Cari Blog Ini

Sabtu, 18 Maret 2017

Pilkada DKI, Batu Loncatan Ormas Intoleran Wujudkan NKRI Bersyariah

Ada dua hal yang sesungguhnya membuat Pilkada DKI kali ini terasa sangat gaduh. Pertama, kemunculan Ahok. Kedua, hidden agenda yang sedang dipersiapkan ormas-ormas radikal intoleran untuk mewujudkan NKRI bersyariah. Kedua alasan ini sangat berkaitan erat, sehingga gaung Pilkada DKI sudah terasa jauh-jauh hari. Maka tidak berlebihan jika sebagian kalangan menyebut Pilkada DKI berasa Pilpres. Pemilihan kepada daerah, namun berasa seperti pemilihan Presiden.
Ahok memang fenomenal. Berasal dari etnis minoritas dan berkeyakinan minoritas membuat dirinya menjadi sasaran ormas-ormas intoleran yang selalu mengklaim mewakili suara mayoritas. Lupakan sejenak tuduhan kasus penistaan agama yang dialamatkan kepadanya. Jika tidak tersangkut kasus itu pun, sosok Ahok akan ditolak ormas-ormas tersebut. Ada atau tidak ada kasus itu, di mata mereka Ahok adalah batu sandungan untuk mewujudkan cita-cita mereka.
Namun, mereka sesungguhnya iri. Mengapa sosok seperti Ahok tidak pernah muncul dalam kelompok mereka, mengapa sosok Ahok sulit ditemukan dalam umat ? Maka benarlah pernyataan Buya Syafii Maarif bahwa kehadiran sosok Ahok cukup mengejutkan :
“Gejala Ahok adalah gejala kegagalan parpol Islam melahirkan pemimpin, tapi tidak mau mengakui kegagalan ini. Selama tidak jujur dalam bersikap, jangan berharap kita bisa menang. Saya tidak membela Ahok, energi bangsa terkuras habis. Anda Harus mampu membaca masalah ini secara jernih, tidak dengan emosi. Selamat berfikir.”
Sosok Ahok yang tegas, tanpa tedeng aling-aling, progresif, anti korupsi jujur bisa dibilang langka. Dia adalah anomali manusia Indonesia. Kesulitan mencari sosok Ahok mungkin bisa dibandingkan dengan kesulitan mencari 11 orang pemain sepakbola handal di antara 250 juta lebih manusia Indonesia. Ibarat pepatah, “mencari jarum dalam tumpukkan jerami” adalah fenomena Ahok belakangan ini.
Soal yang kedua adalah cita-cita mewujudkan NKRI bersyariah. Ini adalah lagu lama, tapi mereka masih bernostalgia untuk merealisasikannya. Tidak seperti tokoh-tokoh Islam senior di awal kemerdekaan yang legowo menerima Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, mereka tetap kekeuh hendak memerjuangkan tegaknya syariat Islam di negeri ini. Apakah salah ? Ya, salah karena Pancasila, NKRI, Bhineka Tunggal Ika dan UUD 1945 sudah merupakan kesepakatan bersama. Keempatnya merupakan pilar berbangsa. Merobohkannya berarti merusak pilar-pilar tegaknya bangsa ini.
Lagipula, apalagi yang hendak mereka cari ? Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama’ (PBNU) Bidang Fatwa dan Imam Besar Masjid Istiqlal, yakni Prof Dr KH Ali Mustafa Yaqub MA  (alm) pernah mengatakan “Indonesia sudah memenuhi persyaratan sebagai negara Islam”. Hal itu beliau sampaikan dalam rapat persiapan Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar NU (Munas dan Konbes NU 14-17 September 2012) (madinatuliman.com).
Di hadapan sedikitnya lima puluh kiai, Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta sekaligus Pengasuh Pesantren Luhur Ilmu Hadits Darus Sunnah tersebut menjelaskan bahwa negara Islam itu setidaknya harus memiliki empat aspek; aspek ubudiyah, mu’amalah, munakahah, dan jinayah. Keempatnya menjadi indikator bagi negara Islam. Indonesia sudah bisa dikatakan sebagai negara islam, karena Indonesia sudah didukung oleh aspek-aspek tersebut, imbuh Guru Besar Ilmu Hadits Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta tersebut. .
Jadi, apa yang sesungguhnya diinginkan oleh ormas-ormas radikal tersebut ? Aksi-aksi mereka mengingatkan kita pada masa lalu, ketika sekelompok orang ingin memaksakan kehendaknya untuk merubah dasar negara ini. Upaya paling ekstrem yang pernah mereka lakukan adalah pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Sebuah pemberontakan yang berlangsung cukup lama dan mendapatkan dukungan dari tokoh-tokoh daerah. Untungnya, pemerintahan pada waktu itu cukup solid, sehingga DI/TII bisa dihancurkan.
Mengingat trauma itu, maka mereka tidak mungkin menempuh pemberontakan terbuka seperti dilakukan pendahulu-pendahulunya. Mereka berusaha secara konstitusional, secara perlahan membentuk opini di tengah-tengah publik. Mereka mengikuti cara-cara demokrasi yang sesungguhnya mereka kutuki itu. Mereka mencoba memberikan warna dalam pemilihan-pemilihan kepala daerah. Salah satunya adalah Pilkada DKI yang sedang berlangsung. Pilkada ini tentu saja lebih bergengsi dibanding dengan pilkada-pilkada lainnya. Oleh karenanya, Pilkada DKI menjadi medan pertarungan, dan perebutan pengaruh dan batu loncatan. Dan di sinilah, posisi Ahok jelas-jelas menjadi batu sandungan untuk mencapai cita-cita mereka.
 

0 komentar:

Posting Komentar