Cari Blog Ini

Sabtu, 18 Maret 2017

Ahok, Anies, HT dan Gerakan Intoleransi

 
Belakangan ini berkembang opini yang memunculkan kesan seolah-olah gerakan intoleransi sedang merajalela di Indonesia. Ah, sepertinya lebay deh.
Para penggerak intoleransi itu disebut-sebut telah, sedang dan akan memperjuangkan tegaknya khilafah di negeri yang mayoritas penduduknya menjunjung tinggi keberagaman atau kebinekaan.
Jika pun aroma intoleransi itu tercium begitu menyengat oleh sebagian di antara kita, saya menduga lantaran di DKI Jakarta ada hajatan Pilkada, dan sebagian elite politik di kota ini tidak menghendaki Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjabat kembali sebagai Gubernur Jakarta periode 2017-2022.
Siapa sebenarnya yang tidak senang jika Ahok kembali menjadi Gubernur DKI? Apakah warga Jakarta yang kebetulan penganut agama mayoritas di negeri ini?
Tidak. Bukan mereka, tapi para elite politik dan “penjarah” uang rakyat yang sebelum Ahok menjabat sebagai Gubernur menggantikan Joko Widodo, begitu leluasa berkongsi dengan penguasa memainkan proyek. Buktinya, beberapa di antara mereka kini meringkuk di penjara.
Yang belakangan tidak senang dengan Ahok, sehingga aroma intoleransi semakin tercium ke mana-mana, tentunya adalah pesaing Ahok di putaran kedua, yaitu pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno dan para pendukungnya.
Kubu itu memanfaatkan “napak tilas” putaran pertama, yaitu tuduhan mengada-ada bahwa Ahok menistakan agama hanya gara-gara Ahok minta agar warga Jakarta jangan mau diperdaya oleh elite politik yang memakai sebuah ayat suci dalam memilih pemimpin.
Namun, apa pun yang terjadi, saya beriman bahwa semua itu terjadi karena seizin Tuhan yang rindu bangsa ini, khususnya warga DKI Jakarta, semakin dewasa dalam beragama, berinteraksi sosial, dan berdemokrasi. Juga dalam rangka menempa Ahok agar ia semakin tangguh dalam memimpin, baik kelak kalau ia terpilih sebagai Gubernur DKI dalam putaran kedua atau sebaliknya. Rencana Tuhan pasti indah buat siapa pun.
Logikanya, kalau warga Jakarta menjunjung tinggi semangat intoleransi seperti yang mungkin dikehendaki oleh sebagian elite politik dan pendukung pasangan calon gubernur pesaing Ahok, mantan Bupati Belitung Timur ini sangat mungkin akan gugur di putaran pertama.
Ya, di putaran pertama tempo hari dia pasti akan memperoleh suara 10 persen seperti hasil survei yang dilakukan lembaga surveinya Denny JA.
Faktanya, Ahok memperoleh 42,87 persen suara. Dengan kata lain ia meraih juara pertama. Di luar DKI Jakarta, ia sudah dipastikan bakal menjadi Gubernur. Sebagian besar pemilih Ahok pastinya adalah warga Jakarta penganut agama mayoritas. Bagaimana mungkin kita menyimpulkan bahwa kelompok intoleran sedang berkuasa atau marajalela di negeri ini, setidaknya di Jakarta?
Oleh sebab itu saya bisa pahami jika Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono sehari sebelum hari pemungutan suara (15 Februari) mengaku resah seolah-olah ada “…..phobia”.
Saya juga bisa pahami jika ada sementara pihak yang menyatakan tidak setuju dengan Presiden Joko Widodo yang beberapa pekan lalu mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia sudah kebablasan. (Sumber: https://news.detik.com/berita/3428904/jokowi-demokrasi-kita-sudah-kebablasan).
Boleh jadi Pakdhe Jokowi menyimpulkan demikian setelah melihat hiruk-pikuk demokrasi Pilkada di DKI Jakarta yang diakui atau tidak telah melahirkan kesalahpahaman dalam kebebasan berpendapat. Ujung-ujungnya, ujaran kebencian, fitnah, bahkan berita abal-abal (hoax) bernuansa keagamaan dianggap sebagai kebenaran, lalu muncul stigma gerakan intoleransi sedang melanda negeri ini.
Tak usahlah jauh-jauh, di Banten juga ada Pilkada yang diikuti dua kandidat Calon Gubernur, yaitu Rano Karno yang didukung partai nasionalis, dan Wahidin Halim yang antara lain didukung Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Di Jakarta, PKS adalah pendukung berat Anies-Sandi. Siapa pun tahu bahwa pasukan PKS-lah yang selama ini lihai berstrategi bagaimana menumbangkan Ahok dengan berbagai cara. Partai ini diakui pandai mengemas opini dengan pendekatan agama.
Yang menarik, banyak umat Kristen di Banten memilih Wahidin Halim yang jelas-jelas didukung partai Islam (PKS). Penasaran dengan fakta seperti itu, saya bertanya kepada sejumlah anggota komunitas sebuah gereja di Tangerang: “Tanggal 15 Februari lalu mencoblos siapa?” Jawabannya beragam, ada yang mengaku memilih Rano dan ada pula yang memilih Wahidin.
Namun, fakta tidak terbantahkan bahwa wajah demokrasi Pilkada di DKI memang lumayan menyeramkan lantaran kaum bumi datar atau kaum bersumbu pendek terus membombardir warga Jakarta dengan isu SARA. Demi Cagub yang didukung memenangi kontestasi Pilkada, mereka tidak peduli bahwa opini yang mereka bangun telah membuat sebagian masyarakat semakin bodoh.
Gerakan pembodohan rakyat itu terbukti memang cukup efektif. Melalui grup WA kemarin (Kamis 2 Maret) saya mendapat informasi ada seorang pemuka agama yang menolak aksi sosial (pelayanan pengobatan gratis) di salah satu perkampungan di Jakarta.
Pemuka agama itu menolak lantaran beberapa aktivis pengobatan gratis mengenakan baju kotak-kotak, identik dengan Ahok. Dengan kasar, sang pemuka agama menyebut salah seorang relawan kesehatan dengan kata-kata “setan”.
Beruntung, kasus itu tidak dibiarkan berlarut-larut. Tim kesehatan bersama aparat keamanan malam harinya lalu menyambangi rumah sang tokoh yang kemudian meminta maaf dan berharap agar “aksi bodohnya” itu tidak diperpanjang.
Di luar itu, seruan diskriminatif, seperti para warga yang memilih Cagub DKI yang tidak seagama tidak akan mendapatkan pelayanan salat jenazah di rumah Tuhan masih terus dikumandangkan.
Ujaran kebencian yang ditujukan kepada etnis Tionghoa lewat WA, Telegram, Twitter, Facebook dan media sosial lainnya juga terus marak. Bahkan seorang “imam besar” yang tempo hari memberikan kesaksian di persidangan ke-12 kasus “penistaan agama” pun ogah berjabatan tangan dengan Ahok dan tim penasihat hukumnya.
Bentuk intoleransikah aksi-aksi di atas? Menurut saya tidak. Maaf kalau para pembaca Seword tidak sependapat dengan saya. Saya yakin jika Ahok dan kawan-kawan menyambangi rumahnya, sang “imam besar” pasti akan membuka pintu rumah dan hatinya.
Jika pun aksi “pembodohan rakyat” itu masih terjadi sekarang ini, semua itu dilakukan semata-mata bertujuan atau bermotifkan agar Ahok kalah telak dalam putaran kedua. Tidak lebih dari itu. Mereka tidak senang jika Ahok yang bukan sekaum dan seagama (minoritas pula) terus moncer di Jakarta.
Para kaum bumi datar hanya merasa kecolongan karena tidak dinyana kaum bumi bulat dan pemilik akal sehat kok punya prestasi luar biasa. Karena tak bisa melawan dengan akal sehat, SARA pun digunakan.
Terlepas sampai sejauh mana SARA terus digosok-gosok para kaum bumi datar demi memperjuangkan “yang penting bukan Ahok”, saya yakin toleransi dan kebinekaan di negeri ini tidak bakal terkoyak, apalagi sampai luluh lantak.
Bahwa Anies-Sandi bersahabat dengan ormas yang dituding menjunjung tinggi semangat intoleran, itu adalah hak Anies. Kita tidak boleh menggugat, apalagi marah dan benci.
Sebaliknya, kita harus dukung, sebab ormas itulah yang menjadi soko guru Anies-Sandi dalam putaran kedua nanti. Bahwa Anda mau tertawa terpingkal-pingkal lantaran Anies yang terpelajar didukung ormas yang kerap menjungkirbalikkan logika tersebut, itu hak Anda.
Demi mengalahkan Ahok-Djarot, dalam hajatan Pilkada, Anies berhak berbuat apa saja. Namun, saya percaya Anies sesungguhnya adalah seorang pluralis dan penjunjung tinggi toleransi.
Ia pasti sangat sadar bahwa di Partai Gerindra ada orang-orang keturunan Tionghoa yang juga memilihnya dalam putaran pertama tempo hari.
Anies pasti tahu bahwa di partai itu ada Hashim S Djojohadikusumo, adik Prabowo Subianto (Ketua Umum Partai Gerindra). Disebut-sebut Hashim-lah yang kerap mendonasikan uangnya ke Gerindra. Tanpa mengecilkan peran Sandiaga, boleh jadi Hashim pulalah yang ikut mendanai kampanye Anies-Sandi, padahal Hashim penganut Kristen yang oleh teman-teman Anies yang berasal dari kaum bumi datar diidentikkan dengan kaum kafir.
Selain berteman dengan Lieus Sungkharisma yang jelas-jelas keturunan Tionghoa, Anies juga berkarib dengan bos MNC Group, Harry Tanoesoedibjo (HT).
Dibandingkan dengan Ahok, HT tampaknya lebih Kristen. HT adalah jemaat sebuah gereja beraliran Kharismatik yang semangat berdakwahnya lebih militan dibanding aliran Protestan seperti gerejanya Ahok. Ahok adalah jemaat Gereja Kristus Yesus (GKY).
Tidak banyak yang tahu, doktrin gereja Kharismatik adalah jemaatnya harus bisa menjadi kepala, bukan ekor. Konkretnya, orang Kristen harus siap menjadi pemimpin di bidang apa pun, bukan sekadar berada di belakang atau bawah.
Semangat seperti itu tampaknya sudah tertanam kuat dalam diri HT. Buktinya, ia telah menguasai media massa di negeri ini, mulai dari media cetak, radio, media online dan televisi. Kurang apa lagi? Ia benar-benar telah menjadi “raja” di bidang media.
Maka jangan heran kalau ia pun merasa perlu mendirikan partai (Perindo) dan duduk sebagai Ketua Umum. Maaf, jangan salahkan dan tertawakan HT jika kelak ia mengajukan diri sebagai calon presiden pada 2019.
Dalam berpolitik, gereja aliran Kharismatik memang lebih permisif. Tapi, tidak demikian dengan aliran Protestan, berpolitik agak ditabukan. Politik bahkan dilarang masuk gereja, meskipun ada juga gereja aliran Kharismatik yang sama sekali melarang kegiatan politik di gereja.
Akan halnya Ahok. Meskipun ia tercatat pernah menjadi ketua majelis di gerejanya, aliran Protestan tidak ekspansif. Gereja beraliran ini dalam misinya lebih fokus ke dalam, yaitu melakukan pembinaan iman kepada warganya.
Gereja beraliran Protestan tidak mengenal yang namanya KKR (Kebaktian Kebangunan Rohani). Mendengar KKR, orang Kristen beraliran Protestan biasanya agak alergi. Istilah KKR bukan sesuatu yang asing buat gerejanya HT.
Oleh sebab itu, saya bisa pahami jika Hashim pernah menyebut Ahok sebagai umat Kristen yang tidak baik (lihat:http://www.tribunnews.com/nasional/2016/12/14/adik-prabowo-subianto-sebut-ahok-bukan-umat-yang-baik).
Di kalangan Kristen beraliran Kharismatik, sangat mungkin Ahok memang bukan Kristen yang baik, sebab selama menjabat sebagai Gubernur, Ahok lebih peduli kepada umat Islam daripada kepada umat Kristen. Suatu kali Ahok bahkan pernah marah-marah kepada seorang pendeta yang minta perlakuan khusus dari Pemprov DKI dalam soal izin pendirian gedung gereja.
Ya, sudahlah, jika dalam hajatan Pilkada, khususnya di DKI Jakarta, muncul kesan ada gerakan intoleransi, anggap saja itu sebagai warna warni demokrasi dalam proses pemilihan gubernur.
Siapa pun yang menang nanti, situasi dan kondisi sosial politik akan kembali normal. Menghadapi putaran kedua, warga Jakarta selayaknya membuka wawasan dan hati, jangan sampai menyesal di kemudian hari.
Sekali lagi, belajar dari pengalaman putaran pertama Pilkada DKI, sesungguhnya tidak ada intoleransi di Jakarta. Yang ada hanyalah kepentingan sesaat. Anies, HT, apalagi Ahok adalah pejuang toleransi.
 

0 komentar:

Posting Komentar