Setiap kejadian pasti ada hikmah terbesar.
Kekalahan Ahok mungkin belum bisa diterima sebagian kalangan, bukan
karena ia tidak bisa melanjutkan tugasnya memimpin Jakarta, tapi karena
munculnya ormas radikal yang mencoba merongrong kebhinnekaan. Berbeda
dengan pertarungan Pilpres antara Jokowi dan Prabowo beberapa tahun
lalu, yang hanya bertanding merebut suara, tapi pertempuran Ahok-Anies
lebih pada pertarungan antara kelompok Islam radikal dan moderat. Saat
Ahok dinyatakan kalah, terus terang saya merasa kecewa. Hal yang
menunjukkan politisasi agama sukses di Indonesia, persis seperti saat
Pakistan memisahkan diri dari India. Saya menduga setelah Pilkada
Jakarta ormas-ormas tersebut semakin lebih berani muncul ke permukaan,
yang tentu didomplengi oleh ustadz-ustadz tenar.
Dan benar saja, ormas radikal yang
biasanya hanya berani di pinggir jalan semakin berani merebut masjid dan
mimbar. Demo-demo yang memuakkan pun tak kunjung henti. Cara-cara yang
mereka lakukan memang busuk, menganggap dirinya korban. Mereka yang
berbuat, lalu menunduh pemerintah atau ormas lain melakukan kedzoliman.
Dzolim kepada ulama dan umat Islam katanya. Ayat-ayat Quran dan hadist
pun dicatut kemudian diplintir untuk mendukung gerakan mereka.
Tak hanya FPI, HTI pun yang biasanya hanya berani menyebarkan pemahaman dari kampus ke kampus semakin berani ‘show-up‘.
Sesaat setelah pilkada usai, mereka langsung mendeklarasikan diri
dengan mengadakan konferensi pada April lalu. Mereka merasa mendapat
angin segar dan menganggap pemerintah tak akan berkutik akan
keberadaannya. Maka tak heran konferensi tersebut langsung dibubarkan
Banser. Banser perpendapat, mumpung masih embrio, masih organisasi kecil
maka harus sedini mungkin dicegah.
HTI tak kehilangan akal. Sama seperti FPI,
organisasi yang gencar memproklamirkan khilafah ini lalu menuduh Banser
melakukan kedzoliman. Mereka memposisikan diri sebagai korban. Di
berbagai media milik wahabi dan kelompoknya, Banser seolah-olah
melakukan kejahatan besar. Banser dianggap memusuhi sesama Muslim dan
lebih mendukung orang ‘kafir’. Statemen ‘Bilang Islam, tapi
memusuhi Islam’ dijadikan senjata andalan. Maka tak heran ketika
seseorang kemudian membuat status di media sosial yang mempersoalkan
keberadaan HTI, FPI, dan kelompok radikal lain maka mereka akan
berkomentar dengan statement tersebut. Saya sendiri sangat gerah dengan
tingkah laku mereka karena sering sekali mendapat komentar dengan nada
yang sama. Cara yang paling jitu memang untuk mengajak orang lain
memusuhi orang atau golongan yang bersebrangan dengan pemahamannya.
Maka ketika Menko Polhukam menyatakan
membubarkan HTI, sungguh saya lega sekali. Banser memang benar, mumpung
masih embrio, harus ditumpas. Jika dibiarkan bukan mustahil HTI
mendominasi seperti halnya yang terjadi di Pakistan. Sejarah mencatat,
pidato Muhammad Iqbal atau yang dikenal dengan Allama Iqbal dan pidato
Ali Jinnah sukses membuat masyarakat India terpecah. Jinnah yang
sebelumnya mendapat julukan duta persatuan Hindu-Muslim saat penjajahan
Inggris di India, kemudian malah menuntut berdirinya negara terpisah
bagi Muslim. Pemikiran Iqbal dan Jinnah menjadikan jurang permusuhan
antara Hindu dan Muslim semakin bertambah lebar. Bunuh-membunuh atas
nama agamapun tak dapat dihindari. Tahun 15 Agustus 1945, negara baru
kemudian muncul, dan memproklamirkan diri menjadi negara Islam Pakistan.
Apakah Pakistan kemudian maju? Tidak.
Negara ini kalah jauh dibanding saudara kembarnya, India. Kelompok
radikal semakin merebak, praktik sodomi yang terlarang juga semakin
menjamur. Lihat tulisan saya tentang pedofil dan sodomi di : https://seword.com/umum/biadab-pedofil-dan-sodomi-sudah-jadi-budaya-di-beberapa-negara-islam-ini/. Ya, perpecahan memang tak akan pernah membuat kemajuan, yang tersisa hanya kemunduran dan keterbelakangan.
Kita tentu tak mau Indonesia bernasib sama
dengan Pakistan. Mumpung belum ada tokoh seberani Iqbal dan Jinnah yang
berpengaruh di masyarakat, maka cita-cita mendirikan negara Islam dan
khilafah harus dimusnahkan. Tindakan pemerintah Jokowi ini cukup berani.
HTI berdiri di Indonesia sejak tahun 1980 an, tapi tidak ada satupun
pemimpin yang berusaha memberangus kelompok ini. HTI mungkin akan
melakukan taktik yang sama, menjadikan dirinya sebagai korban. Mereka
akan berkoar-koar rezim Jokowi memusuhi Islam, Jokowi harus diturunkan,
dan bla..bla.. Maka sebagai masyarakat yang tidak menginginkan
perpecahan sudah selayaknya kita mendukung pemerintah dan
mengkampanyekan khilafah Islam memang terlarang.
Terakhir, saya berterimakasih pada Ahok,
karena adanya pilkada yang alot dan panas beberapa waktu lalu, ormas HTI
berhasil ditumbangkan. Kita juga tahu pemikiran ustadz tenar di TV
ternyata lebih condong pada organisasi terlarang sehingga harus
ditinggalkan. Akan lain ceritanya jika Ahok tidak mencalonkan diri atau
tidak dikriminalisasi. Mungkin HTI tanpa kita sadari semakin besar
seperti gelindingan bola salju yang tak bisa kita cegah. Semoga bubarnya
HTI menjadikan Indonesia semakin bersatu dibawah ideologi Pancasila
dalam bingkai warna-warni suku, agama, dan budaya. Amin.
0 komentar:
Posting Komentar