Jakarta – Gerakan radikalisme dan terorisme diyakini bukan bagian
dari Islam. Justru pola pikir yang berdasarkan menghalalkan darah sesama
manusia bertentangan dengan kebenaran pesan damai yang dirintis dalam
agama-agama di dunia. Karena itu, seruan atas perdamaian dunia menjadi
penting bagi berbagai lapisan masyarakat.
Direktur the Wahid Institute, Yenny Wahid mengatakan organisasi
masyarakat seperti Nahdhatul Ulama (NU) dalam serjarahnya memiliki peran
internasional. Secara nasional, Islam yang dianut warga NU bukan Islam
yang terlalu mudah mengafirkan kelompok lain.
Menurut dia, agama Islam yang kini sudah berkembang pesat di dunia
pada dasar memiliki tantangan terberat di dalam kelompoknya sendiri
seperti lahirnya kelompok radikal. Apalagi ideologi takfiri atau gemar
mengafirkan kelompok agama lain sudah pada posisi membahayakan.
Gerakan Islam radikal dan teror, lanjut Yenny, berkembang tidak
hanya di Arab, melainkan berkembang di Indonesia. Gerakan ini pada
akhirnya justru menjadi ancaman bagi kehidupan keberagamaan di
Indonesia.
“Kita perlu saling bekerjasama, berkonsolidasi menciptakan perdamaian
dunia,” katanya dalam diskusi Pra Muktamar ke 33 PBNU dengan tema
Konsolidasi Dunia Islam menghadapi Radikalisme dan Terorisme di Jakarta,
Jumat (29/5/2015).
Sementara guru besar Universitas Al Azhar, Mesir, Prof. Dr.
Abdelmonem Fouad Othman dalam diskusi yang sama membantah sudut pandang
yang dilontarkan oleh media barat. Dia berpendapat adanya motif politik
atas stigma buruk atas Islam yang seakan-akan tidak jauh berbeda dengan
pahama kekerasan.
Utusan khusus Syekh Al-Azhar itu mengatakan justru dalam ajaran
Islam yang dirintis belasan abad silam tidak mengajarkan kekerasan
terhadap sesama manusia. Bahkan dalam Islam disebutkan, hewan pun pada
dasarnya tidak boleh dianiaya apalagi terhadap manusia. Oleh karena itu
pada dasarnya agama yang disyiarkan Al-Azhar adalah ajakan toleransi
sesama manusia.
Bagi dia, pada saat ini diperlukan untuk menjelaskan kepada
masyarakat internasional tentang pandangan Islam yang penuh cinta kasih
dan perdamaian. Sementara keberadaan kelompok radikal seperti Islamic
State adalah gerakan politik dan bukan mewakili pandangan tentang Islam.
Menurut Fouad, pemahaman dan gerakan yang dtonjolkan oleh IS sama
sekali tidak mengajarkan perdamaian sesama manusia, justru membangun
kekerasan. Apalagi dalam pemahaman mereka tidak ada kasih sayang di
dalamnya. Hingga kemudian keberadaan IS patut dipertanyakan
keberadaannya yang mengklaim mewakili Islam.
“Bagaimana mungkin jenis kelompok muslim semacam itu mewakili pandangan ajaran Islam,” katanya.
Peneliti Pusat Studi Islam di Universitas Wina, Austria, Rudiger
Lohlker mengatakan Austria perlu belar banyak dengan Indonesia mengatasi
Islamofobia yang berkembang di negara itu. Bahkan Islam dipahami
sebagai agama yang radikal dan terorisme. Dia menilai adanya tradisi
perkembangan yang baik di Indonesia. Apalagi, lanjut dia, Indonesia
memiliki tradisi dan karakter yang berbeda dengan Timur Tengah.
Menurut Rudiger, perkembangan Islam di Nusantara yang baik perlu
dipelajari oleh Austria. Tidak hanya itu, perlu menimba pengalaman
tentang keberagaman di Indonesia. Bersamaan pada saat ini masih banyak
yang tidak mengenal Islam serta mendapatkan informasi yang keliru dari
internet.
Sedangkan Redaktur Senior Harian Al Ahram, Mesir , Mohamed Aboelfath
Ahmed, mengatakan Islam yang berkembang di Indonesia lebih Islami dari
pada yang berkembang di Timur Tengah. Dia mendorong NU untuk terus
berperan dalam membangun toleransi di Indonesia yakni saling menghargai
antar kelompok yang berbeda.
Dia tidak menepis adanya perkembangan arus informasi yang juga keliru
di Mesir. Bahkan media-media yang beragama diantaranya turut berperan
sebagai politisasi. Hingga kemudian berujung pada penyebaran isu Islam
dan Mesir yang keliru di mata dunia internasional.
Dia berharap Nahdhatul Ulama memainkan perannya dalam penyebaran
informasi untuk menangkal radikalisme dan terorisme. Diantaranya
penyebaran memasuki arus informasi di internet untuk mendorong
perdamaian tidak hanya di Indonesia tapi juga di dunia.
“Posisi NU penting, mengawal pengaruh dari luar saya harapkan dengan
konsisten membangun Islam yang penuh dengan toleransi,” ujarnya. (Asari)
0 komentar:
Posting Komentar