Cari Blog Ini

Minggu, 26 Maret 2017

FPI, Kalian Harus Malu dengan Pater Ernest Wasser!

 
Miris memang. Negeri yang ngakunya ber-bhineka tunggal ika ini harus dihadapkan pada kenyataan tragis yang tidak pernah selesai-selesai: susahnya membangun tempat ibadah bagi minoritas di tengah mayoritas. Fungsi negara terasa lumpuh di hadapan tekanan segolongan kaum yang tidak sudi berbagi tempat.
Kali ini, sebagaimana video yang diunggah oleh youtuber @FPI Front Pembela Islam berikut ini, rasa-rasanya kita patut untuk merasa malu sebagai sebuah bangsa. Saya katakan harus malu karena aksi ini dipicu oleh penolakan pembangunan Gereja St. Clara yang sudah memenuhi semua unsur pendiriannya, tapi tetap ditolak juga oleh mereka yang anti.
Bukti-bukti bahwa semua unsur telah terpenuhi oleh Gereja St. Clara untuk bisa berdiri di tempatnya sebagai rumah ibadah bisa Anda simak dari beberapa link sumber berikut ini:
Lalu, apanya lagi yang membuat gereja tersebut masih dikatakan liar dan karenanya harus ditutup? Dikutip dari Tempo.co, rencana pembangunan Gereja Santa Clara ditolak oleh massa yang mengatasnamakan Aliansi Majelis Silaturahim Umat Islam Bekasi karena tak diajak berbicara perihal pembangunan gereja tersebut. Alasannya, Bekasi Utara merupakan kota santri.
Seorang perwakilan dari forum tersebut, Ustad Idofi, mengatakan pihaknya akan melakukan verifikasi di lapangan. Sebab, selama proses itu, pihaknya merasa tak dilibatkan. Karena itu, Aliansi bersepakat dengan pemerintah untuk saat ini dalam status quo. “Kami sendiri juga harus menjaga kondusivitas di lingkungan,” ujarnya.
Bertolak belakang dengan pernyataan Idofi dari aliansi tersebut, FKUB Bekasi melalui sekretarisnya, Hasnul Khalid Pasaribu, mengatakan bahwa Gereja St. Clara sekarang sudah memenuhi semua unsur pendirian. Hasnul juga mengatakan bahwa lembaganya sudah mengecek satu per satu warga berikut identitasnya. Hasilnya cukup valid, katanya, tak ada manipulasi data selama proses pembuatan izin tersebut. Ia mengaku mendokumentasikan warga pemberi izin tersebut.
Masih menurut Hasnul, di tingkat kelurahan dan kecamatan juga dibentuk tim rencana pembangunan itu. Hasilnya, menyetujui dibangun Gereja Santa Clara di RW 6, Kelurahan Harapan Baru, Bekasi Utara. Terakhir, perizinan dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Bekasi. “Semua sudah melalui prosedur, tak ada masalah,” kata Hasnul.
Menutup bagian ini, ingin saya kutip hasil share seorang rekan di grup whatsapp yang mana katanya merupakan kutipan dari Pak Hayono Isman berikut ini.
Dari Pak Hayono Isman,
Rakyat semakin mengerti mengapa isu-isu adu domba antar sesama bangsa Indonesia marak akhir-akhir ini bukan semata-mata untuk kepentingan pilkada Jakarta. Dari isu adu domba TNI dengan Presiden Jokowi, isu muslim non-muslim, Isu etnis cina dan etnis arab dst nya.
Sangat jelas isu-isu ini di rekayasa untuk melayani kepentingan tiga kelompok:
1. Kelompok yang berhadapan dengan hukum kasus korupsi.
2. Kelompok yang ingin berkuasa tanpa melalui proses demokrasi.
3. Kelompok ekstrim kanan yang menginginkan kehadiran negara agama dengan meruntuhkan pilar-pilar kebangsaan Indonesia Pancasila dengan sentimen agama.
Gerakan kelompok ini dilakukan dengan dari cara yang senyap sampai dengan secara terbuka dan blak-blakan diberbagai medsos dan memaanfaatkan berbagai ruang agama.
Kalian tidak akan berhasil karena cara kalian tidak amanah dan bertentangan dengan konsensus nasional dan tidak hanya berakibat fatal bagi NKRI namun bagi kemanusiaan seperti yang sudah terjadi di India/Pakistan, Uni Soviet, negara-negara gagal di Timur Tengah.
Kenapa kalian akan gagal karena sejarah menyatakan, rakyat dari berbagai SARA bersama TNI dan berbagai komponen bangsa akan melawan siapapun yang ingin mengubah NKRI berdasarkan Pancasila.
Hayono Isman
Kalian Menolak Pembangunan Gereja St. Clara, Ironisnya Pastor Bule Ini Mendirikan Masjid di Tengah Mayoritas Katolik di Flores
Anda sekalian yang menolak pembangunan Gereja St. Clara…, Anda harus malu pada sosok P. Ernest Wasser, SVD. Ketika kalian bilang awas bahaya asing dan aseng, beliau patahkan. Ketika kalian katakan awas Kristenisasi, beliau patahkan juga. Nih, simak!
  1. Sebelum menuju fakta tentang beliau mematahkan tuduhan-tuduhan kalian kaum intoleran, perlu kiranya saya bagi kesaksian saya selaku saksi sejarah tentang seorang figur bernama Pater Ernest Wasser. Percayalah, saya tidak mungkin akan bisa bertemu Anda sekalian di media ini andaikata saya tak pernah bersentuhan sejarah dengan beliau. Selama 6 tahun (SMP-SMA) di bawah gemblengan beliau di sekolah yang menyatu dengan asrama putra maupun putri (diam-diam saya tergoda menyamakannya dengan pesantren) bernama Lembaga Pendidikan St. Klaus, kami tak hanya diajari bahasa-bahasa asing semisal Latin, Jerman, Ingris dan bahkan Arab-Melayu. Lebih dari itu, kami diajari tentang penghargaan terhadap kehidupan yang lebih mendasar. Sebagai contoh, penghargaan terhadap perbedaan jenis kelamin di antara kami peserta didik. Di mana, antara siswa dan siswi di sekolah ini hanya membedakan kami pada saat jam tidur dan mandi. Di luar itu kita semua bareng-bareng, sekolah bareng, studi sore hingga malam bareng, kerja fisik dan olah raga pun bareng. Hebatnya, di sekolah ini belum pernah terjadi kasus hamil di luar nikah yang melibatkan antarpeserta didik hingga hari ini. Pacaran antarpeserta didik berlangsung sehat karena kita dididik untuk melihat lawan jenis sebagai saudara atau saudari kandung. Bahwa di kemudian hari ada yang sukses melanjutkan hubungan menjadi hubungan pernikahan, sampai kini masih terhitung jari semenjak sekolah itu berdiri tahun 1983 (SMP) dan 1989 (SMA). Kami juga diajari kesederhanaan hidup oleh beliau. Makanan seadanya yang tanpa lauk-pauk adalah murni keinginan beliau agar para peserta didik bisa merasakan dari dekat kehidupan kaum tak berpunya. Beliau sendiri meski berlimpahan donatur dalam maupun luar negeri, hidup amat sederhana. Kira-kira demikian sekelumit dari segudang kisah yang bisa saya bagi berdasarkan pengalaman langsung saya bersentuhan dengan Pater Wasser, demikian kami biasa memanggilnya, sosok yang sangat humanis dan toleran ini.
  2. Berikutnya, sebagaimana dimuat di Kompas beberapa tahun lalu, wahai kaum intoleran Indonesia…., yang ironisnya punya KTP Indonesia; lahir dan besar dari keluarga Indonesia asli; namun entah kenapa jadi sedemikian beringas tatkala sesama saudara sebangsa yang berbeda keyakinan hendak mendirikan tempat ibadah guna menghadap Tuhannya. Kalian harus malu melihat foto ini!
    Pater (Rm) Ernest Wasser, SVD dengan Latar Belakang Masjid Yang Dibangunnya
    Seperti terlihat dalam foto di atas, itu adalah Pater Wasser dengan latar belakang masjid yang dibangunnya. Kalian tahu, di mana masjid itu dibangun? Itu di Kec. Bari, Kab. Manggarai Barat, Flores, NTT. Sebut kata Flores, semua orang tahu itu adalah pulau di salah satu propinsi di negeri ini dengan mayoritas penduduknya adalah Katolik. Pernahkah terbayangkan, bagaimana jika umat Katolik di sana mendemo pembangunan masjid ini? Saya bisa jawab, itu tidak akan pernah terjadi. Kenapa? Bukan karena ada figur Pater Wasser yang amat dicintai di balik pembangunannya. Melainkan, karena di NTT itu mayoritas “penuh dosa” semua, merasa tidak layak menyamakan diri sebagai Tuhan bagi sesama manusia. Mereka tak sesuci kalian yang biasa mengkapling-kapling surga menurut syarat dan ketentuan kalian.
    Lucunya, provinsi yang “penuh dosa” tersebut malah menyabet penghargaan sebagai Juara 1 Provinsi Paling Toleran Se-Indonesia (cek sumber) tahun 2015 lalu. Meski mayoritas Kristiani, prinsip lakum dinukum waliyadin, (agamamu agamamu, agamaku agamaku) di sana diterapkan dengan amat sangat baik.
    Menag Menganugerahkan Trofi Penghargaan Provinsi Paling Toleran Se-Indonesia 2015 kepada Gubernur NTT, 30 Desember 2015
    Demikianlah, wahai FPI dan barisan intoleran lainnya, membandingkan antara kalian yang pribumi dengan Ernest Wasser yang bule kelahiran Switzerland, kalian harusnya malu. Entahlah kalau urat syaraf malu kalian sudah lama terputus karena sering dipakai berteriak-teriak tidak jelas di aksi-aksi brutal kalian selama ini.
    Semoga lekas waras!!!
     

0 komentar:

Posting Komentar