yang dipelajari dalam teologi religionum bukan hanya eksistensi agama-agama lain, melainkan juga bagaimana kita mampu melihat agama-agama yang lain itu dari perspektif iman kita sendiri. Di sini kita mempelajari apa peran positif yang bisa kita perbuat untuk saling memahami perspektif tiap agama dan bagaimana agama-agama yang berbeda bisa bekerja secara bersama untuk membangun kesejahteraan umat manusia, bukan malah saling gontok-gontokkan terpicu hal yang sama sekali tidak esensial.
Suatu ketika seseorang pernah bertanya kepada Gandhi begini, “Jika hanya ada satu Allah, maka mengapa tidak ada satu agama saja?”  Gandhi menjawab kalem, “Sebuah pohon memiliki jutaan daun, tetapi mereka semua berakar pada satu pohon saja”. Mungkin argumen Gandhi ini bagi sebagian orang tidak terlalu tepat, tetapi bagi mereka yang tinggal di India pasti mahfum mengapa dialog seperti di atas itu pernah terjadi.
Ratusan tahun India telah menyaksikan keindahan perjalanan spiritual umat manusia. Pada saat yang sama, India juga rupanya telah melihat bagaimana jutaan orang mendapat lisensi untuk membunuh orang lain atas nama agama yang mereka anut. Ini fakta sejarah. Ini catatan kelam peradaban manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Agama diperalat. Ayat-ayat suci dimanipulasi.
Namun, fakta itu tidak melulu dimiliki oleh India saja. Fakta itu telah menempel lekat dalam kehidupan bangsa-bangsa lain. Kita boleh tidak mengakuinya. Kita boleh merasa malu serempak coba berpaling dari kenyataan ini.
Tetapi sejarah memang akan selalu menjadi pemberi nilai dan sekaligus cermin wajah paling mumpuni bagi para penghuni bumi ini untuk bercermin. Kita tentu tak kuasa lari darinya. Maka dengan jujur, harus kita akui bahwa tak jarang agama justru menjadi pemicu pertikaian dan saling serang. Agama membuat sesame anak bangsa bertikai dan angkat senjata.
Bagaimana di Indonesia? Akankah kita mengikuti jejak hitam dan sejarah kelam di luar sana, agama diperalat untuk kepentingan tertentu kelompok tertentu dan demi kepentingan politis nafsu berkuasa? Meracuni kemanusiaan dengan semboyan dan teriakan lantang provokatif membawa-bawa agama dan ayat-ayat suci.
Apakah Tuhan sudah merancang semua ini? Apakah ini yang telah menjadi kehendakNya? Jawaban atas pertanyaan itu bisa jadi akan seperti jumlah bintang di langit atau pasir di laut. Amat banyak dan alangkah beragamnya. Tetapi, satu hal yang pasti adalah bahwa Tuhan tidak sedang mengutuk kita dengan memberikan kita berbagai ragam dan macam agama, keyakinan, dan keimanan. Kemajemukan adalah keniscayaan, seberapa kuatpun Anda menolaknya.
Namun juga, di sisi lain, adalah utopia untuk mengatakan bahwa dunia adalah tempat yang menyenangkan lantaran kehadiraan agama-agama yang beragam itu. Faktanya? Hari ini begitu banyak manusia yang menderita karenanya. Apakah agama-agama ini yang salah? Tidak. Sama sekali tidak. Kitalah sebagai orang beragama yang mestinya introspeksi diri. Sebagai pemeluk agama, sudah sejauh mana kita memahami ajaran agama yang kita anut.
Tuhan, Agama, dan Kemanusiaan
Hubungan kita dan Tuhan adalah personal. Sama halnya keyakinan keimanan kita. Jadi ketika kebebasan mengekspresikan keyakinan dalam diri seorang manusia (yang amat personal itu) dirampas paksa (dengan alasan apapun) oleh orang lain, acap kali dengan ancaman dan tebaran rasa takut, maka nilai keagamanan akan runtuh dan luntur dengan sendirinya. Lalu kemudian agama menjadi tidak lagi untuk manusia, namun manusia untuk agama. Manusia diperhamba oleh apa yang namanya “agama”. Muncullah perasaan cinta buta.
Beberapa tahun yang lalu ada seorang pendeta Methodist, Wesley Arirajah – penulis buku ‘The Bible and People of other Faiths’ – ia mengajar mata pelajaran agama di sebuah universitas di Sri Lanka. Nah, suatu hari ketika kelasnya lagi membahas tentang topik Upacara Hindu, tiba-tiba seorang siswa mengatakan bahwa ia tidak tahu apa-apa tentang upacara Hindu tersebut oleh karena ia tidak memuja dan menyembah Tuhan (dewa) Hindu apapun.
Lantas si guru itu pun bertanya “Apakah Anda berpikir bahwa dewa Hindu berbeda dengan Tuhannya orang Kristen? Kalau demikian, berapa banyak Tuhan yang ada di dunia ini sebetulnya? Kira-kira apakah ada ruang bersama untuk Tuhannya orang Kristen, salah satu dewa Hindu dan juga Tuhannya orang Islam?”
Untuk Arirajah, jawabannya mengarahkan kepada pemahaman monoteisme murni yakni; hanya ada satu Tuhan. There’s only one GOD. Dalam bukunya ia menulis bahwa Alkitab dimulai dengan kitab Kejadian – penciptaan kosmos, bukan penciptaan agama Kristen, Gereja atau tanah Israel. Oleh karena itu Allah harus menjadi Tuhan semua orang, bukan Tuhan suku tertentu atau bangsa tertentu semata. Kekristenan harus membiarkan Allah tetap menjadi Allah, tanpa harus ‘menguasai’ dan mengatur-ngatur Allah sebagai milik pribadi semata-mata. Allah itu dapat menjadi milik semua orang.
Agama-agama lain juga tentu punya Tuhan yang diakui sebagai Tuhan Yang Maha Pencipta. Tuhan yang sudah menciptakan langit dan bumi dan segala isinya. Apakah lalu kemudian itu berarti ada beberapa Tuhan yang sama-sama menciptakan langit dan bumi?
Karena itu orang tidak memiliki atau menguasai Allah namun Allahlah yang memiliki dan menguasai kita manusia, semua kita tanpa terkecuali, beserta seluruh ciptaannya yang lain. Kita tidak pernah bisa dan tidak pernah boleh mengatur-ngatur Tuhan kita. Dialah yang menguasai dan mengatur kita.
Buku Arirajah adalah sebuah inspirasi. Konon, di awal tahun 90-an kelompok Protestan pimpinan Pdt. Dr. Eka Dharma Putra ingin menerjemahkan buku tersebut ke dalam Bahasa Indonesia tetapi oleh beberapa kelompok Gereja Kristen di Jakarta hal itu tidak disetujui. Saya bisa membayangkan betapa sulitnya untuk sebuah pemikiran ‘liberal’ hidup di negeri ini. Padahal tak jarang itu semua muncul demi untuk mengembangkan Indonesia ke arah yang lebih baik dan ‘membebaskan’ Indonesia dari kepicikan serta pandangan kerdil cara berpikir kaum radikalis. Orang yang berpikiran ‘out of the box’ disebut liberal. Orang yang berpikiran majemuk dan pluralis dikatakan liberal. Apa-apa liberal. Ini liberal itu liberal. Label liberal laku keras, selain kafir. Kalaupun liberal so what gitu loh!
Coba pikirkan baik-baik, daripada Indonesia dikuasai oleh kelompok-kelompok radikal yang ‘cinta buta’ terhadap agama dan keyakinan yang ia anut, jauh lebih baik kemajemukan dan pluralisme yang kita tumbuhkembangkan.
Kehidupan yang mengajarkan kita untuk saling memosisikan diri sebagai setara, dan belajar untuk tak selalu berusaha menang sendiri lalu berdiri sendiri di atas kebenaran dengan muka sinis serta mulut manyun. Memboyong semua kapling di sorga sebagai hanya milik pihak tertentu. Siapapun yang tak sependapat akan cepat-cepat dicap masuk neraka. Ditendang masuk neraka. Seolah-olah merekalah yang pegang kunci sorga. Luar biasa dahsyatnya. Orang-orang ini sebetulnya sudah menista Sang Pemilik Sorga.
Tempo hari, banyak orang Islam curiga ketika seorang Nurcolish Majid (Cak Nur) menggelontorkan ide dan pemikirannya tentang kemajemukan, dan ada sebagian lainnya yang begitu resah lantas gelisah dengan opini serta pendapat-pendapat Abdurrahman Wahid. Lalu, tak sedikit umat Katolik yang menjadi tegang ketika membaca analisis akhir dari tokoh Katolik YB Mangunwijaya.
Kemajemukan harus dimaknai tidak secara sempit saja. Ia harus dirasakan. Ia harus dijiwai. Ia harus dinikmati.
Tuhan telah menempatkan dalam setiap manusia keinginan untuk bebas. Anda hanya akan membunuh seekor bayi elang jika Anda berusaha atau mencoba untuk membantu bayi elang itu keluar dari cangkang telur secara paksa. Karena untuk itu haruslah melalui sebuah proses perjuangan alami dengan kekuatannya sendiri, berkembang lalu beranjak, dan memiliki kemauan untuk hidup, taaasssss akhirnya ia keluar dari telur itu. Menetas.
Dengan cara yang sama, setelah sembilan bulan, seorang wanita hamil mengalami rasa sakit luar biasa oleh kontraksi bayi diperutnya, dalam perjuangannya dan upaya sang bayi untuk ‘bebas’. Jadi, bahkan sejak baru akan lahir pun, manusia sudah memiliki keinginan untuk bebas. Kebebasan adalah salah satu hadiah terbesar yang diberikan Allah kepada kita. Hari ini kebebasan menentukan pilihan menjadi tanda tanya besar.
Ketika kita diperlakukan tidak adil oleh karena ras kita, jenis kelamin, usia atau agama kita, maka percayalah bahwa kebebasan sedang diambil dan sementara dirampas dari kita. Saban kali kita diperhadapkan pada situasi seperti itu kita harus tetap ingat Tuhan. Lantaran Tuhan sendirilah yang sudah memberi kita kebebasan. Dia juga sudah membebaskan kita. Tuhan membebaskan orang tertindas, yang ditawan dan dipenjara oleh sistem politik ambigu dan selalu menonjol-nonjolkan perbedaan SARA. Maka jangan pernah Anda takut.
Di sinilah Anda sebetulnya diuji. Percayalah, dia juga akan membebaskan orang-orang dari ‘penjara spiritual’. Karena justru, masalah terbesar ada di dalam hati setiap orang yang mengaku beragama itu. Mereka yang terpenjara hatinya oleh cara berpikir picik, dan hati yang tak mau menerima perbedaan suatu saat pasti akan dibebaskan juga. Kebebasan itu adalah pemberian Tuhan yang sangat akbar.
 “Freedom is one of the greatest gifts that God has given us. When we are treated unfairly because of our race, gender, age or religion that freedom is being taken away from us, He gives us freedom”
Dengan adanya kebebasan maka kita akan mudah berjumpa dengan perdamaian. Tapi perjumpaan dalam perdamaian tidak akan terwujud bila sifat dan sikap kita fanatik membabibuta terhadap agama yang kita anut.
Istilah lain dari terlalu fanatik terhadap agama yang kita anut disebut sebagai chauvinisme religius, yang artinya cinta buta terhadap agama. Istilah ini diambil dari nama seorang prajurit Prancis, yaitu Nicolas Chauvin yang taat secara membabi buta pada perintah Napoleon. Sejak itu orang yang cinta buta terhadap negara disebut chauvinis. Demikian juga yang fanatik dan ekstrim dalam agama disebut chauvinis religius.
Sekarang, apa lagi yang harus dikatakan? Hari ini kita hidup dengan terlalu banyak kecemasan dan kekhawatiran karena adanya egosentris keagamaan. Kita tengok sedikit ke belakang, Gandhi ditembak mati oleh seorang fanatik Hindu yang khawatir bahwa Gandhi menunjukkan terlalu banyak simpati terhadap umat Islam. Pada saat-saat terakhirnya, karena darah sudah mengalir dari dadanya, Mahatma Gandhi hanya bisa berbisik ‘O, Ram’ – Oh, Tuhan.  Allahnya orang-orang yang merasa rugi ketika persaudaraan dibunuh oleh kebencian.
“It is my goal to love everyone. I hate no one. Regardless of their race, religion, their proclivities, the desire of their heart and how they want to live their life and the decisions that they make. I can even respect people’s decisions and lifestyle choices just as I hope they have the courtesy to respect my decisions and my choices” – Kirk Cameron.
 

0 komentar:

Posting Komentar