Pengunjuk rasa yang tergabung dalam Keluarga Besar Nahdlatul Ulama kota
Bandung berdemonstrasi menuntut pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI), Bandung, Jawa Barat, Kamis (13/4). Mereka selain menolak kegiatan
yang akan diselenggarakan HTI pada Sabtu (15/4) juga menolak gagasan
khilafah yang diusung HTI. ANTARA FOTO/Agus Bebeng/17Hi
Gerakan Hizbut Tahrit Indonesia (HTI)
nampaknya mengambil model analisi hegemoni Antonio Gramsi. Di mana untuk
mengusai dan memperoleh kekuatan massa, para ideologi borjuis melakukan
hegemoni intelektual. Baik berupa penggunaan bahasa, moral mauapun
lainnya.
Wujud hegemoni yang dilakukan oleh HTI
adalah dengan mengeksplorasi dan mengeksplikasikan dalil-dalil agama
Islam untuk menyakini kaum muslim tentang kebenaran khilafah. Kelompok yang senang disebut Islamiyyun
ini, menegaskan bahwa suatu pemikiran akan kokoh bila dilandasi dengan
nalar yang kuat. Tanpa nalar uang kuat pemikiran tersebut akan mudah
lenyap.
Selain itu, Hizbut Tahrir mengatakan Islam
adalah pemikiran. Asasnya adalah akal. Perangkat untuk memahami sesuatu
itu pun adalah akal. Akal adalah satu-satunya asas, tempat Islam
didirikan. Akal merupakan asas yang kita gunakan untuk memahami
nass-nass Islam. Sehingga, keimanan Islam itu bergantung pada akal.
Dengan adanya hal tersebut HT menyimpulkan
Islam merupakan persoalan akal sehingga ia tunduk pada akal. Sehingga,
ketika dikatakan tolak ukur Islam adalah akal. Hal ini disebabkan,
karena akal meripakan asas Islam.
Artinya, pemahaman akan Islam dan berbuat
atas dasar Islam bergantung pada akal sebagai sebuah oerangkat pemahaman
dan perbuatan. Begitu juga dengan akidah dan hukum shari’ah adalah sebuah pemikiran atau hasil proses berfikir. Hanya berbedanya hukum shari’ah
terkait dengan perbuatan manusia. Sedangkan akidah terkaitan dengan
hati dan pembenaran. Hal tesebut dapat terlihat dari sejumlah kader HTI
yang mengedepan akal ketika berdiskusi. Bahkan, dalam sebuah media HTI
pembaca seakan ‘tersihir’ dengan bacaan tersebut.
Hal yang sama juga ditunjukan oleh Muhamad
bin Abdul Wahab. Di mana dia mengomandoi para pengikutnya untuk untuk
berani menafsirkan al-Qur’an dan mengamalkan pemahamannya sendiri atas
ayat-ayat tersebut. Bahkan, lebih parahnya, mereka diperintahkan untuk
lebih menyakini dan mengedepakan penafsiran sendiri daripada menyakin
segala penafsiran ulama yang terpercaya yang termaktub dalam kitab-kitab
klasik.
Lebih jauh, Muhamad bin Abdul Wahab ini menyerukan bahwa segala kaidah ilmu-ilmu nahwu,
bahasa Arab dan ilmu fiqih kepada umat Islam merupakan bid’ah
terlarang. Oleh karenanya, dia lanras melarang seluruh pengikutnya
menelaah kitab-kitab fiqih dan tafsir. Begitu juga dengan kitab-kitab
hadist. Puncaknya, dia tanpa beban membhas kitab-kitab tersebut dalam
jumlah yang cukup banyak.
Dari apa yang disajikan oleh HTI dan
Muhamad bin Abdul Wahab ini, mereka menginginkan dua hal. Pertama,
menyulut api kebencian umat dan menjauhkan mereka dari keyakinan
pengarang kitab tafsir. Padahal pengarang kitab tafsir yang disepakati
oleh empat Imam Mazhab dan dilegitimasi kredibilitasnya oleh para ulama
Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Keadaan tersebut tersebut tercermin pada
sejumlah aksi bela Islam dan Al-Qur’an yang berjilid. Di mana pada aksi
tersebut sangat jelas menimbulkan kebencian dan penyulut perpecahan
antar umat beragama. Kedua, mendorong umat Silam yang masih awam agar
mereka sukarela mau mengikuti pemikiran tersebut. di mana sangat jelas
cacat secara referensi – ilmiah.
Gerakan di beberapa wilayah perlu diakui
jempol. Beberapa daerah dengan jangkauan paling jauh mampu dijadikan
sebagai ladang berdakwah. Beberapa waktu lalu, HTI mengadakan seminar
cukup besar di Jayapura. Kegigihan dalam berdakwah dan menyebarkan faham
anti Pancasila perlu diacungi. Namun, perlu dicermati beberapa poin
penting untuk penegakan Khilafah di Indonesia. Ada 13 unsur pokok terkait elemen Khilafah. Di anataranya: Khalifah, Pembantu Khilafah,
Gubernur, Departemen Perang, Departemen Keamanan dalam Negeri,
Departemen Luar Negeri, Departemen Industri, Departemen Peradilan,
Departemen Pelayanan Rakyat, departemen Keuangan dan Perbendaharaan
Negera, Departemen Informasi dan Majelis Umat.
Namun hal yang paling jelas tidak masuk akal adalah pemahaman khalifah. Dalam perspektif Hizbut Tahrir, Khalifah dapat diartikan sebagai pemimpin negara yang terdiri dari satuan yang disebut dengan wilayah. Selain itu, Khalifah ini adalah pemain utama dalam sistem Khilafah. Di mana dia mendapatkan porsi perhatian yang ekstra. Syaratnya adalah melalui pengangkatan dan rekomendasi.
Namun, terdapat hal yang paling menarik
dalam penggantian Khalifah. HTI sendiri tida membiarkan proses
penggantian sebagai mana yang dilakukan oleh Nabi. Mereka justru
mengatakan bahwa Khalifah berhak mengadopsi amir sementara dalam
undang-undang. Apakah jaman Nabi tidak bijaksana dengan membiarkan umat
memilih sendiri serta menentukan proses pemilihan khalifah
tanpa harus mengadopsi mekanisme tersebut? Selain itu, kondisi sekarang
praktik amir dimungkinkan berpeluang menimbulkan nepotisme.
Selanjutnya adalah Pembantu Khalifah. Untuk merekrut pembantu khalifah,
mengutip hadist yang terdapat dalam karya Abu ‘Abdillah Al-Hakim. Di
mana dalam hadist tersebut dijelaskan, dua orang wazirku dari langit
adalah Jiblil dan Mikail. Sedangkan dari bumi adalah Abu Bakar dan Umar.
Mengutip hadist tersebut, pemaknaan wazir adalah pembantu dalam segala urusan. Hal ini akan memperluas tugas dari wazir.
0 komentar:
Posting Komentar