Cari Blog Ini

Selasa, 21 Maret 2017

Kami Tidak Takut Ancaman Kalian!

Pilkada yang semakin gila. Kalau jaman Pilpres 2014 hanya fitnah-fitnah yang dilancarkan, Pilkada DKI tidak hanya fitnah tapi juga intimidasi melalui spanduk-spanduk, brosur, hingga ancaman langsung kepada pendukung Ahok. Teriakan kafir, munafik, liberal menggema di mesjid-mesjid hingga media-media sosial, melabeli para pendukung Ahok terutama yang muslim. Hingga melarang ibu-ibu untuk berjualan. Lalu apakah kita takut?
Mungkin kalian para penduduk bumi datar merasa sedang di jalan membela agama. Tapi sebenarnya kalian hanya membela penafsiran ulama saja. Penafsiran yang berbau politik hingga dipaksakan untuk kepentingan mereka. Al Maidah 51 boleh-boleh saja ditafsirkan sebagai pemimpin tapi kemudian harus dipaksakan? Sementara ada penafsiran lain soal Al Maidah 51 dan ayat-ayat senada lainnya, apa penafsiran tersebut salah? Berani bilang penafsiran yang lain salah? Berani bilang GP Ansor salah menafsirkan? Atau fatwa ulama Mesir salah menafsirkan? Katakan sekarang di media-media dengan lantang bahwa NU, GP Ansor dan Ulama Mesir telah salah menafsirkan soal pemilihan pemimpin, itu kalau kalian berani.
Kami tidak takut ancaman kalian, kami tidak takut kalian bilang munafik, kafir hingga mayat kami kelak tidak diurus. Selama yang mengatakan munafik, kafir, dan segala label-label itu masih manusia, kami tidak takut. Silahkan ancam mayat kami, tak usah disholatkan, karena itu fardhu kifayah, dosa bagi mereka yang masih hidup bukan bagi mayat yang sudah selesai ujiannya di dunia ini.
Kalian hanya memperjuangkan penafsiran beberapa ulama dengan segala kepentingannya sedangkan kami memperjuangkan masa depan anak-anak kami, masa depan kami dan masa depan bangsa ini. Agar anak-anak kami kelak bisa hidup lebih baik, bisa bermain di RTPA-RTPA yang dibangun Ahok. Agar mereka jauh dari narkoba dan suami-suami jauh dari tempat maksiat. Ahok menutup tempat-tempat hiburan yang kedapatan menjadi tempat peredaran narkoba, Ahok juga membongkar Kalijodo yang terkenal sebagai tempat maksiat, kini menjadi tempat bermain skala internasional.
Kami juga ingin hidup tenang tanpa harus khawatir soal banjir. Dari 2.200 titik banjir sekarang hanya tinggal 80 titik banjir, kami ingin Ahok membereskan sisa titik banjir ini hingga nol bukan bertambah lagi karena tumpukan sampah. Jangan sampai seperti daerah tetangga yang kerap banjir hingga memakan korban nyawa namun tidak ada usaha selain hanya disuruh berdoa. Kita bukan Nabi yang doa-nya mustajab, kita perlu berusaha dulu baru kemudian berdoa. Jangan jadikan doa sebagai tameng untuk bermalas-malasan.
Kami juga tidak ingin ormas-ormas yang entah apa gunanya itu menikmati uang APBD sementara kami yang membayar pajak. Kami ingin uang APBD dan pendapatan lainnya dinikmati benar-benar untuk pembangunan kota, untuk anak-anak kami dan warga tidak mampu. Kami juga kasihan melihat mereka yang hidup di bantaran kali, kumuh, kotor dan tidak sehat. Jika mereka hidup di lingkungan yang sehat maka banyak uang yang bisa mereka hemat, anak-anaknya dibantu untuk bersekolah, hingga suatu hari nanti anak-anak mereka bisa bekerja dan membeli sebidang tanah sendiri tanpa bermimpi mendapatkan rumah dengan DP 0% atau DP 0 atau DP macam-macam itu lah yang terus berubah seperti Mas An…eh Bung bunglon.
Kami juga ingin seorang pemimpin selain jujur dan amanah, ia juga seorang pemimpin yang bisa kami tegur dengan keras, dan kemudian ia meminta maaf lalu memperbaikinya bukan ngeles seperti Neo menghindar peluru di film matrix karena hanya Ahok yang mau mengambil pil merah, meninggalkan kehidupannya yang nyaman untuk melayani warga Jakarta. Sementara orang lain akan memilih pil biru dan berdamai dengan semua elemen, bagi sana bagi sini seperti kasus e-KTP, demi kenyamanan menjadi Gubernur. Tenang tapi merusak, tenang tapi warga yang menderita.
Tidak hanya warga Jakarta, seluruh penduduk di negri ini yang masih waras pun ikut mendukungnya. Agar calon-calon pemimpin yang lain melihat, bahwa mereka akan didukung oleh rakyat karena kinerja dan keberanian melawan koruptor serta mafia. Bukan hanya bermodalkan agama dan doa saja lalu bagi-bagi agar aman.
Jika Ahok nanti kalah, maka itulah awal kekalahan bangsa ini melawan koruptor dan mafia. Jika Ahok kalah, maka itulah awal bangkitnya orde yang akan kembali mengucurkan keran-keran uang segar bagi para koruptor dan mafia. Jika Ahok kalah, maka saat itu adalah awal kemenangan kaum radikal intoleran, awal kehancuran keberagaman di Indonesia, bahkan bisa jadi awal kehancuran Indonesia itu sendiri.
Itulah yang sedang dipertaruhkan pada Pilkada DKI ini, itulah yang kami perjuangkan.

0 komentar:

Posting Komentar