Singkat saja, aku ingin menuliskannya!
Menganggap elit Islam otomatis benar, dan
tidak mungkin salah, tentu menyalahi prinsip dalam Islam yang menganggap
manusia sebagai rumah kesalahan. Menganggap keturunan Nabi atau
keturunan Ulama lebih tinggi derajatnya ketimbang manusia lainnya juga
menyalahi prinsip dalam Islam yang memerintahkan untuk memuliakan semua
manusia, tanpa memandang ras dan agamanya.
Jika tidak, maka kaum muslim akan terus
menerus terjebak pada kontradiksi internal antara yang seharusnya dan
senyatanya. Jika ini tak bisa dilampaui oleh kaum muslim hari ini, maka
kita tak bisa membayangkan akan muncul perdebatan ilmiah yang mampu
menjelma obor pencerahan (at-tanwir) bagi matinya kewarasan, sebagaimana
dulu, perdebatan antara Al-Ghazali dan Ibn Rusyd. (Roy Murthado)
Kaum fanatik, lebih memilih untuk
“percaya” ketimbang “dikaji dan berpikir” terlebih dahulu. Seperti
pengikut RS misalnya dalam menanggapi kasus “pornografi”, mereka akan
lebih percaya bahwa itu fitnah ataupun rekayasa, karena RS sebut pada
pengikutnya bahwa dia dipolitisasi dan dikriminalisasi, namun dengan
waktu yang bersamaan mereka (pengikut RS) lupa kalau RS juga manusia
biasa. Ini dapat disebut sebagai “Penyakit”.
Begitupun pada pelaku teroris yang
berkedok “jihadi”, sebetulnya para pelaku ini juga merupakan korban,
yaitu korban doktrin teroris takfiri yang juga dibeking imperium dan
zionis. Dan salah satu strategi doktrin tersebut adalah menciptakan
watak untuk “percaya”, seperti untuk percaya bahwa bom bunuh diri akan
mengantarkannya ke syurga dengan memandang kitab hanya sebatas
tekstualitas semata. Maka bukan “nurani” lagi yang dilumpuhkan,
melainkan “kewarasan” yang dimatikan.
Sementara dalam konteks Islam, apa yang
dikatakan Jibril kepada Muhammad SAW pertama kali adalah “Iqra!”
(Bacalah). Dimana dalam artian luas, umat muslim sudah diperintahkan
untuk “membaca”, membaca dalam hal ini mempunyai artian luas, yang mana
diantaranya membaca tanda-tanda kebesaranNYA, dengan “iqra!” maka
manusia akan senantiasa menganalisa, mengkaji, berpikir, bersyukur, dst.
Maka yang lantas langsung “percaya” begitu saja dengan ajakan untuk
melakukan teror ataupun aksi intoleransi serta saling mengkafiri sesama
dengan berbagai pembenaran sepihak, bisa jadi mereka lupakan “iqra!”
(Bacalah!), sementara manusia adalah makhluk yang berpikir.
Disisi lain, keinginan mereka menciptakan
masyarakat yang “monis” dan menegakkan khilafah. Hal ini sama saja bahwa
mereka melupakan kejayaan Islam itu sendiri.
“Khilafah sebagai salah satu sistem
pemerintahan adalah fakta sejarah yang pernah dipraktikkan oleh
al-Khulafa` al-Rasyidun. Al-Khilafah al-rasyidah adalah model yang
sangat sesuai dengan eranya; yakni ketika kehidupan manusia belum berada
di bawah naungan negara-negara bangsa (nation states). Masa itu umat
Islam sangat dimungkinkan untuk hidup dalam satu sistem khilafah. Pada
saat umat manusia bernaung di bawah negara-negara bangsa (nation states)
maka sistem khilafah bagi umat Islam sedunia kehilangan relevansinya.
Bahkan membangkitkan kembali ide khilafah pada masa kita sekarang ini
adalah sebuah utopia.” (Ulil)
Khilafah yang dikehendaki untuk
kepemimpinan secara internasional, sama hal nya seperti komitern komunis
Internasional yang kini usang. Maka pemaksaan kehendak dengan
menegasikan zaman, bukanlah solusi, karena sama saja tidak mengakui
realita yang terjadi.
Kata khilafah yang kini kembali mencuat,
dan banyak dimainkan oleh jamaah Hizbut Tahrir yang didirikan di
Jerusalem Timur, 1952, yang mana untuk di Indonesia dikenal dengan nama
HTI. Dan yang marak belakangan ini juga digaungkan oleh Islamic State of
Iraq and Sham (ISIS) di Irak dan Syiria, yang bukan hanya bercokol di
Timur Tengah melainkan juga sudah masuk ke Asia, khususnya Asia
Tenggara. Dan mereka seolah-olah lupa akan kejayaan Islam itu sendiri,
hingga mereka anggap Islam sedang terpuruk, dan butuh membangkitkan
kejayaan dengan orang-orang di bom bardir. Sementara dibelakang tirai,
imperium asyik memasok senjata. Sambil berkata, “Dimana lagi negara yang
kaya SDA, untuk kita lakukan eksploitasi dan ekspansi, terus pasok
senjata agar “pecah-belah lalu kuasai”
Untuk di Nusantara, benih-benih tentang
ide penegakkan khilafah, sejarah mencatat bahwa ide tersebut sudah ada
sejak awal kemerdekaan RI pada tahun 1945, baik ada yang bersifat
konstitusional, seperti Majelis Konstituante, atau pun bersifat militer,
seperti dalam peristiwa kasus DI/TII, yang mana kesemua itu berusaha
mendirikan negara Islam dan menolak Pancasila.
Pasca reformasi, organisasi-organisasi
fundamental bermunculan, hal ini tentunya didukung karena kebebasan
berpendapat sudah mendapatkan “kemerdekaan” yang mana selama 32 tahun
kebebasan ini “terpenjara”. Dan sejak berdirinya ormas fundamental itu
juga dengan waktu yang bersamaan, opini tentang khilafah kian vulgar dan
cukup massive disebarkan.
Hal ini tentu akan semakin menggiurkan
capitalis global dan imperial untuk menyerang dari dalam, seperti yang
terjadi di Timur Tengah dengan berkedok “jihadi”. Melihat hal ini maka
aksi terorisme di Nusantara tidak akan terselesaikan oleh kata “kutuk”
ataupun “tangkap” semata. Karena dengan waktu bersamaan doktrin teroris
takfiri terus berjalan dan bahkan terfasilitasi sampai ke dunia
pendidikan. Kalau kata Duterte, untuk menghadapinya “lupakan HAM”, Kalau
Bassar Al Assad untuk menghadapinya “mari bertempur”. Namun kita tidak
boleh lupa, bahwa beda negara, beda pula cara teroris takfiri ini masuk
ke setiap kawasan dan tentu berbeda pula cara menghadapinya.
Akhir kata, untuk simpatisan dan pengikut
kelompok fundamental, kalian yang ingin membangkitkan kembali ide
khilafah pada masa kita sekarang ini adalah sebuah utopia, karena ini
bukan eranya dalam histori khilafah itu sendiri, dimana ketika itu
kehidupan manusia belum berada di bawah naungan negara-negara bangsa.
Karena negara dengan bentuk khilafah sama saja mengingkari perkembangan
umat Islam saat ini dan juga menafikan perkembangan sosial politik
masyarakat Islam. Apalagi ide khilafah yang didengungkan saat ini bukan
lagi sebuah kemurnian melainkan buah karya imperial.
Mari kita “iqra!”, karena kita makhluk berpikir.
0 komentar:
Posting Komentar