Orang-orang sok benar itu perlu diingatkan kembali, demokrasi bukan (hanya) soal pertarungan berebut kuasa. Demokasi hanya alat bagi warga untuk turut berkontribusi dalam hal-ihwal bernegara. Pilkada pun hanya wahana penyaluran gagasan-gagasan kaitannya dengan perbaikan kualitas hidup. Siapapun yang terpilih (berkuasa) nantinya tak boleh melegitimasi pemaksaan kehendak kelompok tanpa batas, mereka tak boleh bertindak semaunya.
Pilkada adalah pesta demokrasi. Lazimnya sebuah pesta, harusnya orang-orang yang terlibat diliputi kegembiraan, bukannya saling sikut. Tapi yang terjadi, demokrasi hanya dilihat sebagai sistem untuk meraih kuasa, begitulah penerjemahan para politisi dalam berkompetisi. Padahal, dalam perspektif kemanusiaan yang lebih luas, semua individu punya hak yang sama, suara-suara yang disetor nilainya dihitung per kepala.
Sayangnya, gejolak Pilkada akhirnya tak terkendali. Salah dan benar diukur pada kelompok mana anda berpihak. Pilkada tidak lagi soal kompetisi untuk meraih kursi pemerintahan, apa yang terlihat adalah pertarungan brutal nyaris tanpa batas.
Tanpa legitimasi kuasa pun, para kelompok radikal dan barisan penganutnya telah memamerkan wajah sangar kekuasaan. Ngeri membayangkan,jika kekuasaan betul-betul telah mereka dapatkan. Ketika itu terjadi, demokrasi hanya akan menjadi alat bagi mereka untuk berkuasa, lalu menendang siapapun yang berbeda dengan mereka.
Dekonstruksi religi
Bukan salah demokrasi ketika pertarungan brutal terjadi. Sebuah implementasi praktek demokrasi yang sebenarnya telah diprediksi oleh Max Weber, sebagai proses sosial yang makin buram. Menurut Weber, gejala buram tersebut ditandai oleh masyarakat yang seringkali tidak mampu memperkirakan secara jelas konsekuensi dari tindakannya.
Kita menyaksikan segala urusan duniawi tak ada yang luput dari urusan Pilkada. Bantuan uang, baju kaos, iklan di televisi, kunjungan presiden, kedatangan Raja Salman, hingga cerita asyik dalam gemerlap lampu Alexis, semuanya dimasukkan dalam daftar kampanye negatif.
Pada tingkat yang lebih dramatis, tuduhan munafik, sesat dan kafir telah mendekonstruksi makna kesucian religi. Bahkan yang lebih ekstrim, kelompok radikal berani melangkahi kewenangan Tuhan melalui doktrin satu-satunya kebenaran versi kelompoknya. Khotbah-khotbah diteriakkan berbunyi tuduhan, fitnahan, dan makian mengacaukan suasana khusyu majelis-majelis.
Kelompok radikal sudah jauh melampaui batas. Mereka mengaku ber-Tuhan tapi dengan lantang mendelegitimasi kewenangan Tuhan. Apa yang mereka khotbahkan sebenarnya jauh lebih berbahaya dari apa yang kita saksikan. Mereka tidak mampu mengira konsekuensi dari ucapan dan tindakannya.
Dan yang miris adalah upaya mengaitkannya dengan persoalan akhirat. Sejak polemik Al-Maidah yang menggiring Ahok menjalani rentetan persidangan dengan dakwaan penista agama, lalu diikuti dengan kisah lainnya yang juga dikemas sebagai bingkisan akhirat.
Memilih calon gubernur kini tak selesai hanya pada persoalan duniawi. Dalih demi kepentingan akhirat, potongan-potongan ayat diumbar dalam materi khutbah Jumat yang ditafsirkan dalam bahasa makian dan nada kebencian yang berujung tuduhan kafir.
Mencoba berkuasa di akhirat
Kisah drama politik Pilkada DKI kian buram dengan upaya ‘menghadirkan’ alam akhirat di dunia fana. KH. Said Aghil Siraj, Ketua PBNU tidak segan-segan menyebut kalau mereka telah begitu lancang membawa Tuhan turut berkampanye.  Setelah hampir dipastikan mentalnya kasus penista agama, boikot Sari Roti pun tidak menghasilkan simpatik sama sekali. Atas nama Tuhan, mereka mengeluarkan larangan menshalatkan jenazah, larangan menerima bantuan untuk masjid, hingga larangan berjodoh ke orang yang dikiranya telah berbuat nista. Mereka benar-benar mencoba melegitimasi kekuasaan dunia dan akhirat. Mereka telah menentang Tuhan.
Gejala ini terang membenarkan anggapan Weber, bahwa masyarakat tidak mampu lagi, atau mungkin tidak peduli lagi dengan implikasi tindakannya. Mengumbar tuduhan kafir jelas sebuah tindakan fatal yang berpotensi merusak tatanan masyarakat. Tuduhan kafir adalah sikap radikal yang menempatkan kelompok yang mereka sebut kafir sebagai musuh yang harus dilenyapkan. Radikalisme nyata telah mewabah di tengah masyarakat, yang jika dibiarkan akan menuyulut menjadi konflik fisik yang mengerikan.
Kekuasaan memang menggiurkan, sebab dengan berkuasa mereka dengan mudah memperoleh akses terhadap pemenuhan keinginan-keinginan. Karenanya, perebutan kekuasaan selalu berlangsung ketat dan tak jarang menghadirkan tragedi berdarah.
Saudara-saudara kita yang saat ini sedang kalap, perlu diperingatkan, pantas ditegur agar segera menyadari, bahwa kekuasaan yang dikiranya hendak digenggamnya, sebenarnya hanya ilusi belaka. Dunia yang fana ini hanya fatamorgana.
Dan mencoba tetap berkuasa di akhirat adalah tindakan nyata penentangan terhadap Kekuasaan Tuhan.