Apakah Pancasila itu?
Pancasila adalah sebuah konsep yang digali
dari kekayaan budaya, tradisi dan adat istiadat bangsa Indonesia.
Nilai-nilai yang digali dan terkandung di dalamnya menjadikan bangsa
Indonesia kuat, besar, dan bisa bersatu walaupun berbeda, dan membuat
negara lain menghormatinya.
Lima sila Pancasila merupakan sistem tatanan nilai dan intisari
dari kondisi masyarakat Indonesia yang beragam suku, agama, adat
istiadat dan bahasa. Kelima silanya digumuli melalui proses yang
panjang, penuh dinamika dan diskusi yang alot. Para pendiri bangsa
menyetujui lima silanya karena dipandang dapat membimbing dan menuntun
bangsa Indonesia yang pluralis dari Sabang sampai Merauke agar hidup
berdampingan secara rukun dan damai.
Pancasila lahir di masa orla rezim
Soekarno, besar di masa orba rezim Soeharto. Jadi salah satu pilar
bangsa di era reformasi. Walaupun Pancasila lahir di masa orla, namun
Soekarno bukan penciptanya atau pembuatnya. Soekarno hanya
memformulasikan perasaan dan kondisi rakyat Indonesia, yang kemudian
diringkasnya dalam lima sila.
Para pendiri bangsa, elemen masyarakat,
dan organisasi keagamaan besar seperti NU dan Muhammadyah telah sepakat
bahwa Pancasila adalah idiologi dan dasar negara sudah final dan
mengikat.
Indonesia adalah negara Pancasila
Indonesia bukan negara agama, juga bukan
negara sekuler, tetapi negara Pancasila. Mengapa? Pancasila dimunculkan
sebagai solusi alternatif ketiga, yang merupakan sebuah kompromi luhur.
Karena negara agama dan negara sekuler tidak sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia.
Berdasarkan catatan sejarah ada beberapa
rumusan Pancasila yang pernah muncul. Dari kronik tersebut ada yang sama
dan ada yang berbeda. Misalnya rumusan sila pertama dalam Piagam
Jakarta menggunakan frasa “Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya.”
Namun, berdasarkan pertimbangan bahwa
bangsa Indonesia merupakan sebuah gugusan kepulauan dari Sabang sampai
Merauke, termasuk keberagaman dalam agama, sehingga muncul pertimbangan
agar Pancasila sebagai dasar negara tidak berdasarkan agama tertentu.
Juga mempertimbangkan usulan kelompok tokoh Indonesia bagian timur yang
“mengancam” memisahkan diri dari Indonesia bila rumusan Pancasila di
dalam Piagam Jakarta tetap dipertahankan, maka tujuh kata di dalam
Piagam Jakarta, yaitu frasa “Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” dikembalikan kerumusan awal, yaitu Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Tokoh nasionalis Islam yang menandatangani
Piagam Jakarta, yaitu Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, H.
Agus Salim, dan Wahid Hasyim tidak pernah memprotes perubahan tersebut.
Mereka sadar bahwa bangsa Indonesia memang beragam dalam banyak hal.
Dari sisi agama, Indonesia bukan mayoritas mutlak (absolute), tapi mayoritas nisbi (relative).
Agama Islam misalnya, adalah mayoritas di Aceh, namun minoritas di
Irian, NTT dan Sulawesi Utara. Dari sisi suku, suku Jawa hanya mayoritas
di pulau Jawa, tetapi minoritas di daerah lain. Bangsa Indonesia
memiliki 1128 suku; lebih dari 300 kelompok etnik; terdapat lebih dari
746 bahasa dan memiliki 17508 pulau besar dan kecil; semuanya telah
terwakili dan menyatu di dalam lima sila Pancasila.
Indonesia sebagai negara bangsa yang berdasarkan Pancasila, adalah konsep negara modern. Hal ini disadari oleh the founding fathers
bahwa bangsa Indonesia tanpa Pancasila sulit menginvestasi hal yang
baik untuk membangun kehidupan bersama. Tanpa Pancasila, sikap intoleran
dan tidak saling menghargai tumbuh menjadi tembok pemisah yang
mencerai-beraikan dan melupakan nasib bersama sebagai bangsa yang
bhinneka tunggal ika.
Sejarah mencatat ketika Pancasila tidak
dilaksanakan secara murni dan konsekwen banyak hal yang baik dibelokkan
ke sebuah persimpangan; dan dari persimpangan itu telah muncul
orang-orang yang penuh euphoria dan ecstasy mengeksploitasi keluhan daripada memecahkan masalah.
Cacian dan hinaan di kalangan anak muda
begitu mudah diucapkan. Sikap intoleran, terorisme, korupsi, narkoba dan
pelecehan seksual tumbuh subur bagai jamur di musim hujan. Pelaksanaan
Pilkada DKI Jakarta tahun 2017, adalah contoh nyata betapa berbahayanya
politisasi agama dan rasis digunakan untuk memenangkan Anies-Sandi.
Mayat tak disholatkan hanya karena diduga memilih Ahok. Djarot Saiful
Hidayat dua kali ditolak dari Masjid hanya karena ia berpasangan dengan
Ahok yang tidak seagama.
Pancasila = agama?
Pancasila bukan agama, namun
mengandung pesan moral yang mencerahkan seluruh umat beragama. Pancasila
tidak merugikan dan tidak menguntungkan agama tertentu, tetapi
menjamin dan memberi kebebasan kepada umat beragama menjalankan ibadah
berdasarkan keyakinan masing-masing. Agama apa pun di dalam negara
Indonesia yang berdasarkan Pancasila tidak boleh dijadikan sistem nilai
dominan, apalagi menjadi idiologi alternatif menggantikan Pancasila.
Pancasila juga bukan partai dan bukan
golongan. Pancasila adalah idiologi dan dasar negara yang membuat bangsa
Indonesia tidak menjadi komunis, tidak menjadi negara agama, dan
tidak menjadi negara sekuler. Di dalam Pancasila tidak ada agama
tertentu yang diistimewakan atau dinomorsatukan dan yang lainnya
dinomorduakan; semuanya memiliki hak dan kedudukan yang sama.
Pancasila adalah idiologi netral, tidak kaku dan tidak tertutup sebagaimana khilafah yang merupakan idiologi Negara Impian Idiot;
tetapi bersifat reformatif, dinamis, dan tidak menutup peluang kepada
siapa pun untuk sukses; menghargai perbedaan; menghindari diskriminasi
terhadap orang-orang yang tidak serupa; memegang janji untuk
memperlakukan dan memberi kesempatan yang sama kepada seluruh lapisan
masyarakat yang beragam.
Ringkasnya, Pancasila dipilih sebagai
idiologi bangsa dan dasar negara didasarkan pada satu premis sederhana
bahwa semua manusia yang berbeda-beda agama diciptakan setara. Pancasila
tidak hanya mempersatukan satu golongan agama, tetapi mempersatukan
semua golongan agama yang berbeda dari Sabang sampai Merauke.
Pancasila di era reformasi
Bersamaan dengan dibukanya kran demokrasi
di era reformasi banyak orang berusaha keras mencari kesalahan,
menyalahkan orang lain dan mengklaim diri sebagai pemilik kebenaran.
Demokrasi Pancasila adalah salah satu yang disalahkan. Dianggap lamban,
dinilai tidak mampu mensejahterakan rakyat dan tidak sanggup
menyelesaikan berbagai masalah.
Bersamaan dengan lahirnya reformasi, semua
orang senang melakukan berbagai hal dengan caranya sendiri. Seperti
demonstrasi anarkis yang berakhir rusuh, gertakan, ancaman, tekanan dan
perdebatan di parlemen yang berujung kegaduhan sepertinya dianggap lebih
baik daripada demokrasi Pancasila. Tapi akhirnya mereka siuman bahwa
semua tindakan yang dipertontonkan dan menyimpang itu tidak lebih baik
daripada Pancasila.
Sementara yang lainnya yang masih terbuai dengan euphoria kebebasan menganggap Pancasila bukan tentang mereka. Mereka bersikeras pada gagasan dan idiologi baru, yaitu khilafah yang merupakan Negara Impor Idiologi, yang tidak berakar pada budaya bangsa Indonesia.
Dalam dunia yang serba cepat dan segera
dewasa ini, arus-arus pemikiran berbahaya seperti itu mengalir lebih
cepat dari kecepatan usaha untuk menghentikannya. Kendatipun demikian,
kita bisa hentikan dengan segera jika kita tidak terpecah belah. Tapi
kadang-kadang di era reformasi ini kita tercerai berai dan lari dari
tanggung jawab bersama untuk menghadapinya. Contohnya kita membiarkan
kelompok intoleran FPI (19 tahun) dan kelompok radikal HTI (34 tahun)
lama tumbuh subur.
Mereka adalah orang-orang yang memiliki sikap hidup eksklusif, tertutup seperti idiologi khilafah yang
mereka perjuangkan, dan sangat mudah menuding dan menyematkan kesalahan
sendiri pada orang lain hanya karena kebencian terhadap suku, budaya
dan agama yang berbeda; mereka adalah orang-orang yang waspada dan ragu
terhadap masa depan bangsa Indonesia dengan dasar Pancasila; dan terus
berupaya memaksakan khilafah sebagai idiologi impor
menggantikan demokrasi Pancasila yang mengedepankan musyawarah dan
mufakat; hal ini telah membuat harapan sebagian anak bangsa berganti
sinisme dan putus asa.
Negara lain sudah mengkapling
planet Mars, sementara sebagian elemen bangsa kita masih mempersoalkan
penggantian idiologi dan dasar negara. Kapan bangsa kita maju bila
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) “dibiarkan” lantang meneriakkan khilafah
sebagai Negara Impor Idiologi? Mengapa kita tidak menghargai dan tidak
bangga dengan Idiologi yang digali dari nilai-nilai bangsa kita sendiri?
Bangsa Indonesia Tanpa Pancasila, Apa Yang Terjadi?
Benarkah bangsa Indonesia tanpa Pancasila
lebih makmur, aman, damai, dan bebas korupsi? Banyak contoh kasus yang
sudah terjadi. Contoh yang tidak baik tersebut bisa menjadi bahan
refleksi. Misalnya parpol yang menolak Pancasila sebagai asasnya,
ternyata tergiur korupsi sapi. Contoh lainnya, ketika Pancasila
dikeluarkan dari kurikulum pendidikan tahun 2006, dampaknya cukup banyak
siswa dilibatkan dan terlibat dalam berbagai aksi demonstrasi,
terorisme, melakukan pemerkosaan, pencurian dengan kekerasan, gang motor, mengedarkan narkoba dan melakukan aksi-aksi lainnya yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Aceh yang menolak Pancasila, lalu
menggantinya dengan syariat Islam, ternyata kehidupan ekonominya tidak
lebih baik daripada daerah yang berazaskan Pancasila. Di Aceh tindak
kriminal masih ada, suasana hidup aman dan damai belum tercipta
sepenuhnya, pelanggaran asusila masih terjadi; ganja masih tumbuh subur
dan menjadi sumber ekonomi bagi sebagian warga masyarakatnya.
Apa beda Pancasila dan Khilafah?
Khilafah berbicara tentang
ketertutupan dan eksklusifisme. Pancasila berbicara tentang kerjasama,
jiwa kekeluargaan dan kolektivisme. Karena itu, bangsa Indonesia yang
beragam tidak bisa disatukan dalam sebuah keyakinan yang seragam sesuai
konsep khilafah.
Persatuan yang ditawarkan melalui konsep khilafah hanyalah isapan jempol semata. Konsep khilafah yang diusung kelompok garis keras dan ISIS di Suriah dan Irak hasilnya adalah kehancuran. Di Suriah dan Irak tidak ada kedamaian, yang ada adalah kekerasan dan perpecahan akibat perilaku kelompok radikal dan ISIS yang mengusung konsep khilafah.
Pancasila teruji oleh tantangan
Meskipun Indonesia bukan negara sekuler
dan bukan negara agama, namun sampai kini Pancasila tak henti-hentinya
diuji dan diperhadapkan dengan keadaan sebagian masyarakat yang egois
dan tak bertenggang rasa. Mereka menentang Pancasila sebagai dasar
negara. Di dalam benak mereka, terutama generasi muda yang buta sejarah
bangsa, memahami dasar negara bukan Pancasila, tetapi agama. Rizieq FPI,
adalah salah satu generasi yang tidak berpeluh dan tidak menghargai
pendiri bangsa, sehingga ia berani menghina Pancasila sebagai idiologi
dan dasar negara.
Abdurrahman Wahid alias Gus Dur mengatakan bahwa Islam tidak bisa dibuat dasar dalam bernegara. “Konsep
negara Islam itu tidak ditemukan dalam Al-Quran dan Islam. Jika ada
yang mengatakan ada, itu tidak lebih dari hanya sekedar klaim,” ujar Gus Dur.
Pancasila sebagai dasar negara telah
menghadapi sejumlah ujian dan tantangan yang berat. Pada rezim orde
lama, Pancasila diselingkuhi ketika negara menganut konsepsi nasakom
(nasional, agama dan komunis). Pada rezim orde baru, Pancasila dijadikan
“kitab suci” untuk melanggengkan kekuasaan, dan dicemari dengan
berbagai tafsir yang keliru. Di era reformasi, akibat trauma di rezim
orde baru, Pancasila dipinggirkan, antara lain dihilangkan dari
kurikulum pendidikan tahun 2006; akibatnya, di kalangan kaum muda,
Pancasila dianggap sebagai kosa kata aneh dan menakutkan. Sebagai
gantinya, kaum muda memunculkan istilah geng, punk, dan sederet istilah
lain yang tidak beretika dan membahayakan. Kendati demikian Pancasila
tetap kokoh dan mampu membuktikan diri sebagai cara pandang dan metode
yang ampuh membendung trend negatif perusak kehidupan berbangsa dan bernegara.
Penafsiran dan implementasi Pancasila pada
rezim orde baru mendapat banyak koreksi. Abdurrahman Wahid alias Gus
Dur ikut mengoreksinya. Salah satu hal yang dikoreksinya adalah
menyangkut keberagaman yang dijamin oleh Pancasila. Menurutnya
kebebasan, keadilan dan musyawarah, adalah tiga dasar keberagaman.
Mantan Presiden RI keempat ini membuktikan pernyataannya untuk
menghargai keberagaman dengan cara mencabut PP Nomor 14 Tahun 1967 yang
melarang kegiatan warga Tionghoa, lalu ia menjadikan Konghucu sebagai
agama resmi negara dan menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional.
Pancasila Sakti
Pancasila sebagai falsafah dan dasar
negara telah melewati sejumlah fase; mulai dari fase penggalian
nilai-nilai luhur bangsa, fase perumusan, pengesahan, pergumulan dan
fase kekuasaan; Pancasila dalam setiap fase yang penuh dinamika tersebut
telah membawa semangat dan kekuatan yang tak terkalahkan, teruji dan
tetap relevan dalam setiap tantangan zaman.
Sebelum khilafah sebagai Negara
Impor Idiologi muncul tahun 1983, yang merongrong Pancasila; dan
organisasi intoleran seperti FPI yang berdiri tahun 1998, jauh
sebelumnya komunis berusaha keras menggantikan Pancasila melalui
pemberontakan PKI 1948 di Madiun dan peristiwa G30S/PKI tahun 1965.
Namun Pancasila tetap sakti. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada
idiologi lain yang mengakar kuat dan sesuai dengan kondisi bangsa
Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika selain Pancasila.
Pancasila telah terbukti dan teruji mampu
mendorong kemajuan; menyatukan bangsa Indonesia agar terbebas dari
perbedan-perbedaan warna kulit dan keyakinan; memberi ruang kepada
rakyat yang nasibnya berbeda-beda agar setara; dan mengakui keberagaman
sebagai anugerah.
Pancasila sebagai idiologi netral sudah
sesuai dengan kepribadian dan kondisi bangsa Indonesia yang pluralis.
Mengubah Pancasila sama saja dengan mengubah kepribadian bangsa
Indonesia. Pancasila adalah kesepakatan bersama yang luhur. Bila ada
yang mengingkarinya dan mengembalikan pada tujuh kata sama saja dengan
membubarkan NKRI.
Bangsa Indonesia yang hidup berdasarkan
nilai-nilai Pancasila adalah tempat bagi semua orang untuk meraih apa
yang dipikirkan, dirasakan dan dilakukan. Ini adalah janji the founding fathers;
dan ketika janji ini berada dalam bahaya dan ancaman, kita harus
memiliki keberanian untuk menjaganya agar tetap hidup. Tugas kita
bersama adalah memberi kepercayaan kepada generasi yang tidak berpeluh
dalam proses panjang perjalanan sejarah bangsa, tapi hanya tahu
mengeluh, agar mereka memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan
mempertahankan nilai-nilai Pancasila demi masa depan bangsa Indonesia.
***
0 komentar:
Posting Komentar