Juru Bicara HTI Ismail Yusanto saat memberikan keterangan pers terkait
pembentukan Tim Pembela HTI di kantor hukum Yusril Ihza Mahendra,
Jakarta Selatan, Selasa (23/5/2017). Tim pembela tersebut dibentuk untuk
menghadapi gugatan pembubaran oleh pemerintah di pengadilan. (Sumber:
KOMPAS.com)
Oleh Nikki Tirta.
Ada yang lucu dari perlawanan HTI terhadap
keputusan Pemerintah membubarkan ormas mereka. Lucu karena HTI seperti
“meninju muka sendiri” ketika mereka menuntut perlindungan dari
peradilan yang demokratis. HTI sering sekali diketemukan secara gamblang
dan terang-terangan mengatai bahwa sistem demokrasi adalah sistem thagut (atau “setan”). Orang-orang yang sering sekali mengatai demokrasi dan Pancasila sebagai thagut
ini selalu mencatut kemuliaan Kitab Suci, dan mengacu kepada Al-Qur’an
surah Yasin ayat 60. Demikian terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
“Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah setan? Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu.” QS: Yasin 60.
Yang menjadi pertanyaan adalah, jikalau
HTI selama ini memang serius dan konsisten di dalam memperjuangkan
penafsiran pribadinya, kenapa sekarang mereka malah berlindung di balik
sistem demokrasi soal mekanisme pembubaran civil society?
Menempuh jalur peradilan dalam pembubaran sebuah ormas itu adalah salah
satu mekanisme di dalam alam demokrasi. Inikan konyol. HTI kan katanya
sedang “berjuang di jalan Tuhan”, tetapi mengapa sekarang ia malah
berlindung di balik sistem yang katanya “setan” itu? Jadi HTI itu
sebenarnya sedang mempertontonkan dagelan macam apa? Mereka sedang
membela “Tuhan” dengan berlindung di balik “setan”, begitu?
Bagaimana kita dapat percaya bahwa mereka
sedang berjuang “di jalan Tuhan” ketika mereka sendiri tidak konsisten
dengan apa yang mereka perjuangkan? Seolah-olah “jalan Tuhan” mereka itu
dapat berkompromi dengan begitu mudahnya. Sampai-sampai mereka mau saja
bekerja sama dan mengganti haluan untuk sementara, dengan cara
memanfaatkan sistem yang selama ini mereka kafir-kafirkan sendiri. Kan
lucu, okeh-oceh banget ini.
Ibaratnya seperti mantan yang selama ini kamu maki-maki, tetapi ketika kamu kepepet,
kamu pinjam juga uang mantanmu itu. Atau seperti PNS yang selalu
memaki-maki pemerintahan saat ini, tetapi yang juga masih menikmati
fasilitas dan gaji dari mereka-mereka yang ia hina. Orang-orang pengecut
dan oportunis akut seperti ini masih bisa kita percaya sebagai “pejuang
di jalan Tuhan”? Bukankah ini sebuah penistaan?
HTI telah melakukan penistaan bukan saja
kepada dasar dan ideologi Negara, tetapi juga kepada kemuliaan dari nama
sebuah agama dan ulama-ulamanya. Saya mengambil contoh salah seorang
ustadz HTI yang bernama Felix Siauw (FS). FS, yang masih tergolong muda,
sering menyerukan bahwa membela nasionalisme itu tidak ada dalilnya. FS
ini kurang belajar atau bagaimana? Nyaris 100 tahun sebelum FS lahir,
Kyai Haji Mohammad Hasjim Asy’ari (seorang Pahlawan Nasional dan Pendiri
NU) pernah menyampaikan bahwa nasionalisme adalah bagian dari agama. Bahwa kecintaan terhadap sebuah agama tidak melunturkan kecintaannya terhadap sebuah Negara.
Dengan melihat pernyataan yang sederhana
ini, siapakah yang sebenarnya lebih patut untuk kita percaya? Seorang
muda yang masih kurang belajar, atau seorang Ulama Sepuh yang ilmunya
mendalam? FS hanyalah orang yang tinggal duduk ongkang-ongkang kaki
menikmati nikmat kemerdekaan, sedangkan KH. Hasjim Asy’ari adalah
Pejuang yang turut andil langsung di dalam merebut kemerdekaan dari
tangan penjajah. “Engga level Bang perbandingannya, kayak bintang terang
yang tinggi di langit dibandingkan dengan sumur kering yang gelap.”,
mantap.
HTI memang seperti meludah ke atas tetapi
kena ke muka sendiri. HTI menikmati semua manfaat dari alam demokrasi
hanya untuk mengatai dan meniadakan demokrasi itu sendiri. Saya
tambahkan lagi analoginya biar seru, HTI itu seperti orang yang sedang
berusaha membobol lantai sebuah gedung d tingkat 20, padahal dia juga
sedang berdiri di situ. Kok gendeng? Ya memang. Dia bisa
melakukan usaha pembobolan itupun karena keberadaan dirinya ditopang
oleh si “lantai”. Itulah kekonyolan HTI, mereka itu bisa eksis justru
karena ditopang oleh alam demokrasi. Kalau masih zaman orba, mana bisa?
Pasti sudah lama pentolannya habis diciduk, atau bahkan hilang/mati
secara misterius.
Mau menikmati manfaat dan fasilitas
seluas-luasnya, tetapi tidak mau bekerja untuk memeliharanya, apalagi
bahkan mau meruntuhkannya, itu munafik sekali namanya. Kalau dalam dunia
biologi, ini disebut sebagai parasit. Sudah tidak bersumbangsih, terus
kenyot nutrisi, merusak lagi. Mantap HTI.
Akhir kata dari saya bagi para pembaca
(Seword). Jangan mudah kita diperdaya atas nama agama. Saya percaya
banyak masyarakat kita yang mencintai Tuhan dan agamanya. Itu sangat
lumrah, karena manusia pada dasarnya memang makhluk religius. Tetapi,
justru karena itulah masyarakat kita harus lebih waspada, sebab akan ada
banyak orang yang ingin memanfaatkan kecintaan itu untuk kepentingan
diri mereka sendiri. Karena itu, marilah bersuara. Jangan takut
diintimidasi sebagai “pemecah belah Islam”, karena pada dasarnya
merekalah yang telah menista nama Islam dengan mencatutnya
sesuka-sukanya.
Betul seperti apa yang dikatakan Alm.
Eyang Gus Dur, bahwa “Jargon memperjuangkan Islam sebenarnya adalah
memperjuangkan suatu agenda politik tertentu dengan menjadikan Islam
sebagai kemasan dan senjata. Langkah ini sangat ampuh, karena siapapun
yang melawan mereka akan dituduh melawan Islam.”
0 komentar:
Posting Komentar