Cari Blog Ini

Jumat, 10 Maret 2017

Dalam Beragama, Rujukan Pertama Adalah Google Terakhir Al Qur’an

 
Sebenarnya, kita adalah makhluk-makhluk bodoh yang mau-maunya memiliki agama. Untuk menjadi pengikut pada suatu agama, termasuk Islam. Kita harus memutar otak dua puluh empat jam non stop. Merenungi. Menghayati, dan memaknai ajaran-ajaran dalam agama tersebut. Beragama. Berarti kita harus mengulik. Membedah rahasia tuhan. Menyingkap tabir yang tertutupi. Menemukan rumus-rumus tuhan. Demi mengenalnya lebih jauh. Demi memantapkan dan membimbing jiwa kita mengahadapi hidup yang njelehi ini.
Cusssss. Gedeblug….
Tuhan menurunkan kitab suci pembimbing manusia ke bumi. Untuk menemukan rumus-rumus tuhan. Manusia perlu menelaah kitab suci sebagai buku manual untuk lebih dekat dengannya. Untuk mengetahui mana yang baik dan buruk, mana yang benar dan salah. Tapi ternyata eh ternyata. Kitab suci itu terlalu kecil sebagai sumber pemaknaan tuhan. Manusia tetap harus memutar otaknya, menyiramnya dengan oli agar lebih licin untuk memikirkan tuhan. Untuk beragama.
Sedikit demi sedikit, kitab suci (Al Qur’an) ditelaah. Dijabarkan sedikit demi sedikit oleh para cendekiawan. Imam Muslim. Para Habaib. Kyai. Syech. Ilmuwan Muslim. Dan sebagainya. Mereka menuangkannya ke dalam kitab yang berlembar lembar dan beribu-ribu. Dahsyat. Mengagumkan. Memaknai Al Qur’an dan Tuhan mulai terbantu. Otak dalam berpikir tidak terlalu ngoyo lagi. Secara perlahan, karena lebih enak dan mudah membaca kitab karangan cendekiawan muslim daripada Al Qur’an. Umat muslim mulai mengesampingkan Al Qur’an.
Jaman terus berkembang. Manusia terus menuntut perubahan dan kemudahan. Kitab-kitab para ulama dan cendekiawan itu dirasa terlalu berbelit-belit. Kuno, terlalu muluk-muluk. Kebanyakan filsafat. Apalagi ditambah masyarakatnya kurang minat dalam membaca. Melelahkan. Mereka lebih suka mendengar. Maka lahirlah ceramah-ceramah. Masyarakat berdatangan, menyimak. Buku ditinggalkan, Al Qur’an di kesampingkan. Ulama dielu-elukan.
Tapi jaman terus berjalan. Masyarakat malas keluar rumah. Model ceramah sudah tidak diminati. Mau membaca malas, mendengarkan ceramah, juga enggan. Maka lahirlah artikel. Rangkuman dari isi ceramah dan rangkuma beberapa kitab. Dua lembar, cukup. Umat islam tersenyum. Al Qur’an semakin jauh.
 
Artikel mulai membantu. Disebarkan kepada masyarakat luas. Perkembangan teknologi meluas. Internet masuk lahirlah Google. Artikel dimasukkan. Masyarakat membaca. Muncullah sesosok makhluk misterius tanpa rupa. Banyak dipuja dan begitu pintar. Dia adalah sosok keramat pujaan para netizen ababil. Dia menjadi the only one dalam memahami agam Islam dan agama lainnya. Dia adalah kitab suci, ulama, dan cendekiawan itu sendiri. Dia adalah, Mbah Google!
Cukup dengan satu jari diusap-usapkan diatas kaca setebal rambut, sudah keluar berbagai ilmu pengetahuan yang maha luas. Mbah Google, juru kunci itu mulai memiliki banyak Santri. Banyak pengikutnya. Mereka memuja, bahkan sampai ngeloni dimanapun dan kapanpun. Mbah Google, jauh melebihi Al Qur’an dan omongan Ulama. Mbah Google, adalah bagian kehidupan dari para pengikut agama itu.
Nun jauh di sana. Al Qur’an. Dan kitab suci lain. Tergeletak berdebu. Kadang diteleki cicak. Tapi toh kita tetap diam saja. Kesucian Al Qur’an tidak ada apa-apanya dibandingkan kesucian Mbah Google dan kitab Searchingnya. Mbah Google hadir disetiap sendi kehidupan. Tinggal bilang Hallo Google, maka seluruh pengetahuan, dan makna akan tuhan serta kehidupan akan membentang luas dari sabang sampai merauke.
Kini para pengikut agama tersebut sudah tidak perlu repot-reot membaca Al Qur’an dan menelaahnya. Mereka tidak perlu mempelajari Nahwu Sorof. Mereka tidak perlu mempelajari tafsir. Membaca kitab Al Hikam. Melakukan perbandingan antara ajaran satu Ulama dan ulama lain. Menimbang tafsir Al Qur’an. Mempelajari ikhwal turunnya surat tersebut. Cukup bilang hallo google. Semua permasalahan terjawab.
Kita ingin mengetahui seperti apakah tuhan. Mbah Google menjawab. Kita ingin mengetahui agama apa yang paling benar? Mbah Google menjawab. Kita ingin mengetahui apakah ini haram atau halal? Mbah Google kembali menjawab. Kita ingin mengetahui apakah kita harus memilih pemimpin muslim atau non muslim? Mbah Google menyajikan jawaban. Mbah Google is the best!
Maka, di sana. Sebuah buku dengan isi 30 juz itu semakin terabaikan. Dari menjawab persoalan. Belajar, berdebat, dan sebagainya. Mbah Google adalah rujukan pertama. Mbah Google telah menyajikan kemudahan itu. Jika ada yang mudah, kenapa harus pilih yang sulit?
Untuk mengerti Al Qur’an. Kita harus mempelajari ilmu Nahwu. Harus mengerti tafsir. Mondok puluhan tahun. Baru kita mengerti syariat, makrifat, tarikat, dan hakikat. Tapi dengan adanya Mbah Google. Kita bisa menghemat puluhan tahun dan puluhan juta uang kita. Dengan waktu lima menit. Kita akan mengetahui makna syariat, makrifat, tarikat, dan hakikat. Instan! Itulah semboyan kita dalam beragama saat ini.
Maka tidak heran jika belakangan banyak muncul argumen-argumen ngaco dari beberapa netizen. Terkesan ilmiah. Hebat. Seperti telah mengaji, dan memahami Al Qur’an belasan tahun. Padahal cuma hallo google, lalu copy paste, share. Selesai. Mudah sekali dalam beragama. Saking mudahnya, kini muncul beragam agama. Muncul beragam aliran. Ada aliran bumi datar, pisang tegang, dan sebagainya.
Menggunakan Al Qur’an sebagai rujukan? Hahahahaha. Ke laut aja. Kita akan menggunakan Al Qur’an, nanti. Sebagai alternatif terakhir. Jika ketika nanti Mbah Google sudah tidak dapat menjawab. Al Qur’an adalah rujukan terakhir. Paling akhir. Hanya ketika kita sebagai pengikut agama, sudah waras.
 

1 komentar: