PSIK Paramadina
Rabu, 30 Mei 2005
Pembicara: Dr.Zainun Kamal dan Abd.Moqsith Ghazali, MA
Moderator: Sunaryo
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Kita mulai saja diskusi kali ini, dan sambil menunggu peserta yang lain, diskusi pada hari ini akan mengangkat tema “Toleransi dalam Islam.” Tema toleransi, menjadi tema yang cukup menarik pada saat ini, khususnya bagi agama-agama. Dalam Islam misalnya, menjadi tantangan terbesar ketika begitu maraknya aksi kekerasan mengatasnamakan agama. Begitu banyak orang yang cukup gerah juga dengan sikap yang kurang toleran atau intoleran terhadap kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama. Sampai-sampai kita mendengar satu cerita yang cukup menarik dari kasus yang belum lama terjadi, seorang penyanyi dangdut kita yang cukup terkenal yaitu Inul Daratista, isunya, sampai-sampai ia pernah berpikir ingin berpindah keyakinan, karena melihat orang yang dianggap seagama, agama Islam misalnya, bersikap sangat tidak baik pada dia. Sehingga dia memiliki pemahaman, apakah Islam seperti itu? Nah, ini menjadi sangat problematis mungkin, karena di satu sisi Islam sebenarnya kalau kita melihat dalam teks-teks al-Qur’an sendiri banyak ayat cukup mengedepankan sikap toleran. Salah satu ayat yang cukup terkenal adalah prinsip bahwa bagiku jalanku atau agamaku dan bagimu adalah jalanmu. Jadi prinsip itu cukup jelas bahwa masalah keyakinan seharusnya orang diberi tempat untuk memilih secara bebas dan secara pribadi.Tetapi nampaknya dalam praktek sering terjadi, orang mengatasnamakan agama dengan bersikap intoleran terhadap pihak yang lain. Nah, hari ini kita mencoba untuk mengulas dan mendiskusikan lebih dalam, bagaimana sebenarnya Islam bersikap mengenai toleransi? Walaupun ini juga nanti akan berujung pada masalah interpretasi, tapi kita akan coba diskusikan. Ada dua nara sumber kita pada pagi ini, pertama, yang sudah tidak asing lagi, Bapak Dr. Zainun Kamal, dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Beliau menamatkan pendidikannya S3 IAIN Jakarta, sebelumnya pernah kuliah di Al-Azhar Kairo. Nara sumber kedua yaitu, Abdul Muqsith Ghazali, kegiatan beliau sekarang ini adalah sebagai pengajar di Paramadina, dan pendidikannya di Pesantren dan IAIN Jakarta.
Baiklah, kita akan mulai saja, dan kepada Bapak Zainun dipersilahkan untuk memulai lebih dahulu.
Pembicara pertama: Dr. Zainun Kamal
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Saudara-saudara, makalah sudah saya persiapkan. Tema pokoknya yang saya bahas di sini berkaitan dengan problem “kemurtadan.” Ini dalam rangka mempersiapkan fiqih pluralis, mencakup beberapa bahasan yang saya kemukakan, yaitu problem jihad. Karena kalau kita berbicara tentang toleransi, mungkin kita hanya melihat ayat-ayat toleran, padahal di sana banyak sekali ayat-ayat yang berkaitan dengan jihad, banyak sekali ayat-ayat yang berkaitan dengan peperangan, puluhan berkaitan dengan peperangan, bukan saja ayat-ayatnya saja yang berkaitan dengan peperangan bahkan nabi sendiri terlibat dalam puluhan peperangan. Sebagian berbicara juga tentang perdamaian, dan problem kemurtadan. Di sini saya angkat isu kemurtadan, karena ada fiqih pembunuhan dalam istilah saya. Ada fiqih pembunuhan bagi orang yang konversi agama atau keluar dari agama Islam pindah pada agama lain. Misalnya beberapa waktu lalu kita baru saja dikejutkan oleh akan dilakukannya hukuman mati bagi seseorang yang pindah agama di Afghanistan. Tapi diprotes oleh dunia internasional karena dianggap bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM), barangkali kalau tidak diprotes sudah dilakukan pembunuhan karena konversi agama. Dalam sejarah awal Islam memang ditemukan, terutama pada masa pemerintahan Abu Bakar atau khalifah pertama, memerangi orang-orang yang murtad, atau memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat. Benarkah tindakan itu sesuai dengan ajaran Islam yang berdasarkan kepada wahyu ilahi? Karena dalam bukti sejarah hal tersebut ada. Abu Bakar memerangi orang-orang murtad, memerangi orang-orang yang mengklaim jadi nabi, dan memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat. Pertanyaan kita: apakah ini memang sesuai dengan ajaran agama yang bersifat ilahi? Dan kemudian juga, bagaimanakah sebenarnya hukum murtad itu dalam Islam? Dan mengapa Abu Bakar memerangi mereka-mereka ini? Inilah barangkali beberapa hal yang akan kita berikan jawaban-jawabannya.
Saudara-saudara, makalah yang saya siapkan bukan tulisan saya sendiri dan belum sempurna, ini dari beberapa buku yang saya kumpulkan berkenaan dengan tema ini.
Yang pertama, problem penerapan hukuman membunuh bagi yang murtad. Alquran tidak menyebutkan sanksi bagi yang murtad, itu yang pertama yang saya pegang. Jadi Alquran tidak menyebutkan sama sekali sanksi bagi orang yang murtad, hanya Allah berfirman dalam beberapa ayat, ada ayat-ayat murtad yang sudah saya kutip di sini. Sanksi yang disebutkan oleh Allah hanya sanksi akhirat. Misalnya kesalahannya yang tidak diampuni, dosanya yang tidak diampuni, kemudian dia kekal di akhirat, itu persoalan Tuhan. Mengenai masalah dunia tidak ada hukuman sama sekali. Kemudian memang diriwayatkan bahwa nabi pernah bersabada, ini barangkali yang banyak dipegang, man baddala dinahu faqtulu qad ligat—siapa yang mengganti agamanya, bunuh dia. Namun nabi kita sendiri sama sekali belum pernah menjatuhkan hukuman mati bagi orang yang keluar dari Islam. Ada hadits, hadits ini belum sempat saya takhrij (belum diteliti lebih jauh), tapi umumnya yang dipegang ini. Jadi walaupun nabi menyatakan, mungkin saja menurut pendapat saya hadits ini diucapakan oleh nabi waktu dia marah, barangkali waktu dia kesal, karena beliau belum pernah melaksanakan sama sekali. Padahal banyak sekali orang-orang yang keluar dari Islam, pada masa nabi tidak pernah dihukum sama sekali. Bahkan, ada perjanjian nabi dengan orang-orang musyrik, yang kita ingat namanya “perjanjian hudaibiah,” antara orang-orang musyrik Mekkah dengan nabi di Madinah. Salah satu isi perjanjian itu, selama sepuluh tahun genjatan senjata, tidak saling serang menyerang. Itu yang pertama.
Yang kedua—saya kira ini yang cukup bagus sekali—kalau ada orang-orang musyrik pergi ke Madinah masuk Islam, itu harus dikembalikan kepada orang musyrik, tidak boleh diterima walaupun dia masuk Islam. Tapi kalau ada orang-orang Islam yang di Madinah kembali ke Mekkah menjadi musyrik itu harus diterima. Orang musyrik tidak boleh masuk Islam, dibolehkan kembali menjadi orang musyrik. Itu persetujuan yang ditandangani oleh nabi dengan orang musyrik. Hal itu dikatakan barangkali dengan landasan la ikraha fiddin tidak paksaan dalam agama, beberapa ayat dikutip di sini, misalnya, afa anta takrahun nass hataa yakunu mukminun, apakah kamu akan memaksa manusia menjadi orang-orang beriman. Termasuk juga undang-undang APP itu memaksa manusia. Alquran mengatakan, apakah kamu akan memaksa manusia wahai Muhammad menjadi orang beriman? Kemudian dikatakan, kalaulah sekiranya Allah berkeinginan supaya orang menjadi mukmin semua, itu bisa atau tidak? Bisa, apa sulitnya bagi Allah, semuanya dijadikan orang mukmin. Tetapi Allah tidak berkehendak itu. Memang Allah sendiri menghendaki plural. Allah mengatakan, faman sa’a fal yukmin faman sa’a falyakfur, kalau kau mau beriman silahkan pilih, mau kafir silahkan. Karena itu, iman dan kafir diserahkan oleh Allah, oleh Alquran kepada kita, kepada pilihan bebas kita masing-masing. Jadi tidak ada paksaan sama sekali. Itu bagian pertama.
Saya sudah mengutip ayat-ayat Alquran dan hadits di sini tentang kebebasan beragama, orang menjadi iman, menjadi kafir itu diserahkan oleh Alla Ta’ala kepada kita dan tidak ada paksaan sama sekali. Kemudian di sini juga saya catat ayat-ayat Alquran, dan di dalam Alquran tidak ditemukan definisi murtad yang bersifat duniawi. Tadi sudah saya katakan, ada puluhan ayat Alquran di sini yang saya kutip. Kita pindah pada halaman 20 coba dilihat di sini, saya kira ini yang perlu dijelaskan setelah ayat-ayat tadi. Jadi landasan secara teologis sudah kita jelaskan tadi, yang pertama di dalam Alquran tidak ada sanksi bagi orang yang murtad, tidak ada sama sekali sanksi yang bersifat keduniawiaan. Dan yang kedua, nabi pun tidak pernah melakukan atau melaksanakan hukuman mati terhadap orang yang pindah agama, dan bahkan itu disetujui oleh nabi di dalam beberapa perjanjian. Itu kerangka teologisnya dikemukakan.
Ini ada kerangka yang bersifat historis. Yang ada pembunuhan, yang ada peperangan itu bukan pada masa nabi, adanya adalah pada masa Abu Bakar. Orang-orang murtad itu diperangi, orang-orang murtad itu dibunuh, dan segalanya itu terdapat pada masa Abu Bakar. Kenapa? Karena setelah nabi wafat, ada beberapa kasus yang terjadi. Yang pertama, banyak sekali orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai nabi. Itu yang pertama. Yang kedua, ada orang-orang yang memang kembali kepada agama semula. Jadi setelah masuk Islam kemudian kembali pada agama semula. Dan yang ketiga, sesungguhnya orang-orang tadi bukan keluar dari Islam, tetapi tidak mau mengakui pemerintahan yang ada di Madinah, kekuasaan yang ada di Madinah. Cuma kalau kita lihat, saya ulang lagi, ada paling kurang tiga kasus: yang pertama, beberapa orang mengklaim menjadi nabi; yang kedua, ada yang keluar dari agama Islam, kembali pada agama semula; dan yang ketiga tidak mengakui pemerintahan pusat yang dipimpin oleh Abu Bakar yang ada di Madinah. Tapi mereka tetap sebagai orang muslim, tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar yang ada di Madinah. Kenapa? Karena ada orang yang percaya sebagian umat Islam, dia hanya mengakui kepemimpinan nabi dulu.
Mereka mengakui Muhammad sebagai pimpinan, tapi ternyata kemudian Muhammad wafat, akhirnya mereka tidak percaya lagi. Karena Muhammad manusia juga. Karena itu, diganti oleh Abuh Bakar, dan mereka lebih tidak percaya. Karena itu, dia tetap sebagai orang muslim, tidak percaya kepada Abu Bakar. Ini yang diserang oleh Abu Bakar. Ada juga yang hanya percaya kepada Ali bin Abi Thalib, tapi tidak percaya kepada Abu Bakar, percaya kepada Ali Bin Abi Thalib. Dan bahkan ada juga yang tidak percaya sama sekali pada Abu Bakar, dan tidak percaya kepada Ali Bin Abi Thalib. Mereka tetap sebagai seorang muslim. Cuma kalau kita lihat tentang orang yang mengaku jadi nabi, yang paling terkenal sekali namanya adalah Musailamah, yang oleh ahli sejarah Islam disebut al-kaddzab. Dia bukan al-kadzdab, Musailamah itu namanya Bin Habib. Di sini saya catat, Musailamah bin Habib, suku dari Hanafiah dari Yamamah, itu daerah Arab juga. Pada mulanya dia masuk Islam pada masa nabi. Tapi kita harus ingat, Musailamah ini bukan Arab Quraish. Ini kuncinya dulu, dia bukan Arab Quraish.
Kemudian di daerah Yamamah pada mulanya masuk Islam, tetapi kemudian setelah bertemu dengan nabi, dia pikir-pikir: ini yang menjadi nabi? Manusia biasa juga, katanya. Karena itu, dia pulang ke Yamamah, dia kumpulkan pasukannya. Kenapa kita harus patuh kepada Muhammad orang Quraish itu? Kenapa kita tidak bikin kelompok sendiri? Karena itu, dia mengklaim dirinya sebagai nabi, dan dipatuhi oleh semua orang Yamamah. Dan itu penduduknya lebih banyak dibandingkan dengan Quraish. Kita (orang Yamamah) lebih hebat dari Quraish, kenapa taat pada mereka (Abu Bakar)? Dan yang paling penting sekali, karena Yamamah itu daerahnya subur, merupakan rangkai makanan buat orang-orang Mekah dan Madinah. Karena itu kehidupan ibu kota, Madinah, sangat tergantung kepada kota Yamamah ini. Itu sebabnya, setelah Musailamah mengklaim menjadi nabi kemudian dia menjadi pimpinan—tak lama kemudian nabi meninggal, kemudian diganti Abu Bakar—dia tidak mau mengikuti Abu Bakar, bahkan dia melawan Abu Bakar. Kemudia Abu Bakar benar-benar kerepotan menghadapi Musailaman ini. Kenapa? Karena pasukan dia jauh lebih banyak dibandingkan dengan pasukan Abu Bakar yang ada di Madinah. Dan bahkan mereka tidak mau mengirimkan zakat ke Madinah. Terjadi peperangan. Abu Bakar dan Umar betul kerepotan untuk menghadapi Musailamah ini.
Kaum muslim menamakan al-Kadzzab terhadap Musailamah, tapi pengikut-pengikut mereka tidak menyebut al-kadzza. Menurut mereka, Musailmah adalah pimpinan yang baik sekali, as-shiddiq barangkali. Kenapa? Karena memang Musailamah itu di dalam sejarahnya baik, dia itu pengikut agama Kristen Arab yang baik sekali. Tetapi karena daerahnya ini memang hasil buminya diambil oleh pemerintah pusat, hal inilah yang ingin dibendung. Karena itu sesungguhnya Musailamah ini adalah seorang nasionali paten, atau mempertahnakan hasil daerahnya. Kenapa kita harus kirim ke pusat? Kata Musailaman. Kemudian ini yang dilawan oleh Abu Bakar. Waktu itu umat Islam meninggal sebanyak seribu dua ratus orang, dan yang paling hebat di dalam sejarah adalah para penghafal Alquran meninggal sebanyak tujuh ratus orang. Kalau kita baca, kenapa Alquran itu kemudian dibukukan? Pada mulanya hafalan saja, tidak ditulis. Tetapi karena banyak para penghafal Alquran yang meninggal untuk menghadapi Musailamah ini, karena itu Abu Bakar khawatir, “nanti tidak ada lagi yang hafal Alquran.” Karena itu, Alquran ditulis.
Itu sebabnya, saya di beberapa tempat, seperti di IIQ dicekal dengan alasan itu. Karena saya mengatakan, “menghafal Alquran itu tidak ada nilainya.” Kenapa? Karena dulu pada masa nabi memang ada motivasi, tidak banyak yang bisa tulis baca, karena itu dimotivasi: siapa yang bisa menghafal Alquran, anda mendapat pahala sekian, surga balasannya. Itu motivasi. Tetapi kalau sudah banyak yang bisa tulis baca, apalagi kalau sekarang ada kaset dan segalanya, mungkin hafalan kaset lebih pintar dari kita barangkali. Tetapi menurut pendapat saya, menghafal Alquran itu tidak ada nilai, tidak bernilai. Saya sampaikan begitu. Saya mengatakan kepada mahasiswa IIQ, “kasihan anda ini menghafal Alquran.” Mahasiswa IIQ itu orang-orang dari kampung, dari desa, dia tidak cerdas menghafal. Sudah menghafal, kemudian ilmu lain tidak bisa. Karena itu, tamat dari sana ia hanya sekedar menghafal Alquran. Nanti dapat suami yang tidak baik, hafalannya hilang lagi.
Mungkin sedikit saya bacakan kondisi dari Yamamah tadi, ini sangat penting sekali menurut pendapat saya. Ada di halaman 37, tidak lupa kami ingatkan bahwa Yamamah adalah tanah yang paling subur di Semananjung. Halaman 37 yang saya tulis itu, daerah yang paling subur di Semenanjung sekaligus menyuplai bahan makanan atau gandum yang dibutuhkan Hijaz, untuk Mekah dan Madinah. Barangkali begitu semangatnya orang-orang bani Hanifah, mempertahankan negeri mereka lebih didorong oleh latar belakang faktor nasionalisme. Apalagi ada catatan yang sangat penting bahwa gerakan apotasi/amutasi yang sudah mulai bergejolak sejak sakit parahnya nabi, dan menjelang wafatnya, dan meledak pada masa permulaan Abu Bakar ternyata terjadi di daerah-daerah tersebut. Jadi bukan karena alasan murtad mereka diserang oleh Abu Bakar, tapi karena daerah-daerah ini subur, kemudian menyatakan kepentingan dari pemerintah pusat. Jadi sama saja dengan menyerang Aceh, menyerang Irian, dan sebagainya. Karena itu daerah-daerah yang potensial. Tidak mau stoknya dikirim ke pemerintahan pusat, itu sebabnya diserang. Jadi pendekatannya, karena selama ini Abu Bakar dianggap sebagai pimpinan agama, waktu dia menyerang orang-orang ini dikatakan menyerang orang murtad. Padahal sesungguhnya itu adalah persoalan politik dan ekonomi. Jadi bukan menyerang orang-orang musyriknya, orang-orang murtadnya. Itu persoalannya. Bani Aswad dan segalanya itu, Bani Tamim dan bahkan selain Musailamah ini ada lagi dari bani Tamim yang mengklaim dirinya sebagai nabi, dan orang itu perempuan bernama Sajah. Ketemu dengan Musailamah, Sajah ini kawin dengan Musailamah, katanya kita sama-sama menjadi nabi. Karena ini bukan daerah Quraish semua. Daerah yang ditaklukkan dengan Quraish, karena itu mereka ingin bebas.
Ada pula kabilah yang tanpa dikepungin nabi-nabi palsu di dalamnya, yaitu Bani Amat dan banyak yang lainnya, kesemuanya kabilah-kabilah terkenal dan besar, di samping menempati daerah-daerah kaya, penghasilan, komoditas, seperti daerah-daerah Hadrat Maut, Bahrain, Oman dan lain sebagainya. Itu daerah-daerah yang memberontak, dan di sana daerah-daerah yang kaya dari hasil pertaniannya dan lain sebaginya. Coba kalau kita lihat selama ini, dianggap dalam perjalanan sejarah Abu Bakar menyerang daerah-daerah itu disebabkan karena murtad. Inilah sebabnya di dalam pemahaman fiqih, orang-orang murtad itu perlu diserang atau dibunuh. Padahal kenyataannya kita bilang, orang-orang ini sebagiannya masih tetap Islam, hanya saja tidak mau bayar zakat ke ibu kota. Kenapa kita harus menyetor zakat ke ibu kota, ke Madinah? Padahal, kita juga membutuhkan, kata mereka. Sama seperti sekarang ini, sangat khawatir sekali kalau zakat diundangkan? Akhirnya zakat ini dipungut oleh penguasa, dan zakat itu akan dikorup oleh mereka itu. Padahal ada lingkungan kita, keluarga kita yang membutuhkan. Kita tidak bisa lagi untuk memberikan sumbangan. Karena itu saya paling tidak setuju sebenarnya untuk diundangkan zakat itu.
Itu beberapa komentar saya. Itu sebabnya, di dalam Alquran—dan ini penting sekali—secara teologis, qola fil a’rabu amanna. Jadi, orang-orang Arab yang pinggiran tadi, dia datang kepada nabi, dia katakan, wahai Muhammad kami orang sudah beriman, tapi kemudian Allah mengatakan, qul lam tu’minu, kalian sesungguhnya belum beriman, wa lakin quku aslamna, katakanlah kalian baru Islam, fallamna yadhulil imanu fi qulubikum, iman itu sesungguhnya belum masuk ke dalam lubuk hati anda. Apa artinya? Artinya, mereka itu karena dulu dipaksa, coba lihat daerah-daerah yang dikuasai tadi, ada tiga ketentuan dari Islam yang ditentukan oleh nabi.
Yang pertama, kalian kalau mau selamat mengucapkan dua kalimat syahadat, asyhadua alla ila ha Illallah,wa asyhadu anna muhammadar rasulullah. Karena itu mereka secara terpaksa mengucapkan dua kalimat syahadat. Jadi Islamnya, hanya Islam permukaan, atau kalau tidak mau masuk Islam harus bayar upeti, bayar jizyah satu persen. Kalau tidak juga, tidak mau masuk Islam, tidak mau bayar upeti, kalian diserang. Jadi orang-orang ini masuk Islam semuanya karena terpaksa, kalau tidak masuk Islam diserang, atau diperangi. Karena itu mereka masuk Islam, dan dia katakan, orang-orang Arab tadi, amanna, sesungguhnya dia belum beriman kepada Allah. Setelah nabi meninggal mereka-mereka itu mulai bergejolak semua, ada yang mengklaim menjadi nabi tadi, ada yang keluar kembali pada agamanya, dan ada yang tidak mau bayar zakat, ada yang tetap Islam yang tidak mau mengakui kepemimpinan Abu Bakar, dan tidak mau terhadap pemerintahan pusat itu.
Menurut pendapat saya, karena itu sesungnguhnya di dalam Islam itu baik secara teologi ataupun secara histories tidak ada pemaksaan dalam agama, apalagi orang yang murtad itu harus dibunuh dan semacanya. Saya kira, ini kita angkat karena baru-baru ini kita dengar, di Afghanistan itu yang pindah ke agama Kristen itu mau dibunuh. Itulah saudara sedikit hal ini saya angkat, dan saya sangat khawatir sekali, misalnya kalau nanti yang berkuasa itu partai-partai Islam.
Moderator: Sunaryo
Mungkin langsung saja kepada mas Muqsith Ghazali untuk menjelaskan.
Pembicara kedua: Muqsith Ghazali
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Bapak ibu, teman-teman sekalian. Saudara Aan meminta saya untuk berbicara tentang ayat-ayat toleran dan ayat-ayat yang tidak toleran di dalam Alquran. Sebenarnya saya sendiri tidak terlalu suka dengan penggunaan kata toleran, karena kata toleran itu mengandung prasangka di dalam dirinya sendiri. Toleran itu mengandaikan bahwa orang lain berada dalam kesesatan, hanya karena kita baik maka kita menoleransi kesalahan yang mereka miliki. Jadi kata toleran itu sendiri sudah mengandung prasangka, karena kita baik, maka kita menoleransi kesalahan orang-orang kafir, orang Kristen, orang Yahudi, dan sebagainya. Sebenarnya kata yang paling pas, adalah kata yang dipopulerkan oleh mas Budi, adalah pluralis. Yang mengandaikan adanya kesederajatan agama-agama dalam kehidupan keberagamaan kita. Itu yang lebih tepat. Akan tetapi karena kata pluralis dengan segala derivasinya sekarang sudah mulai terstigma, sehingga orang tidak mudah lagi menggunakan kata pluralisme, kemudian digantikan dengan kata “kebinnekaan,” keberagaman, toleransi dan sebagainya. Padahal hakekatnya, saya kira berbeda.
Kalau bearbicara pluralisme agama di dalam Alquran, saya kira tidak bisa dibantah bahwa Alquran mempunyai dua wajah yang paradoks, yang berbeda. Di satu sisi ada kesan bahwa ayat Alquran sangat pluralis di dalam memperlakukan umat agama lain. Tapi di sisi lain tidak bisa dipungkiri bahwa ada sejumlah ayat—yang jumlahnya saya kira jauh lebih besar—yang memiliki potensi untuk dijadikan sebagai paham untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap umat agama lain. Itu jumlahnya jauh lebih banyak. Akan tetapi sayangnya, karena Alquran ini memiliki dua wajah yang sangat berbeda, ada orang yang menyuarakan pentingnya pluralisme agama dengan mengacu kepada satu dua ayat, dengan mengabaikan ayat yang lain, yang anti pluralis, yang tidak toleran. Begitu juga kelompok yang mendukung, yang anti pluralisme agama menggunakan sejumlah ayat. Orang-orang seperti Habib Rizik misalnya, kesukaannya mengambil potongan-potongan ayat yang anti pluralis, ayat seperti faktulul musyrikina haitsu wajattumuhum, bunuhlah olehmu orang-orang musyrikaa itu di mana saja bertemu dengan mereka. Fa idza lakitumulladzina kafaru fa darbarriqab, kalau kamu bertemu orang-orang kafir penggela lehernya, wa jahidil kuffara wal munafiqina, perangilah oleh orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Itu ayat-ayat yang dipakai oleh kelompok-kelompok fundamentalis Islam. Sementara orang seperti Bapak Zainun saya kira ayat yang rajin dikutip adalah ayat la ikraha fi ddin, tidak ada paksaan di dalam agama. Mas Dawam yang sering diulang-ulang, lakum dinukum wa liyadin, agamamu agamamu, agamaku agamaku. Tetapi tidak pernah dilakukan usaha yang sungguh-sungguh bagaimana mengatasi problematika qur’anik terkait dengan pluralisme agama. Apakah dengan cara membangun sebuah kerangka metodelogi yang baru? Atau dengan cara memberi penafsiran baru terhadap ayat-ayat Alquran yang begitu itu?
Nah, di situlah pentingnya kita berdiskusi hari ini di sini, di Universitas Paramadina yang Mulya ini untuk berbicara sejumlah ayat yang problematis dari sudut pluralisme agama. Saya ingin mengulangi misalnya ayat-ayat yang pluralis, banyak sekali, walaupun tidak bisa mengalahkan jumlah ayat-ayat yang tidak pluralis, seperti yang sering dikutip oleh almarhum Cak Nur misalnya, innalladzina amanu walladzina hadu wannashara wasshabi’ina—ada yang bilang wasshabiuna di dalam Alquran juga—man aman minhum billahi wal yaumil akhir wa amila sholihan fala khoufun alaihim wa lahum yahzanun (sesunguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabi’in beriman kepada Alla kemudian beramal saleh, mereka tidak perlu khawatir bahwa dia akan dimasukkan ke dalam surga oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Ayat ini secara harfiah cukup dijadikan sebagai modal untuk menyatakan bahwa keselamatan bukan hanya di dalam Islam tetapi juga di dalam agama-agama lain.
Konsili Vatikan ke-II di dalam kekristenan saya kira menarik, karena menyatakan bahwa di luar kekristenan sudah ada keselamatan di luar gereja itu, dan Islam sampai sekarang belum menyatakan seperti itu, buru-buru sudah dimuratadkan. Ayat lain misalnya, la ikraha fiddin qat tabayyanarusyda minal ghai (tidak ada paksaan di dalam agama), orang seperti Bapak Zainun seringkali berhenti di sini la ikraha fiddin, tidak ada paksaan di dalam agama. Kalau dilanjuttkan, ini yang suka melanjutkan Habib Riziq dan kawan-kawan, qot tabayyanarrusyda minal ghai, sungguh sudah jelas kalau di dalam tafsir-tafsir yang klasik ar-rusydu dimaknakan sebagai al-haq kebenaran, sudah jelas antara kebenaran dan kebatilan, fa bayyanarrusydu minal ghai, bainal haqqu wal bathil, antar Islam dan bukan Islam, jadi kebenaran itu adalah Islam, al-ghai itu non Islam, qat tabayyanarusydu minal ghai (sungguh sudah jelas mana-mana orang yang berada dalam kegelapan dan mana di dalam keterang benderangan). Kalau di dalam al-kitab saya kira sudah ada juga antara terang dan gelap, cuman tidak bisa dipersatukan. Jadi, pandangannya sangat eksklusif kalau kita lanjutkan ayat-ayat ini. Oleh karena itu wajar apabila ada seorang penafsir agama yang bernama Sulaiman bin Musa menyatakan bahwa ayat la ikraha fiddin qat tabayyanarusyda minal ghai itu sudah dimansukh, diaborgasi oleh ayat lain yang menyatakan jahidil kuffara wal munafiqin (perangilah olehmu, jihadilah olehmu orang-orang kafir dan orang-orang munafik). Ini konon Sulaiman bin Musa mengambilnya dari pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Mas’ud yang menyatakan bahwa ayat ini sudah dimansukh, karena itu tidak berlaku.
Jadi, penyandaran Bapak Zainun kepada ayat ini tidak relevan, karena ayat ini sudah dimansukh oleh ayat lain yang menyatakan perintah untuk memerangi orang kafir dan munafik. Nah, pandangan yang kedua, ayat ini tidak dimansukh, akan tetapi ayat ini khusus turun kepada orang-orang ahlul kitab. Ini di dalam tafsir al-jami’ li ahkail qur’an juz 3, halaman 208, bab tentang la ikraha fiddin. Kalau di lingkungan NU harus jelas, referensinya kitab apa, halaman berapa, juz berapa. Menurut al-Qurtubi, dia menjelaskan bahwa ayat ini tidak dimansukh, akan tetapi ayat ini spesifik turun pada ahlul kitab yaitu ahlul kitab yang membayar jizyah, membayar pajak. Ahlul kitab yang tidak membayar pajak tidak terkena ayat ini, tidak terkena ketentuan ini. Yang menarik saya kira adalah riwayat yang ketiga tentang turunnya sababun nuzul ayat ini. Dikisahkan misalnya, ini dari Ibn Abbas, bahwa ayat ini turun di dalam kasus terkait dengan perempuan-perempuan anshar. Pada waktu itu ada sejumlah perempuan anshar yang pernah berjanji pada dirinya sendiri, “apabila dia punya anak maka dia akan memaksa anaknya untuk masuk ke dalam agama Yahudi,” itu ada sekitar sepuluh orang anak yang dipaksa masuk ke dalam agama Yahudi, kemudian masuk ke dalam agama Yahudi. Dengan dasar ini, lalu turunlah ayat ini, la ikraha fiddin, kamu tidak bisa memaksa anak-anakmu sendiri untuk masuk ke dalam agama Yahudi. Jadi ini adalah penegasan terhadap orang lain, bukan terhadap Islam sendiri, qat tabayyanarusyda minal ghai sungguh sudah jelas bahwa Islam itu kebenaran dan di luar Islam itu di luar kebenaran, tidak ada keselamatan. Kesalahannya sebenarnya adalah terletak di dalam memaknai arrusydu dengan al-ghai. Ini kalau otak-atik kata di dalam gramatika bahasa Arab, rasyada yarsudu rusydan, itu artinya adalah orang-orang yang sudah punya kematangan secara psikologis, secara emosional. Sedangkan rasyida yarsyadu rasyadan, itu adalah orang-orang yang bisa membedakan mana yang hak, mana yang bathil. Saya memaknakan ar-rusydu di situ harus dimaknai sebagai rasyadin, orang-orang yang memiliki kematangan emosional, yang cukup memiliki kemampuan untuk menentukan agama apa pas buat dirinya, dan agama apa yang tidak relevan buat dirinya. Jadi, ketika orang sudah memasuki usia dewasa, usia rasyid, dia tidak bisa dipaksa oleh siapapun, hatta oleh orang tuanya sendiri untuk memilih suatu agama. Jadi, orang tua tidak punya otoritas untuk memaksa anaknya untuk masuk ke dalam agama tertentu, karena dia sudah berada di dalam usia yang matang, yang stabil, dan lain sebagainya. Tapi sayangnya pemaknaan seperti ini tidak cukup populer di lingkungan umat Islam. Nah, jadi la ikraha fiddin qat tabayyanarusydu, ar-rusydu saya kira harus dimaknai ulang karena sangat problematis.
Ada juga ayat lain, yang saya kira cukup bermasalah, dan seringkali dikutip oleh Habib Riziq, ini ayat-ayat yang problematis. Dahulu orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani adalah orang yang senang sekali mengklaim bahwa dirinyalah yang akan masuk ke dalam surga, orang lain tidak. Itu digambarkan di dalam Alquran, wa qalu, orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani pernah berkata, lan yadhulal jannata illa mankana hudan au nashara, tidak akan pernah masuk ke dalam surga kecuali orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani. Jadi, klaimnya adalah surga hanya milik mereka semata. Dibantah oleh Alquran, tilka amaniyyuhum, itu hanya imajinasi otopis mereka belaka, itu tak terbukti. Kata Alquran qul hatu burhanakum, datangkanlah olehmu sebuah bukti kalau pernyataanmu itu benar, inkuntum shadiqin, jika kamu benar, bala syamsaka litida’, orang di luar Yahudi dan orang Nasrani itu juga bisa masuk ke dalam surga, man aslama wajhahu lillah, orang yang menyerahkan diri kepada Tuhan, ini yang diterjemahkan oleh kelompok-kelompok fundamentalis Islam, aslama dimaknai orang yang masuk ke dalam Islam. Orang Yahudi dan orang Nasrani hanya masuk ke dalam surga apabila dia masuk ke dalam Islam. Padahal saya cari di dalam sejumlah tafsir yang sangat muktabarak, kira-kira yang sangat absah, shahih, misalnya di dalam at-tabari, Bapak Nanang bisa membuka juz I, halaman 564, tentang ayat ini. Asalama wajhahu diartikan sebagai akhlasha lillah, yaitu orang yang hanya tunduk dan patuh kepada Tuhan, at-tadzallul li thoatihi wa tidzamu li amrihi, dia hanya tunduk dan patuh kepada Tuhan. Di dalam tafsir as-zamakhsyari juga, di dalam as-zamakhsyari al-kassayf juz I, halaman 64, man aslama wajhahu lillah ai man akhlasa nafsahu lahu la yusyriku bihi ghairahu, jadi orang yang hanya tulus kepada Tuhan dan tidak menyekutukannya, siapapun dia, dia akan masuk ke dalam surga. Jadi aslama di situ di dalam kitab-kitab tafsir yang sangat otoritatif tidak memaknainya dengan kata masuk Islam, akan tetapi ahklasa lika yaitu orang yang menyerahkan diri hanya kepada Tuhan.
Kemudian ayat lain misalnya, yang menyatakan—sering dikutip juga—tentang apakah kita bisa menjadikan orang Yahudi sebagai teman atau tidak? Di dalam Alquran disebutkan latajidanna asyaddannasi adawatan lilladzina amanu alyahuda walladzina asyrak (apabila kamu bertemu dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik jangan kamu pedulikan, karena dia adalah karena dia adalah orang yang musuh bebuyutan kamu), asyaddannasi adawatan, dia terus-menerus memusuhi kamu. Tapi terhdap orang-orang Kristen berbeda, wala tajidanna akrabakum mawaddatan lilladzina amanu alldzina qalu inna nashara, tapi orang-orang Kristen adalah orang-orang yang paling baik dijadikan sebagai teman, berbeda dengan orang Yahudi. Nah, bagaimana cara kita memperlakukan ayat ini? Ternyata ayat ini turun dalam konteks yang sangat spesifik. Saya mengutip, di dalam tafsir al-manar juz III, halaman 3, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang Yahudi yang tidak bisa dijadikan sebagai teman, dan itu adalah musuh kamu, orang-orang musyrik itu adalah yahudul hijaz, orang-orang Yahudi yang ada di Hijaz, dan orang-orang Nasrani yang ada di Habasyah. Karena ketika orang-orang Islam itu pindah ke Habasyah, yang pertama kali yang memberikan pertolongan pada mereka bukan orang Yahudi, akan tetapi adalah orang-orang Nasrani di sana. Dengan argumen ini maka turunlah ayat itu, kalau kamu mau berteman jangan berteman dengan orang Yahudi dan orang musyrik tapi bertemanlah dengan orang-orang Nasrani yang ada di Habasyah. Oleh karena itu, ayat ini turun dalam konteksnya yang spesifik tidak bisa diuniversalisasikan, tidak bisa diobjektivikasi, sehingga sampai hari ini kita tidak boleh berteman dengan orang-orang Yahudi dan harus berteman dengan Nasrani.
Begitu juga ayat lain misalnya, wa lantardha ankal yahuda wa lannashara hatta tattibia millatahum, kalau kita agak jeli membaca ayat ini, wa lantardha ‘anka, tidak pernah akan rela kepadamu Muhammad, bukan ‘ankum, karena itu hanya terbatas kepada nabi Muhammad. Orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani ketika kamu baru datang, tidak akan pernah rela, kecuali kamu masuk ke dalam agama mereka. Karena itu tidak bisa dipakai. Nah, karena argumennya demikian, saya kira tidak bisa diambil satu kesimpulan hukum, tidak bisa diambil pandangan universal tentang kelompok-kelompok agama non Islam. Karena agama non Islam itu ada yang terselamatkan, ada yang tidak terselamatkan, laitsu sawa’an, di antara mereka tidak sama, min ahlil kitabi ummatun qaimatun yatluna ayatillahi ana allaili wa hum yasjudun ya’muruna bil ma’ruf wa yanhauna anilmunkar, di antar orang-orang ahlul kitab itu memang ada yang baik, yang tiap hari kerjaannya adalah pengabdi hanya kepada Tuhan, tapi sebaliknya ada juga yang tidak baik, karena itu orang-orang yang tidak baik ini harus diperbaiki, kira-kira begitu. Persis seperti tuduhan orang-orang Islam terhadap orang-orang non Islam, terhadap orang-orang Kristen, dikira orang-orang Kristen memiliki satu pandangan tunggal tentang Tuhan. Yang sering dikutip misalnya adalah ayat, laqad kafaralladzina qalu innallaha wal masyihubnu maryam, orang-orang kafir itu adalah orang yang menyatakan bahwa Allah itu adalah al-Masyih Ibnu Maryam, Yesur Kristus, Masih bin Maryam.
Di dalam tafsir al-kurtubi disebutkan bahwa ini adalah salah satu pandangan kekristenan, bukan seluruh orang Kristen memiliki pandangan seperti ini—mas Budi nanti bisa menjelaskan ini. Di dalam tafsir al-kurtubi disebutkan itu adalah hadza qaulu firakin nashara, itu hanya pandangan sebagian sektek di dalam kekristenan, yaitu minal malakiah, sekte malakiah, wa nnusthurian dan nisthorian, wal ya’kubiyah sekte ya’kubiyah, li annahum yakuluna abun wafnun wa ruhul kudus ilahun wahid, ini yang dibantah oleh Alquran, bukan seluruh pandangan kekristenan, jadi tidak bisa diuniversalisasikan juga tentang apakah orang Kristen itu, karena tafsir tentang trinitas itu lumayan rumitnya, karena itu tidak bisa digeneralisasikan.
Ada banyak ayat lain saya kira yang tidak bisa diselesaikan hari ini di sini, misalnya ayat waqatilul musyrikina kaaffatan kama yuqatilunakum kaaffah, perangilah olehmu orang-orang musyrik secara keseluruhan sebagaimana mereka memerangi kamu, wa qatiluhum hatta latakuna fitnatun wa yakunaddinu kulluh qulillah, perangilah olehmu sehingga fitnah di permukaan bumi in habis. Pertanyaannya kemudian, bagaimana kita cara mengatasi dua ayat yang paradoks ini?
Saya setuju terhadap apa yang pernah ditempuh oleh Ibnul Muqaffa’, ketika dia membedakan ayat-ayat yang ushul dan ayat-ayat yang furu’. Kata Ibnul Muqaffa’ konsentrasi umat Islam hari ini, itu terlalu terfokus terhadap ayat-ayat yang furu’ yang partikular, dan mengabaikan ayat-ayat yang universal, katsiran ma minannas yatlubunal fushul maida’ati ushul, banyak sekali orang yang terlalu memfaforitikan ayat-ayat yang fushul, yang partikular, yang terperinci, yang adhoc yang tentatif, maida’atil ushul sembari mengabaikan ayat-ayat yang ushul. Karena itu Alquran harus dipecah harus menjadi dua bagian, ayat yang fushul dan ayat yang ushul, ayat yang universal—kata Fazlur Rahman—dan ayat yang paratikular. Apa yang dimaksud dengan ayat-ayat yang ushul? Ayat-ayat yang menjelaskan prinsip dasar ajaran Islam. Salah satu ayat yang menjelaskan prinsip dasar ajaran Islam adalah ayat yang terkait dengan pluralisme agama, dengan toleransi. Saya ingin mengutip pernyataan dari Muhammad Ibrahim al-hafnawi ketika dia memberikan komentar terhadap penjelasan ar-Razi di dalam Mafatikul Wai’, kata dia wal mabdaulanfi syar’atina, prinsip dasar umum dari syariat Islam adalah la ikraha fiddin tidak ada paksaan di dalam agama wa la yujadu fil qur’ani awissunnah ma yata’aradhu hakikatan ma hadal makdha’ tidak ada di dalam Alquran dan di dalam assunnah satu prinsip yang bertentangan dengan prinsip yang umum ini, yaitu kebebasan beragama. Karena itu ayat-ayat yang fushul yang berbicara tentang kemurtadan, yang berbicara tentang afostasi, berbicara tentang musyrik dan lain sebagianya, itu harus selalu berada di dalam kontrol ayat-ayat yang universal, itu harus dikontrol. Kalau di dalam perjalanannya ayat-ayat yang fushul ini, ayat-ayat yang partikular ini ternyata tidak efekatif lagi untuk menyuarakan ayat-ayat yang ushul maka ia harus dimodifikasi, harus diperbaharui, tidak bisa dengan cara lain. Harus diperbaharui dengan menggunakan akal budi manusia, karena akal juga memiliki otoritas untuk melakukan spekifikasi, untuk melakukan modifikasi terhadap ajaran-ajaran spesifik di dalam Alquran dan assunnah.
Dengan argumen ini maka saya menciptakan kaidah ushul fiqih baru, tankihun nusus waljuz’iyah bil aklil mujtama’, dimungkinkannya untuk mensortir ayat-ayat partikular dalam agama dengan menggunakan otoritas akal publik. Itu diperbolehkan. Dan, di dalam ushul fiqih lama, ada sebuah kaidah tentang kemungkinan melakukan takhsis bil akli, melakukan spesifikasi dengan menggunakan akal manusia, karena akal—Ulil sering menyatakan juga—sebenarnya adalah firman Allah dalam bentuknya yang lain. Kalau dahulu misalnya, firman Allah itu hadir dalam bentuk daging manusia, Yesus Kristus seperti yang disebutkan dalam Yohanes ayat 1, pada mulanya adalah firman, kemudian firman itu hadir dalam bentuk daging manusia yang bernama Yesus Kristus. Tapi ternyata improvisasi Tuhan menjadikan kalamnya dalam bentuk daging, tidak cukup efektif, orang tiba-tiba melakukan sakralisasi terhadap Yesus Kristus, sehingga menjadikan dia sebagai Tuhan. Rasanya Tuhan tidak akan mengulangi—dalam tanda petik—“kesalahannya ini.” Akhirnya dia menghadirkan firma Tuhan dalam bentuknya yang lain, yaitu dalam bentuk huruf dan aksara, alqur’anul karim, dalam bentuk qanun, dalam betuk perundang-undangan, jangan jadikan Muhammad sebagai Tuhan. Mengingatkan saya pada pernyataan Umar Bin Khattab, ketika nabi Muhammad baru meninggal orang-orang pada ribut, siapa lagi yang bisa menggantikan nabi Muhammad? Akhirnya Umar bin Khattab berkata, man kana ya’budu muhammadan fainna muhammadan qad matan, barang siapa yang menyembah Muhammad, Muhammad sungguh telah mati, wa inkana ya’budu allahu fainkana allahu hayyun la yamut, barang siapa menyembah Allah maka Allah adalah hayyun hidup, la yamut tidak akan pernah mati.
Nah, ternyata umat Islam ini mewakili atau melanjutkan tradisi kekristenan yang cenderung menuhankan Muhammad ketimbang tunduk kepada perundang-undangan, kepada konstitusi pada saat itu. Ini sebuah kesalahan. Karena itu, menurut saya sekarang umat Islam harus dihidupkan kembali, itu tidak bisa mencukupkan diri kepada qanun yang sudah lama itu dengan cara menghidupkan otoritas akal manusia. Di sini pernyataan imam Syafi’i sangat relevan, kata dia, ida wajadtum adillah, kalau kamu menjumpai sejumalah dalil, biar akademik silahkan dibuka di dalam bukunya Abdul Karim al-Jundi, al-Imamus Syafi’I Nashirus Sunnah wa Wadhiul ushul, ida wajadtum adillah kalau kamu menjumpai sejumlah dalil, falam takbalha ukulukum akalmu tidak mau menerima, fala takbaluha maka jangan terima dalil-dalil itu, liannal akla muttharrun ila qabulil hakki, karena akal budi manusia sebenarnya sudah memiliki sensitifitas untuk menjemput kebenaran, fa alhamaha fujuraha wa takwaha,dalam diri manusia sudah ada potensi untuk membedakan antar yang baik dengan yang buruk.
Itulah pentingnya sekarang menghidupkan otoritas akal di dalam mensortir sejumlah ayat yang problematis dari sudut plurlisme agama. Saya kira itu provokasi saya, dan Terima kasih.
Moderator: Sunaryo
Presentasi dari dua nara sumber kita ini sudah disampaikan, berikutnya kita akan berikan ke para peserta untuk bertanya atau memberikan komentar. Mungkin untuk termin pertama, empat orang dulu.
Penanya pertama: Dadang
Saya tidak mengikuti paparan Bapak Zainun, tapi setelah saya baca sekilas, prinsipnya sama: ini kita membicarakan kesesatan. Menurut saya hal yang mendasar setiap kita mempelajari kitab suci, Quran misalnya, atau Injil, selalu mengandung paradoks. Sesuatu yang mengandung paradoks itu, berarti itu sebuah kelemahan. Berarti ini tidak ada hubungannya dengan sesuatu yang datangnya dari firman Tuhan dari langit. Ini peristiwa kemanusiaan menurut saya, ini peradaban. Saya lagi meneliti, sejak kapan istilah agama—yang dihubungkan dengan sesuatu dari langit itu—untuk kesimpulan sementara saya menganggap istilah agama, Islam, Kristen, Yahudi, setelah terjadi perang Salib menurut saya. Karena begini, bukan Islam memajukan Andalusia, Persia, atau nusantara, tetapi Islam justru dimajukan oleh peradaban: Andalusia, Persia, dan sebagainya. Begitu juga Kristen.
Jadi, saya ingin memilih, yang mana yang terlanjur salah kaprah itu, istilah agama dengan peradaban. Ini harus kita bedah dulu, sebab kalau tidak, saya yakin semakin rancu dan semakin membentuk mentalitas yang munafik. Karena apa? Terjadi keguncangan antara realitas dengan apa yang diyakini yang sebenarnya semakin menjauh dari konsepnya. Seperti misalnya, dalam sisi peradaban ketika Muhammad itu pertama-tama, dalam peradaban di manapun, ada yang mengatur tentang jiwa, rohani dengan yang sifatnya fisik, material. Muhammad ketika dia mengolah rohaninya, itu sering ke Gua Hiro’, bertapa. Kemudian lama-kelamaan mengdopsi ritual, misalnya tentang sholat, sholat itu sejak zaman fir’aun sudah ada, tata cara seperti itu, bahkan di Kristen ortodoks sama persis. Jadi peradaban biasa, coba ada telaah, kalau dibicarakan sebagai agama, selalu mengandung paradoks, membuat kita jadi gila, tapi kalau dihubungkan dengan peradaban masuk akal. Kenapa terjadi paradoksal? Karena memang manusia itu begitu.
Jadi alam ini tidak bisa dibakukan melalui pembahasaan, seperti yang dikatakan oleh almukarramah Muqsith, itu selalu saja mengandung kelemahan. Misalnya Islam membahasakan alam semesta dan Tuhan yang tidak kelihatan itu, itu tetap mengandung kelemahan. Sebagai studi bandingnya, kalau di Borobudur itu—setelah saya pelajari, dan ini Cak Nur pernah saya ungkapkan seperti ini beliau setuju—ada kamadatu, rupa datu. Kamadatu itu peristiwa kelahiran, terus rupadatu peristiwa kehidupan sehari-hari, lalu bicara tentang yang ilahiah itu, istilah Cak Nur dari kata “taya’”, tek aya’. Jadi yang tidak ada itu, yang tidak ada itu, ada pada dasarnya. Yang ada itu, yang kelihatan sebarnya tidak ada, maya. Simbol seperti itulah menurut saya yang luar biasa, yang pas mengena, kalau bicara peradaban. Terima kasih.
Penyanya kedua: Halim
Saya mau mengomentari pertanyaan dari Bapak Zainun Kamal. Tidak bisa dinafikan peradaban Islam adalah teks sentris, boleh dibilang seperti itu. Nasr Hamid Abu Zaid pun dalam Nahdun Nass wal Hakikah, dia bilang selama peradaban Islam tidak melepaskan dirinya dari teks, Islam tidak akan pernah surut. Artinya ada kemungkinan kembali memimpin dunia dalam kadarnya yang lebih manusiawi, dibanding dengan peradaban yang saat ini ada. Yang saya terkejut dengan pernyataan Bapak Zainun Kamal tadi, anda sempat berujar, tidak ada lagi nilai dan pahala dalam kasus orang menghafal Alquran. Justru hemat saya, masa Rasulullah tentu memiliki arti dalam menjaga keotentikan Alquran. Pada masa ini pun kita tidak boleh melihat sebelah mata kepada para penghafal Alquran, karena kita tahu para penghafal Alquran dengan perkembangannya saat ini peran mereka sangat besar, tentu dalam hal menjaga keotentikan Alquran. Hanya saja memang, penafsiran terhadap Alquran atau metodelogi pembelajaran Alquran hanya semata pada penghafalan, belum sampai pada proses menafsir yang menyentuh pada sendi-sendi penguatan kemanusiaan. Pada titik ini saya meminta klarifikasi kepada Bapak Zainun.
Berikutnya kepada mas Muqsith Ghazali, melihat judul makalah yang anda bikin “Probelmatika Qur’anik”. Kalau membaca buku Gadamer, Truth and Methods bahasa adalah alat yang merealisasikan keberadaan diri kita, justru problemnya bukan pada problem bahasa Alquran, tapi justru bahasa manusia yang memahami bahasa Alquran. Dengan demikian, meminjam bahasa yang sering digunakan Feurbach dalam bukunya tentang Christianity, dia bilang, bahasa kitab adalah bahasa yang sifatnya ideal, hanya saja bahasa manusia berusaha merealisasikan apa yang ideal itu, tentu dalam sejarah yang bersifat historis. Untuk itu, menutup respon saya terhdap makalah ini, Gadamer bilang, language is the record of our vinitut yang senantiasa berkembang, bahasa adalah perkembangan keterbatasan. Makanya marilah bersama-sama mengembangkan bahasa Alquran menjadi bahasa kita, manusia ini. Terima kasih.
Penyanya ketiga: Nanang Tahqik
Saya sedang melihat bahwa sebenarnya Islam adalah agama sangat liberal, agama sangat bebas, agama yang membuat manusia menjadi hidup dan sebagainya. Dan dari sisi pembacaan terhadap ayat Alquran secara detail tadi baik oleh ustadz Zainun Kamal maupun imam Muqsith Ghazali, sudah luar biasa. Memang hanya saya menginginkan bahwa bagaimana pikiran-pikiran ini juga menyebar di luar forum ini dan menyebar di seluruh masyarakat muslim Indonesia, juga termasuk ke Musailama Ar-Riziq itu, di Tanah Abang itu. Sebab bukan apa-apa, faktor ini luar biasa, dan bagi santri—seperti saya ini, saya santri—senang sekali bahwa pandangan ini, bahkan pun bagi seorang santri universal seperti mas Herdi pun menarik, tadi dia banyak memberikan pikiran-pikiran juga. Hanya saja begini, kebebasan Islam begitu besar, begitu luar biasa, kemudian menjadikan pemahaman itu di Indonesia menjadi sempit, ini harus dicari kenapa akar masalahnya?
Mereka (orang-orang yang menggunakan kekerasan ats nama agama) sebenarnya juga bisa membaca kitab kuning, mereka juga bisa membaca tafsir-tafsir itu. Kalau mereka adalah juga belajar bahasa Arab, bukan hanya keturunan orang Arab, hanya konteks komunalisme, dikungkung oleh masyarakat, dan Islam menjadi tidak bebas. Dalam konteks yang lebih luas—untuk Bapak Zainun—apakah kebebasan beragama ini juga bisa mendorong Israel untuk mencaplok Palestina, atas nama kebebasan beragama? Karena, memang yang satu menyatakan itu tidak benar, yang satu lagi menyatakan negara Isarel itu, ya negaranya di situ. Maka hak dia untuk mengambil seperti itu, dari satu sisi, sebagaimana kebebasan beragama kita ini, karena kita begitu bebas, karena kita begitu terbuka dan sebagainya, tetapi konteks dunia global ini adalah nation state, negara bangsa. Mengapa Islam dahulu begitu bisa ke mana-mana? Karena orang belum mengenal nation state, bahkan pun Yunani, Aleksandria, atau Greek, itu hanya propinsi dua: satu di Syiria, yang satu lagi di Aleksandria, di Mesir. Selebihnya tidak ada. Kemudian Persia pun hanya parokial di Persia saja, bahkan berebut dengan Romawi untuk merebut Syiria, tetapi sekarang semua orang begitu sangat sempit, sehingga Islam ini menjadi sangat sulit untuk dibahasan secara universal.
Karena sudah terkungkung oleh nation state, Islam menjadi sulit, sehingga orang melihat ras, melihat kulit, jangan-jangan sebenarnya Islam tidak mampu melawan nation state? Jangan-jangan Islam memang mampu untuk melawan Arab, ashabiyah? Tapi di sisi lain, Islam juga sanggup membuat Spanyol, muslim di Barat, tetapi berhenti menyeberang ke Perancis, walaupun sedikit masuk ke Italia, ke Sisilia, tapi malah menjadi mafia semua. Problem global ini sebenarnya membuat, katakanlah seperti fenomena Habib Riziq, katakanlah fenomena seperti PKS, jadi mereka juga melawan sesuatu yang mereka imajinasikan, mereka berimajinasi bahwa kita lawannya zionisme dalam bentuk Gusdur, Cak Nur. Mereka juga berimajinasi Israel sedang menindas Palestina. Nah, imajinasi ini luar biasa, tetapi Islam tidak mengenal itu, Islam itu tidak dalam imajinasi. Maka kalau dalam Kristen itu luar biasa kuat imajinasinya. Jadi, Kristen itu mengenal teologinya adalah teologi bahasa, kalau Islam itu teolog praktis. Apa sesuatu yang berguna? Apa sesuatu yang bermenfaat? Lakukan, lakukan, seperti itu.
Misalnya ketika sahabat bertanya kepada Rasul: ya Rasul, apakah ada nenek-nenek di surga? Rasul dengan lelucon kemudian menutup bahwa kamu jangan bermain imajinasi, sebagaimana juga Fazlur Rahman mengemukakan, itu zaman Rasul tidak ada tarekat, tidak ada sufi. Rasul itu tarekat, tapi juga dia berperang. Bagaimana Islam dengan kebebasan-kebebasan masa lalu itu, berhadapan dengan kekinian yang sangat mengglobal? Dihadapkan dengan sesuatu yang begitu banyak sekali maksudnya. Oleh karena itu, kita perlu pertemuan seperti ini, dengan para ahli, dengan orang-orang yang bisa berbahasa Arab ini, dan dalam istilah Gunawan Muhammad itu, ada keimanan kita yang selalu terselamatkan, bila kita bertemu dengan orang-orang yang hakim dan arif seperti ini. Jadi kalau ada istilah al-amrun bi syai’i amrun bi wa saili, bagaimana mengembalikan Islam bukan dalam pengertian, hanya mengembalikan di dasarnya, tetapi wa sail, wa sail, bagaimana kita juga membawa pada dunia yang serba seperti ini. Terima kasih.
Assalamu’alaikum.
Penyanya keempat: Juftazani
Assalamu’alaiku Wr. Wb.
Namanya saya Juftazani. Mengenai pemurtadan ini, yang disampaikan Mr Zainun Kamal, menurut saya masalah ini bukan dari intern Islam, tapi dari ekstern Islam. Misalnya—maaf kalau ada yang beragama Nasrani—boleh mendirikan gereja selama sampai 60 orang, ada yang 100 orang, itu masih berembuk. Jadi, selama ini masalah pemungutan yang terjadi dan riil pada umat Islam saat ini, itu bukan kerelaan seorang muslim masuk Kristen, atau masuk Budha, masuk Hindu, tetapi ada iming-iming dari luar, mengajak masuk agama mereka. Saya pernah lama di Jogja, ada sebuah certia: seseorang itu mula-mula dikasih beras 1 kilo gram satu bulan, diberi uang 60 ribu. Dia tidak tahu apa maksudnya? Sebagai orang Jawa, karena dia hutang budinya terlalu tinggi, setelah setahun, Bapa silahkan ke kuil sana, atau ke gereja sana. Saya kira kalau orang Islam mau seperti itu, lebih banyak yang masuk Islam daripada masuk ke agama lain. Itu yang pertama. Jadi, saya ingin mempertajam bahwa masalah murtad ini sebenarnya riilnya di mana saat ini? Sementara yang ini, masih konteks lama.
Yang kedua, kepada Bapak Muqsith Ghazali. Saya agak sulit mengadili orang-orang seperti Habib Riziq dalam konteks rasio, ayat-ayal Alquran atau hadits. Saya pernah banyak mendapatkan cerita dari teman bahwa satu kelompok yang jika saya masuk masjid, atau rumah dia, setelah saya pulang dilap tempat duduk saya, atau sajadah itu dicuci lagi. Jadi berarti, mereka menganggap selain mereka itu kafir, tidak masuk surga. Konteks mereka itu di mana? Atau seperti Habib Riziq itu—kalau Habib Riziq menurut saya itu sisa-sisa Orde Baru. Jadi kalau dari segi Islam mereka itu barangkali Khawarij, mungkin itu sisa-sisa Orde Baru di mana mereka Bapaknya presiden Suharto sendiri begitu, menanamkan hal semacam ini, sehingga masih tersisa sampai sekarang. Saya sendiri terus terang, di mana orang tua saya berasal dari tarikat Naqsabandiah, namun kemudian saya masuk tarikat Idrisiah. Di situ dikatakan bahwa kita itu belum bisa masuk surga, produk surga Allah itu mahal, kita tidak bisa mencapai surga itu, kecuali Allah ridha pada saya, sampai sekarang. Jadi saya begini ini, bukan masalah mandang-memandang, orang-orang kadang-kadang, Pa Juftazani, hormat, assalamualaikum, seolah-olah saya seperti syeikh, saya kira setan juga bisa memakai pakaian begini. Saya inginnya, memakai begini, anggap biasa saja, saya hanya melakukan sunnah Rasul, keinginan saya. Tapi orang menganggap luar biasa, Rasul, dan lain sebagainya, padahal saya juga banyak dosa.
Saya ingin bertanya kepada mas Ghazali tentang bagaimana mengadili orang semacam ini, dengan alasan-alasan logika, Alquran, dan hadits? Kalau selama ini saya barangkali masa bodoh saja, atau kalau ketemu juga tidak komprehensif alasan-alasan yang saya kemukakan. Saya kira cukup sekian, terima kasih.
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Moderator: Sunaryo
Saya kira Bapak Zainun Kamal dipersilahkan untuk menjawab lebih dulu.
Jawaban
Pembicara pertama: Dr. Zainun Kamal
Terima kasih. Tentang pendirian gereja, saya kira umat Islam kurang memahami juga apa yang terjadi di kalangan Kristen atau Nasrani. Misalnya di sebuah perkomplekan, kemudian mereka mengadakan kebaktian itu di rumah, kenapa mengadakan di rumah? Karena tidak boleh mendirikan gereja. Orang Kristen, karena dia terdiri dari berbagai macam-macam sekte, kalau kelompok A misalnya, dia tidak bisa untuk melakukan kebaktian di gereja B. Walaupun tempatnya jauh dia akan datang ke sana, di mana saja. Misalnya dia gereja Batak, walaupun ada gereja lain yang lebih dekat, dia akan tetap datang ke gereja Batak kendati lebih jauh. Karena sulitnya membuat gereja, mereka mengadakan kebaktian di perumahan. Itu kita harus sadari juga.
Kemudian, kalau dikatakan tadi, mereka (orang non Islam) memberikan iming-iming, saya kira itu suatu kewajiban mereka, kita harus berterima kasih. Di saat umat kita miskin, tidak mampu kita membantunya, dan dibantu orang lain, kenapa kita tidak menerima? Di bulan puasa kemarin waktu di Bekasi itu, mereka adakan bazar, kemudian mereka jual murah segalanya. Kenapa kita tidak terima? Seharusnya kita membeli, dan dia membantu kita. Kita hanya su’udzan, kenapa kita tidak membantu umat kita yang lemah? Ada cerita dari Bandung begini: ada seorang ibu yang mempunyai dua orang anak. Ibu ini janda, mempunyai dua anak, yang satu di Aliyah yang satu di SMP sekolahnya. Karena sang ibu ini janda, tidak mampu membiayai anaknya sekolah, akhirnya ibu ini terpaksa menjual diri untuk membiyai anaknya. Akhirnya orang-orang gereja mengetahui, kenapa ibu ini berbuat begitu? Diberikan bantuan kepada ibu tadi untuk membiayai anaknya sekolah, akhirnya kemudian si ibu tadi tertari pada gereja, dan dia masuk Katolik. Setelah masuk Katolik kita ribut, kenapa orang itu diiming-imingi? Persoalannya, kalau kita tanyakan, mana yang lebih baik menjadi seorang wanita pelacur atau manusia baik? Sedangkan substansi kita manusia baik, dan dia sudah diselamatkan oleh orang Kristen. Waktu dia miskin kita biarkan, kita tidak membantu, dibantu oleh orang lain kita marah. Kalau kita tidak sepakat, kenapa kita tidak membantu mereka? Karena itu, eksistensi keberagamaan sesungguhnya adalah kebaikan itu sendiri, pemberian kita itu. Saya melihatnya dari sana.
Kemudian menjawab Bapak Nanang tentang Israel, mungkin kalau ada teman-teman PKS saya minta maaf di sini ya, karena memang kalau dilihat dalam kitab Perjanjian Lama waktu Ibrahim berada di daerah Yerussalem, itu memang Tuhan sudah menjanjikan kepada anak cucunya, ini daerah untuk anak cucu kamu, setelah Ibrahim hijrah dari Kan’an ke Yerussalem. Kemudian Ibrahim pergi ke Mesir, kembali lagi ke Yerussalem dan meninggal di sana. Kemudian anak cucunya, misalnya Ya’qub berada di Mesir, sampai ke nabi Musa, kemudian eksodus tujuannya adalah ke Israel, Yerussalem, memang tujuan itu daerah mereka. Kemudian ada Daud, ada Sulaiman, dibangunlah di sana, itu perkampungan orang Yahudi memang, sampai kepada Kristen, dan kemudian dia terusir. Islam masuk, dan wilayah itu diambil oleh Umar. Saya berpendapat, itu memang daerah sucinya orang Yahudi, tanah sucinya, kenapa kita harus kita rebut? Tanah suci kita Mekkah, Madinah sudah ada, orang Kristen sudah ada Vatikan, sudah ada Iskandariah. Itu memang hak mereka. Islam sebagai pendatang, itu sebabnya mereka mengatakan, “tidak ada perdamaian tanpa tanah.” Itu memang tanah mereka. Kemudian, persoalannya diangkat oleh Arab atas nama agama, itu hanya untuk menarik simpati kita saja. Ini perang agama Islam dan Yahudi, tidak, ini perang tanah sesungguhnya. Bagi saya tidak ada masalahnya, Arab saja yang mengangkat atas nama agama itu, kemudian didukung pula oleh PKS di sini. Itu aneh. Di waktu Palestina di embargo oleh Amerika dan Eropa—coba anda lihat kemarin ini—PKS turun ke jalan-jalan mengumpulkan dana, kenapa sekarang ketika peristiwa Jogja tidak turun ke jalan untuk memungut dana? Jadi hanya sentimen agama saja yang dipupuk, saya kira begitu.
Saya menganggap agama Islam ini sudah salah semenjak dari nabi Muhammad dulu, jadi salahnya Islam ini semenjak dari nabi Muhammad. Di mana? Coba lihat waktu Islam, nabi kita menerima wahyu di kota Mekah, sampai 13 tahun dia menyebarkan Islam, tidak ada kekuasaan di tangan dia. Orang menganut Islam, karena keimanan itu bukan persoalan paksaan, dan itu tidak bisa dipaksa. Dan itu 13 tahun, coba bayangkan itu, dan lebih separuh Alquran turun di kota Mekah. Waktu pindah ke Madinah, ditawarkan oleh Autazadra untuk menjadi kepala negara, ini kepala negara bukan ditunjuk oleh Tuhan. Nabi yang ditunjuk sebagai kepala negara hanya Daud dan Sulaiman, lainnya tidak. Ini Muhammad ditunjuk oleh Autazadra, diterima. Itu persoalannya, karena itu bercampurlah antara kekuasaan politik dan agama, yang sesungguhnya kekuasan politik itu bukan tugas agama dari nabi Muhammad. Karena itu pula, bangkitalah etnis Quraishnya di sana. Itu sebabnya, setelah beliau wafat lebih rusak lagi, muncul Abu Bakar, al aimatu min quraish, yang berhak menjadi imam adalah quraish, itu berbahaya betul, etnis Quraish.
Yang pada mulanya Islam agama kemanusiaan, sekarang ini menjadi agama para Quraish itu. Kemudian ditunjuk Umar, ditunjuk Utsman, ditujuk Ali, lanjut kepada Mu’awiyah, lanjut kepada Abbasyiah, itu semunya Quraish. Islam sudah rusak sejak dari sana. Karena itu saya kira, Islam itu harus kita bebaskan dari persoalan politik. Saya kira begitu persoalannya. Itu sebabnya, mungkin dulu apa yang disarankan Cak Nur—sekarang cukup banyak yang menyuarakan—partai politik no, itu harus konsisten kita perjuangkan. Karena Islam tidak perlu diperjuangkan melalui politik, kalau Islam diperjuangkan melalui politik, Islam akan rusak ke depan. Karena politik adalah penuh dengan kepentingan-kepentingan.
Tanggapan penanya: Juftazani
Bapak Zainun, kalau dijadikan satu fokus bahasan, ini akan panjang. Karena menurut saya Islam dan negara itu tidak bisa dipisah.
Jawaban pembicara pertama: Dr. Zainun Kamal
Seharusnya dipisah. Itu kekeliruannya saya bilang tadi, karena sudah munculnya kekuasaan. Sedangkan Islam bukan agama kekuasaan, di sini rusaknya Islam itu, semenjak dari Abu Bakar, dan Abu Bakar itu Quraish. Sesungguhnya di Madinah itu ada Abu Ubaidah itu yang hebat, tapi karena dominasi Quraish kemudian Abu Bakar menunjuk Umar, Umar tunjuk Utsman, itu juga Quraish, tunjuk Ali, itu Quraish semua. Perbedaannya coba anda lihat, dengan Mu’awiyah itu perbedaan bani. Tetapi kekuatan orang lain tidak berdaya, Madinah tidak berdaya. Pilihannya hanya jatuh pada bani Hasyim atau bani Mu’awiyah, dan itu Quraish semua. Karena itu dominasi Quraish sangat dominan, itu sebabnya tadi saya bilang, saya mengkritik Abu Bakar itu, karena itu. Daerah-daerah itu semua dikuasi oleh Quraish, orang-orang Arab merasa ketakutan, dan mereka masuk Islam akhirnya. Sebenarnya masuk Islam itu bukan karena kehendak dia, tapi karena paksaan tadi itu.
Itu sebabnya mereka kemudian, setelah nabi wafat kembali pada agama mereka. Dan merasa lebih kuat—seperti Musailamah tadi—ini daerah kita, daerah kaya, kenapa dikuasai oleh Quraish? Karena itu mereka murtad. Yang mengistilahkan murtad itu, adalah kelompok-kelompok Abu Bakar, Quraish ini. Dan, karena Quraish diidentikan dengan Islam, ini kekeliurannya. Musailamah dituduh sebagai al-kadzzab, itu sama saja Karl Marx dituduh ateis oleh orang gereja, yang mengatakan ateis itu orang gereja. Mungkin dia secara fitrahnya bertuhan murni, ia benar. Karena itu, Islam harus dibebaskandari itu, atau semua agama harus dibebasakan dari itu. Saya yakin, karena memang pesan dari Alquran juga, tidak ada manusia yang tidak bertuhan, asyhaduhum ala anfusihim ala tubrubukum qalu bala syahidna, ternyata ketuhanan itu sudah ditanamkan oleh Tuhan kepada manusia. Hanya saja Tuhan yang universal, bagaimana untuk diungkapkan dengan bahasa, berbedalah masing-masing agama. Mungkin orang Kristen dengan orang trinitasnya, tapi trinitas itu dibantah juga oleh Montgemry Watt. Trinitas itu tidak sama dengan tri teis, ini umat Islam yang keliru memahami katanya, dianggap tiga person tuhan, ya tidak. Tapi dia sesungguhnya tauhid murni, monoteis, termasuk Yahudi juga monoteis. Menurut pendapat saya semua agama itu monoteis. Karena itu kembalikanlah agama itu kepada fitrahnya.
Kalau dikatakan surga Tuhan itu sulit, tidak. Kita optimis masuk surga, saya optimis betul itu. Begitu saya kira. Karena itu Islam Madinah berbeda dengan Islam Mekah. Jadi, kita harus mengembalikan kepada Islam Mekah, dan masalah teologi, masalah keimanan itu persoalan Mekah. Hukum-hukum itu persoalan Madinah, karena itu saya sangat sepakat dengan Muqsith tadi, Alquran itu kita lihat—bahkan kalau saya menyatakan, mungkin agak berbeda sedikit dengan Muqsith—bukan hanya nabi Muhammad yang disakralkan, disamakan dengan Yesus Kristus, kita bahkan juga mensakralkan Alquran. Itu keliru. Hal itu terjadi pada masa Syafi’ie, kemudian ditambah Asy’ari dan al-Ghazali yang mensakralkan Alquran, dianggap dia sebagai kalam yang abadi. Padahal Mu’tazilah sudah mengatakan, Alquran itu mahluk, itu sifatnya kemanusiaan. Kalau Alquran itu bersifat ketuhanan, kita tidak bisa menjangkau sama sekali, itu hanya bisa dijangkau oleh orang-orang seperti al-Ghazali. Dia pesimis dengan ilmu dunia masuk ke alam sufi, karena itu ilmu ketuhanan didapat dengan sufi, tidak. Alquran itu bersifat antropomorpis, artinya bersifat kemanusiaan, jadi tidak bersifat ilahi. Itu sebabnya tadi saya katakan tidak ada pahala untuk menghafalnya.
Mas Nanang, tadi saya jelaskan. Sesungguhnya Islam itu jangan dijadikan agama etnis, karena diidentikan antara Quraish dengan Islam menjadi agama. Sesungguhnya Islam itu—kalau dalam istilah Cak Nur—agama yang universal, sangat bersahaja. Karena itu, semuanya sesungguhnya Islam. Kita harus mengakui juga, orang Yahudi itu adalah orang muslim, karena Alquran mengatakan begitu, orang-orang Nasrani itu muslim, katakanlah kalau kita adalah Islam yang sempurna, sedangkan mereka menuju proses kesempurnaan. Mereka itu sebagai saudara-saudara kita. Kita ini sebagai seorang Bapak yang menghargai anak-anaknya. Bagi saya tidak ada masalah perbedaan itu sama sekali. Di dalam Islam itu perbedaan sangat banyak sekali, al-hilal wan nihal, farqu bainal firaq, maqalal isma, itu ratusan aliran-aliran dalam Islam berkembang, bahkan ada yang lebih radikal lagi, “nabi itu tidak perlu,” ada itu. Itu berkembang di dalam Islam.
Di saat ada pemikiran-pemikiran kreatif, diharamkan oleh Majelis Ulama. Islam sekarang di Indonesia ini seperti gereja di abad pertengahan. Jadi saya anggap, Majelis Ulama itu pendeta-pendeta Islam, berkuasa atas nama agama, kemudian setiap yang berbeda dengan dia, termasuk Ahmadiyah dan sebagainya dianggap sesat. Lia Aminuddin disidangkan oleh mereka itu, memilukan betul itu, malu betul itu. Apalagi persoalan Undang-Undang APP dibantu oleh Majelis Ulama, dan para intelektual juga turun, itu bagaimana itu? Saya tidak habis pikir. Islam ini benar-benar menjadi otoriter. Padahal Islam itu menjadi rahmatan lil alamin dan seharusnya begitu. Kapan Islam ini menjadi rahmatan? Kalau dia kembali pada fitrahnya, agama yang bersifat alami tadi. Karena itu, kita tidak mencari perbedaannya.
Sedikit lagi tentang pertanyaan Saudara Halim. Kalau anda baca banyak tentan Nasr Hamid Abu Zaid, saya kira itu sudah cukup bagus. Kalau menurut saya, persoalan di hadapan kita ini banyak sekali, dan seolah-olah kita tidak mampu menghadapi, dan tidak mampu menghadapi tantangan ke depan, kemudian kita lari ke masa lalu kita. Kemudian kita bernostalgia dengan masa lalu—masa lalu yang terbaik itu adalah pada masa nabi—itu sebabnya ada usaha penerapan syariah Islam itu, yang ada seperti masa nabi dulu. Itu zaman yang terbaik, setelah zaman terbaik nabi itu, adalah masa sahabat, kemudian masa tabi’in. Kalau begitu, kita melihat pemahaman agama kita selama ini, semenjak dari nabi ke sini, semakin lama semakin jelek. Semakin lama semakin jelek, karena itu datanglah para sufi. Apa kata para sufi? Dia pesimis melihat dunia, tinggalkan dunia, dan tunggulah turunnya al-mahdi, ratu adil. Itu karena kekecewaan para sufi melihat dunia. Kalau saya mengatakan, dunia ini semakin lama semakin baik, karena itu kita pakai filsafat Mu’tazilah, assalhu huwal aslah, dunia ini semakin lama semakin baik. Saya sangat bermasalah dengan al-Ghazali itu, kenapa? Semenjak menulis buku, Ihya Ulumuddin, menghidupkan ilmu-ilmu agama, kemudian ini dikembangkandi Universitas Nizam Al-Muluk, di Bagdad—itu mata kuliah wajib kalau fiqihnya fiqih Syafi’i—saya paling banyak tidak sepakat dengan al-Ghazali ini.
Saya kira Syafi’i tidak menghargai akal, dia tidak menghargai akal, karena dia menentang imam Abu Hanifah. Abu Hanifah itu aliran yang sangat rasional, kemudian datang imam Syafi’i, yang persoalannya kepada teks tadi. Karena itu Islam, kata imam Syafi’i sudah menyelesaikan semua masalah, Alquran dan hadits. Apa yang sudah? Apa yang sedang? Apa yang akan? Itu sudah diselesaikan oleh Alquran, kembali kepada teks. Kalau tidak ada di dalam teks bagaimana? Kata Syafi’i, sesungguhnya secara implisit sudah ada di dalam teks, tugas akal kita hanya menggali hukum-hukum yang sudah ada pada teks. Inilah yang disebut qiyas. Qiyas itu ada hukum di dalam Alquran, kemudian yang di luar ini ditaik dari sana. Secara implisit semua hukum di dunia ini sudah ada di dalam Alquran, karena itu kembalilah kepada budaya teks tadi. Teks Alquran, teks hadits, teks ulama, karena itu budaya teks berkembang terus. Kareka itu, akal hanya dimanfaatkan untuk menggali teks. Itu sebabnya, al-Ghazali tidak percaya adanya akal rasional, atau para filusuf dan segalanya itu. Karena itu ihya ulumuddin, menghidupkan ilmu agama. Kalau saya sekarang ini—dengan mengutip Hasan Hanafi—dari ihya ulumuddin berpindah ke ihya ulumuddunya, menghidupkan ilmu-ilmu dunia. Kenapa? Karena kemunduran dunia Islam terjadi setelah abad ke-12 pada imam Ghazali. Sains modern pindah ke dunia Islam bagian Barat, kemudian pindah ke dunia Barat, dan dunia Barat inilah yang mengembangkan.
Coba anda bayangkan, Irak dibombardir oleh Amerika, kiai-kiai kita, ulama-ulama kita di sini melakukan istghasah, apa artinya itu? Coba anda bayangkan, bisa tidak bom itu ditahan dengan doa istighasah itu? Bagaimana kiai-kiai itu? Karena menurut pendapat saya, doa dan dzikir tidak ada manfaatnya. Kita harus menghidupkan ulumuddunya. Itu sebabnya, saya secara terus terang mendukung apa yang dikembangkan oleh Iran sekarang. Kalau tidak, kita akan didekti. Dengan adanya nuklir yang dikembangkan Iran ini akan menjadi balance. Kalau terjadi pristiwa ini, pristiwa itu, kita berdoa, apa artinya? Ia tidak bisa dong! Saya kira kelompok-kelompok ini sangat berkuasa sekali. Coba lihat film-film di TV itu, kuasa Ilahi, dan sebagainya, itu merusak betul, merusak Islam ke depan.
Jawaban pembicara kedua: Muqsith Ghazali
Sebagian sudah dijelaskan oleh Bapak Zainun. Saya ingin merespon pertama, pertanyaan dari Halim. Pada mulanya Alquran itu sebuah bahasa lisan, bukan bahasa tulisan. Oleh karena itu, ketika bahasa lisan ditranskrip menjadi bahasa tulis, resonansinya saya kira akan berbeda. Di situlah akan bermula tentang perebutan makna sebuah teks. Pada zaman nabi tidak ada perebutan makna di kalang para sahabat. Karena itu murni adalah bahasa lisan yang hidup di dalam masyarakat, itu adalah wacana yang kongkrit ada di dalam masyarakat. Perdebatan tentang teks itu muncul setelah nabi Muhammad meninggal, persisnya adalah ketika Abu Bakar As-Shiddiq sebagai khalifah, kemudian Umar bin Khattab menyatakan kepada Fatimah, apakah anda Fatimah lupa terhadap pernyataan, atau hadits dari nabi Muhammad, al aimmatu min quraishin? Ini adalah teks hadits yang anda harus tunduk terhdap Bapakmu sendiri. Kemudian kata Fatimah, apakah anda ingin betul merujuk kepada hadits ata tidak? Lalu Fatimah mengeluarkan sebuah hadits lain. Fatimah menyatakan, Rasulullah pernah bersabda, man adzani faqad taballah, barang siapa yang menyakiti saya sama dengan menyakiti Allah, waman adza fatimah faqad adzani, barang siapa yang menyakiti Fatimah seperti menyakiti saya. Dan hari ini kata Fatimah, saya tidak rela kepemimpinan dipegang oleh Abu Bakar As-Shiddiq. Inilah bermula peperangan antar teks, antar tafsir, karena ada persoalan-persoalan politik seperti itu. Akhirnya nanti, semakin tidak karu-karuan persoalan perebutan pemaknaan terhadap teks.
Kalau di dalam fiqih itu cukup populer, ada seorang sahabat bersumpah, tidak akan menyetubuhi istirnya selama satu heid, wallahi ma’atau kahinan, demi Allah saya tidak akan menyetubuhimu selama satu heid. Datang kepada para sahabat, para sahabat berbeda-beda jawabannya. Datang ke Abu Bakar, berarti anda tidak boleh mengumpuli istrimu selama-lamanya, dengan merujuk kepada ayat Alquran, hal ata ‘alal insanu hinun minaddahri, berarti selama-lamanya. Bingung dia, karena selama-lamanya tidak bisa mengumpuli istrinya. Datang kepada Umar bin Khattab, dijawab oleh dia 40 tahun—lama juga—merujuk juga kepada sebuah ayat di dalam Alquran, tu’ti ukulaha kulla hinin, itu cerita tentang pohon kurma yang buahnya bagus bila 40 tahun. Datang kepada Utsman bin Affan, dijawab satu tahun, masih lama juga. Akhirnya dateng kepada Ali bin Abi Thalib, kata Ali bin Abi Thalib cukup sehari semalam. Dasarnya ayat Alquran, hinakum sunah wahina tusbihun. Akhirnya Alquran itu menjadi domain perebutan banyak sekali model-model kepentingan orang, dia bingung sendiri. Akhirnya dijawab oleh Ali, kalau orang seperti Anda jangan ikut medelnya tafsir Abu Bakar, ikut tafsir saya. Setelah satu hari satu malam, baru bisa mengumpuli istrinya lagi.
Jadi, persoalannya adalah persoalan perebutan makna terhadap teks munculnya di situ. Karena kita tidak pernah tahu, makna sebuah teks itu ada di mana. Nasr Hamid Abu Zayd dalam al-Ittijabul akli fil tafsir halaman 78, kalau buku saya, dia menyatakan sekurang-kurangnya ada empat pandangan tentang makna itu berada di mana. Yang pertama, kata dia makna berada dalam diri sang pengarang, kalau Alquran berarti di dalam diri Tuhan. Kita tidak bisa verifikasi terhadap makna yang dikehendaki oleh Tuhan. Yang kedua menyatakan makna itu berada di dalam diri sang pembaca, sehingga orang menjadi sangat bebas untuk menafsirkan ayat-ayat Alquran. Ini biasanya diikuti oleh Muqatil bin Sulaiman. Yang ketiga kata dia, makna itu berada di dalam teks itu sendiri, kemudian dimodifikasi oleh Tuhan. Seperti lafadz sholat, sholat itu makna aslinya adalah berdoa. Kemudian dirubah oleh Tuhan menjadi tatacara ibadah ritual seperti di dalam Islam. Yang keempat menyatakan bahwa makna itu berada di dalam diri Tuhan sendiri, kemudian dimodifikasi oleh manusia dengan akalnya. Jadi, menjadi susah sekali tentang makna itu berada di mana. Orang yang menyatakan bahwa sebuah teks berada di dalam teks itu sendiri, berada di dalam bahasa itu sendiri, cenderung mendekatinya dengan pendekatan kebahasaan. Inilah pendekatan yang sangat lama diikuti oleh sebagian besar umat Islam, dalam bentuk ushul fiqih, kaidah-kaidah penafsiran, di dalam Islam itu pendekatannya adalah kebahsaan, Jam’ul Jawami’ itu karangan Al-Subki itu, 352 halaman berbicara tentang pentingnya mendekati Alquran dari sudut kebahasaan. Al-nya al apa? Lafad am, mukhlas, muqayyad, dan sebagainya, saya kira kalau pesantren biasanya tahu betul tentang itu.
Jadi di situ bermula, menjadi sangat rumit. Akhirnya Alquran, karena hanya dimungkinkan dipahami oleh orang yang mengerti bahasa, ini persyarata seorang mujtahid seperti itu, harus menguasai bahasa Arab, tidak mudah untuk dijamah oleh kalangan bawah. Alquran menjadi sangat elitis dan tidak populis seperti pada zaman nabi. Kalau pada zaman nabi, seluruh orang bisa mengakses langsung kepada Alquran, tapi sekarang harus melalui makelar yang bernama Majelis Ulama Indonesia, itu yang menjadi makelarnya, dan agama akhirnya menjadi tersandra di kalangan aparatur agama sendiri, di kalangan para kiai dan lain sebagainya. Padahal—ini sambil menjawab mas Dadang tadi—pada mulanya agama pengalaman yang personal, individual sifatnya. Tiba-tiba orang percaya sedikit-demi sedikit terhadap kejadian yang menimpa nabi Muhammad di gua Hira’, itu pengalaman yang sangat privat, yang sangat personal. Hanya karena nabi Muhammad menggunakan tangan kekuasaan, yaitu politik kekuasaan, akhirnya sebarannya menjadi sangat pesat, ketimbang pengalaman Yesus Kristus. Saya kira nabi Muhammad belajar dari Yesus Kristus, karena bermain logo tidak menggunakan tangan kekuasaan sehingga sampai meninggal hanya 12 pengikutnya yang setiap kepada dia. Kata nabi mungkin—kalau saya bisa dramatisasi—ini tidak bisa diulangi lagi. Agama hanya mungkin dijalankan dengan tangan kekuasaan, tentu itu tidak berdasarkan wahyu, itu adalah imprivisasu nabi Muhammad sendiri.
Said al-Asmawi di dalam bukunya al-Islam al-siyasi menyatakan, halaman ke-3, aradallahu al-islamadinan wa arada bihinnas al-yakuna siyasatan, (Allah itu sebenarnya menghendaki Islam sebagai agama per se, tapi manusia menghendakinya menjadi politik, menjadi kekuasaan). Itu faktanya adalah nabi Muhammad menjadi kepala negara, persoalannya bagaimana cara kita membedakan dia sebagai kepala negara? Menurut saya umat Islam tidak punya hak untuk menaati kebijakan-kebijakan politik yang pernah ditempuh oleh nabi Muhammad. Pertanyaan Ali Abd Raziq di dalam bukunya Al-islam wa Ushulul Hukm—ini kaya jualan buku—dia menyatakan, hal kana ta’sisun nabi li daulatin siyasia juz’an min risalatihi hamlah (apakah tindakan politik nabi di Madinah menjadi bagian dari risalahnya atau tidak?). Kata Ali Abd Raziq, tidak. Karena itu tidak punya kewajiban bagi umat Islam untuk menaatinya.
Belakangan ada partai di Indonesia yang ingin menghidupkan Piagam Madinah, setelah gagal menghidupkan Piagam Jakarta. Mereka tidak tahu bahwa, pertama Piagama Madinah itu hanya dipakai untuk mengatur tidak lebih dari 500 penduduk di Madinah, itu cukup untuk Depok kira-kira. Tapi dalam jangka waktu dua tahun, Piagam Madinah telah gagal, padahal nabi Muhammad menjadi kepala negara, tidak efektif, akhirnya bubar dengan sendirinya. Bagaimana Piagama Madinah dipakai untuk mengatur sekian banyak manusia di Indonesia, dua ratus sepuluh juta, dengan keanekaragaman etnisnya, agamanya, budayanya, asal-usulnya dan sebagainya. Karena itu sangat tidak memadahi. Piagam Madinah tidak pernah efektif untuk mengatur kerukunan umat beragama terjamin di Madinah, jadi gagal sejak mulai pertama sebenarnya ketika Piagam Madinah itu ditetapkan. Oleh karena itu, kerukunan beragama, atau pluralisme agama hampir tidak pernah punya sejarah sukses dalam seluruh agama-agama, kecuali mungkin yang paling menarik adalah kasus di Spanyol. Di lainnya saya kira gagal semua. Dulu di India misalnya ada uidatul adyan, al-akbar yang mau mempersatukan seluruh agama-agama ternyata gagal. Akhirnya terpecah, pecah, India Pakistan menjadi lepas, Banglades lepas, dan di situ tidak pernah ada cerita tentang pluralisme agama.
Dulu Jakarta Post pernah memberitakan sebuah kisah, ada dua puluh lima ribu umat Islam yang pernah dibantai di India, caranya adalah ditelanjangi, kemudian dilihat, apakah sudah dihitan atau tidak? Kalau sudah dihitan berarti Islam, penggal. Kerajaan Aceh juga pernah melakukan hal yang serupa terhadap dua tentara Belanda dengan cara seperti itu, dihitan atau tidak? Kalau tidak dihintan, penggal. Di Padang, di Sumatera Barat misalnya, ini perdebatan antara kelompok ulama yang tradisional, yang konservatif dengan yang liberal. Ada cerita pada abad ke-16 seorang datuk yang bernama datuk Nan Renceh yang pernah mengharamkan perempuan yang memakai sirih itu (minah), dibunuh karena dianggap bertentangan dengan syariat Islam. Sehingga pada akhirnya kemenangan berada di kalangan ulama yang konservatif.
Kalau kita membaca sejarah, karena kekuatan berada di kelompok adat, ini menyebabkan khatib al-Minangkabawi tidak pernah pulang ke Indonesia. Agus Salim juga susah sekali, bertarung di sana, di Aceh juga begitu. Pertarungan antara—ini sekaligus menjawab pertanyaan Bapak Nanang tentang Islam Indonesia—Hamzah Fansuri melawan Nurudin Ar-Raniri. Itu sebenarnya kemenangan kelompok yang sekarang formalisasi syariat Islam, kemengan kelompok konservatif di tangan kelompok yang liberal. Hamzah Fansuri itu adalah orang pribumi, dia sangat liberal, kemudian datanglah Nurudin ar-Raniri membawa tentang fiqih-fiqih yang legal formalistik, dan sampai sekarang pengaruh Nurudin Ar-Raniri jauh lebih kuat ketimbang Hamzah Fanzuri. Saya tidak tahu bagaiaman bisa terjadi seperti itu di Aceh.
Tanggapan penanya: Nanang Tahqik
Mengapa Rasulullah sebenarnya berfikir kekuasaan bisa efektif, karena di manapun pasti ada kekuasaan. Ada rakyat ada penguasa, ada pemerintahan dan sebagainya. Nah, sejarah sebelum Rasulullah, adalah Romawi, Persia, Yunani, dan seterusnya sampai ke Mesir, jauh di sana selalu ada pemaksaan agama. Maka Rasulullah menjadikan dirinya sebagai contoh, lewat Piagam Madinah dia berusaha dan itu berhasil. Justru inilah ada kekuasaan di mana Yahudi, muslim bisa hidup, bahkan pun mereka pagan, para penyembah berhala. Nah, kalaupun kemudian tidak berhasil karena peperangan, antara Mekah—sama-sama di Hijaz—dan Madinah, itulah kasusnya karena ada pemaksaan. Bahwa jika Rasulullah itu dulu tidak diusir dari Mekah, maka menjadi lain, menjadi lain sekali, bahwa Muhammad tidak akan menjadi kepala negara, tetapi dia bisa hidup di situ, dan tidak akan terjadi perang. Persoalannya adalah dia tidak boleh berdakwah, sementara Muhammad membolehkan orang Quraish berdakwah. Kalau seandainya orang Quraish membolehkan dia berdakwah, kemudian hidup berdampingan, maka dia tidak perlu hijrah. Karena dia perlu hijrah dan sebagainya, maka muncullah peperangan, tetapi itu efektif. Satu-satunya di dunia ini tidak ada kekuasaan atas nama agama bisa menerima pluralitas agama, hanya nabi Muhammad.
Kemudian muncul pada saatnya adalah di masa Spanyol, lalu di masa Akbar, Akbar di masa Safawi, kemudian hancur, dihancurkan oleh Aurankzeb. Aurankzeb bersifat komunalisme, Akbar bersikap sangat pluralis dan bahkan Akbar beristrikan tiga orang Hindu, selebihnya selir semua, bahkan dia mencampurkan antara penyembahan Islam dan Hindu. Istrinya pada saat membawa Hiu dan sebagainya, dicampur dengan Islam pada saat dia sholat. Seperti itu, itu adalah Akbar.
Inilah salah satu contoh bahwa Muhammad memberikan satu kesegaran-kesegaran tentang problema kekuasaan dan rakyat. Tetapi Muhammad adalah orang yang bisa dipercaya, berbeda dari, siapa tadi, Makelar Ulama Indonesia itu. Nabi Muhammad itu jangankan oleh orang Islam, oleh musuhnya saja dipercaya untuk memegang barang-barangnya. Nabi Muhammad itu dimusuhi oleh Abu Lahab, Abu Jahal, tetapi mereka menitipkan barang-barangnya kepada nabi Muhammad, begitu nabi Muhammad mau kabur, “ini tolong kasih nanti ke Abu Jahal, Abu Lahab, ini barang-barangnya yang dititip ke saya,” begitu. Sekarang faktornya adalah tidak ada manusia sekualitas itu, yang bisa dipercaya, seperti itu. Sehingga apapun yang dilakukan oleh Muhammad tidak ada vested interest, maksudanya hanya untuk kemanusiaan, untuk maslahat bersama. Oleh karenanya, pembacaan kita terhadap masanya adalah, pembacaan bagaimana Muhammad sebenarnya menjawab tantangan, berantitesis terhadap kekuasan-kekuasan sebelumnya. Itu yang kemudian diangkat oleh para sejarawan. Terima kasih
Jawaban pembicara kedua: Muqsith Ghazali
Satu hal yang tidak bisa dilupakan adalah ada dua orang mati terbunuh di tangan Muhammad. Orang itu bernama Ufbah bin Abi Muif dan Nathar bin Harits, itu jelas mati terbunuh di tangan nabi Muhammad. Nabi Muhammad juga pernah mau membunuh dua orang sastrawan besar walaupun tidak sampai terjadi. Itu artinya apa? Ya kekerasan, mau ditutup-tutupi kaya apa, ya itulah kekerasan. Karena itu menurut saya, Alquran dan prilaku nabi harus diletakkan dalam konteks peperangan. Dan pembunuhan dalam konteks peperangan, menjadi tidak masalah, karena pertempuran harus dilakukan. Ini menarik pernyataan Hasan Hanafi dalam bukunya Dirasat Falsafiah, kata dia alwahyu laitsa khorija zaman habitan la ya tawayya’ walakin dahila zaman bitatowwaru bitatowwirihi—karena orang pesantren jadi banyak hafal—wahy itu bukan berada di luar konteks yang tidak mengalami perubahan, dia berada di dalam konteks yang berkembang sesuai dengan tingkat capaian peradaban manusia. Alquran waktu itu turun di luar konteks peperangan, karena itu banyak sekali slogan-slogan peperangan mengajak membunuh orang lain.
Nah, ayat-ayat seperti ini—kembali kepada yang tadi—menurut saya tidak bisa dilucuti dari konteksnya yang universal, yaitu agenda pembebasan, agenda untuk menolong kalangan-kalangan yang tertindas. Karena jangan lupa, bahwa kenapa nabi Muhammad dimusuhi sedemikian rupa di tangan mereka. Ini ada sejarah yang tak terliput, karena dahulu itu ada delapan orang yang mencalonkan diri sebagai nabi, ada Muhammad bin Abdirrahman, jadi ada delapan. Memang di dalam Alkitab, di dalam Bibel pernah dikisahkan katanya—yang kemudian terjadi tahrik—bahwa nanti ada orang yang bernama Muhammad menjadi nabi. Pada waktu itu ada delapan orang bernama Muhammad, Muhammad bin Abdirrahman rebutan, jadi perang-perangan juga, perang sastra-satra begitu, nabi Muhammad juga dibikinin, tapi karena nabi Muhammad ini pandai mempengaruhi orang, politiknya jalan, akhirnya publik tiba-tiba tersedot ke dia, dan secara defacto, secara kultural dia mendapatkan dukungan kuat dari Quraish, karena Bapaknya dia orang Quraish. Jadi, menduduki mayoritas itu menjadi sangat penting sekali, kaya presiden Indonesia itu, Jawa, 70 % penduduk Indonesia Jawa. Siapa yang menguasai Jawa, jadi. Nabi Muhammad juga begitu, menguasai Quraish, dan dikumpulkan itu apakah Yahudi ataupun Nasrani, kecuali nanti nabi Muhammad gagal merangkul kelompok Yahudi di Najran. Jadi, Yahudi dan Nasrani di Najran itu pernah bertengkar, dan gagal untuk disatukan oleh nabi Muhammad. Kemudian yang hanya mengikuti nabi Muhammad adalah Nasrani.
Ini adalah permainan politik nabi Muhammad yang luar biasa. Karena itu, saya menduga nabi Muhammad tidak mau mengikuti Yesus Kristus yang gagal, sampai meninggal hanya 12 orang pengikutnya. Jadi kembali pada yang tadi, pluralisme agama itu menjadi susah sekali diterapkan. Seluruh agama tidak ada yang bersih dari darah, seluruhnya: apakah Hindu di India, Budha di Thailand misalnya, Amerika Selatan dengan Amerika Utara, dahulu luar biasa, tujuh ribu lima ratus menurut yang dicatat oleh Amstrong. Di Prancis bagian selatan juga pernah terjadi pertumpahan darah yang luar biasa, Aurankzeb itu misalnya sangat ketus orangnya, pernah misalnya menghancurkan tiga ratus lima puluh patung-patung di sana. Patung-patung Budha. Karena disangka—kalau bahasanya Din Syamsudin kira-kira—ini pornoaksi. Padahal orang-orang sufi itu rata-rata biasanya—orang-orang sufi besar pada zaman Abbasyiyah itu—punya gambar foto-foto perempuan telanjang di dalam kamar pribadinya. Seperti Harun ar-Rasyid itu banyak sekali foto-foto perempuan telanjang, karena apa? Lihat Ibn Arabi di dalam—menjadi ke mana-mana—Alfutuhat Almakkiah, karena sifat jamal dan kamalnya Allah itu tampak, tajalli di dalam tubuh perempuan.
Nah, yang terakhir, yang sekarang lagi marak persoalan perebutan identitas, ini yang lagi ramai di Indonesia walaupun di Eropa sendiri seperti di Belanda. Misalnya sekarang di Sumatera Barat Pa Zainun, di situ ada perebutan tentang rumah Gadang, rumah Gadang itu milik siapa? Ada yang bilang itu milik Islam. Katanya pernah ada perjanjian bahwa rumah Gadang tidak bisa dimiliki oleh orang non-Islam. Akhirnya orang non-Islam dilarang untuk membangun gereja dalam struktur desain rumah Gadang, bertengkar itu. Seperti di Belanda sekarang tentang arsitektur masjid, pertarungan apakah masjid dari desain Turki atau desain dari Maroko dan lain sebagainya, bertengkar itu. Jadi masuk juga persoalan perebutan-perebutan seperti itu. Akhirnya apa? Agama memang menjadi rumit.
Cara yang paling mudah untuk ditempuh, segera melakukan revisi ulang terhadap agama. Itu yang harus dilakukan. Ketika agama sudah tersandra di tangan aparatur para elit agama, dia harus dilepaskan. Selalu saja yang melakukan revisi itu adalah anak-anak muda. Nabi Muhammad itu sangat muda ketika merivisi agama nenek moyangnya, Yesus Kristus sangat muda, nabi Musa juga begitu. Di tangan orang-orang seperti Bapak Nanang, mas Budi inilah nasib Islam itu, apakah mau direvisi atau kita percaya begitu saja.
Moderator: Sunaryo
Oke, mungkin karena kita punya keterbatasan waktu. Seharusnya tadi setengah satu sudah selesai, tetapi sekarang sudah lewat sepuluh, diskusinya, kita cukupkan dulu, dan bagi yang masih mau berdiskusi nanti bisa di luar. Diskusi kita kali ini cukup menarik tentang toleransi di dalam Islam, saya tidak akan menyimpulkan lebih lanjut, tapi ada satu catatan dari saya selaku moderator, ada adagium yang cukup terkenal misalnya, bahwa dalam masalah tafsir itu sebenarnya tidak ada yang tahu dalam masalah menafsirkan, tetapi yang salah itu ketika orang merusak atau menyakiti orang lain. Jadi, ada orang seperti Habib Riziq, ada orang seperti Bapak Zainun, mas Muqsith, semua penafsiran itu secara prinsip mungkin bisa kita katakan sah, tetapi ketika misalnya Habib Riziq melakukan sweeping itu yang menjadi problem. Nah, tapi kita juga punya kepentingan atas tema toleransi ini, agar tafsir yang toleran didorong lebih meluas daripada forum yang sempit ini, sehingga paling tidak ada banyak yang bisa tercerahkan. Saya tutup saja diskusi kita kali ini, saya akhiri,Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Rabu, 30 Mei 2005
Pembicara: Dr.Zainun Kamal dan Abd.Moqsith Ghazali, MA
Moderator: Sunaryo
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Kita mulai saja diskusi kali ini, dan sambil menunggu peserta yang lain, diskusi pada hari ini akan mengangkat tema “Toleransi dalam Islam.” Tema toleransi, menjadi tema yang cukup menarik pada saat ini, khususnya bagi agama-agama. Dalam Islam misalnya, menjadi tantangan terbesar ketika begitu maraknya aksi kekerasan mengatasnamakan agama. Begitu banyak orang yang cukup gerah juga dengan sikap yang kurang toleran atau intoleran terhadap kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama. Sampai-sampai kita mendengar satu cerita yang cukup menarik dari kasus yang belum lama terjadi, seorang penyanyi dangdut kita yang cukup terkenal yaitu Inul Daratista, isunya, sampai-sampai ia pernah berpikir ingin berpindah keyakinan, karena melihat orang yang dianggap seagama, agama Islam misalnya, bersikap sangat tidak baik pada dia. Sehingga dia memiliki pemahaman, apakah Islam seperti itu? Nah, ini menjadi sangat problematis mungkin, karena di satu sisi Islam sebenarnya kalau kita melihat dalam teks-teks al-Qur’an sendiri banyak ayat cukup mengedepankan sikap toleran. Salah satu ayat yang cukup terkenal adalah prinsip bahwa bagiku jalanku atau agamaku dan bagimu adalah jalanmu. Jadi prinsip itu cukup jelas bahwa masalah keyakinan seharusnya orang diberi tempat untuk memilih secara bebas dan secara pribadi.Tetapi nampaknya dalam praktek sering terjadi, orang mengatasnamakan agama dengan bersikap intoleran terhadap pihak yang lain. Nah, hari ini kita mencoba untuk mengulas dan mendiskusikan lebih dalam, bagaimana sebenarnya Islam bersikap mengenai toleransi? Walaupun ini juga nanti akan berujung pada masalah interpretasi, tapi kita akan coba diskusikan. Ada dua nara sumber kita pada pagi ini, pertama, yang sudah tidak asing lagi, Bapak Dr. Zainun Kamal, dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Beliau menamatkan pendidikannya S3 IAIN Jakarta, sebelumnya pernah kuliah di Al-Azhar Kairo. Nara sumber kedua yaitu, Abdul Muqsith Ghazali, kegiatan beliau sekarang ini adalah sebagai pengajar di Paramadina, dan pendidikannya di Pesantren dan IAIN Jakarta.
Baiklah, kita akan mulai saja, dan kepada Bapak Zainun dipersilahkan untuk memulai lebih dahulu.
Pembicara pertama: Dr. Zainun Kamal
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Saudara-saudara, makalah sudah saya persiapkan. Tema pokoknya yang saya bahas di sini berkaitan dengan problem “kemurtadan.” Ini dalam rangka mempersiapkan fiqih pluralis, mencakup beberapa bahasan yang saya kemukakan, yaitu problem jihad. Karena kalau kita berbicara tentang toleransi, mungkin kita hanya melihat ayat-ayat toleran, padahal di sana banyak sekali ayat-ayat yang berkaitan dengan jihad, banyak sekali ayat-ayat yang berkaitan dengan peperangan, puluhan berkaitan dengan peperangan, bukan saja ayat-ayatnya saja yang berkaitan dengan peperangan bahkan nabi sendiri terlibat dalam puluhan peperangan. Sebagian berbicara juga tentang perdamaian, dan problem kemurtadan. Di sini saya angkat isu kemurtadan, karena ada fiqih pembunuhan dalam istilah saya. Ada fiqih pembunuhan bagi orang yang konversi agama atau keluar dari agama Islam pindah pada agama lain. Misalnya beberapa waktu lalu kita baru saja dikejutkan oleh akan dilakukannya hukuman mati bagi seseorang yang pindah agama di Afghanistan. Tapi diprotes oleh dunia internasional karena dianggap bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM), barangkali kalau tidak diprotes sudah dilakukan pembunuhan karena konversi agama. Dalam sejarah awal Islam memang ditemukan, terutama pada masa pemerintahan Abu Bakar atau khalifah pertama, memerangi orang-orang yang murtad, atau memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat. Benarkah tindakan itu sesuai dengan ajaran Islam yang berdasarkan kepada wahyu ilahi? Karena dalam bukti sejarah hal tersebut ada. Abu Bakar memerangi orang-orang murtad, memerangi orang-orang yang mengklaim jadi nabi, dan memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat. Pertanyaan kita: apakah ini memang sesuai dengan ajaran agama yang bersifat ilahi? Dan kemudian juga, bagaimanakah sebenarnya hukum murtad itu dalam Islam? Dan mengapa Abu Bakar memerangi mereka-mereka ini? Inilah barangkali beberapa hal yang akan kita berikan jawaban-jawabannya.
Saudara-saudara, makalah yang saya siapkan bukan tulisan saya sendiri dan belum sempurna, ini dari beberapa buku yang saya kumpulkan berkenaan dengan tema ini.
Yang pertama, problem penerapan hukuman membunuh bagi yang murtad. Alquran tidak menyebutkan sanksi bagi yang murtad, itu yang pertama yang saya pegang. Jadi Alquran tidak menyebutkan sama sekali sanksi bagi orang yang murtad, hanya Allah berfirman dalam beberapa ayat, ada ayat-ayat murtad yang sudah saya kutip di sini. Sanksi yang disebutkan oleh Allah hanya sanksi akhirat. Misalnya kesalahannya yang tidak diampuni, dosanya yang tidak diampuni, kemudian dia kekal di akhirat, itu persoalan Tuhan. Mengenai masalah dunia tidak ada hukuman sama sekali. Kemudian memang diriwayatkan bahwa nabi pernah bersabada, ini barangkali yang banyak dipegang, man baddala dinahu faqtulu qad ligat—siapa yang mengganti agamanya, bunuh dia. Namun nabi kita sendiri sama sekali belum pernah menjatuhkan hukuman mati bagi orang yang keluar dari Islam. Ada hadits, hadits ini belum sempat saya takhrij (belum diteliti lebih jauh), tapi umumnya yang dipegang ini. Jadi walaupun nabi menyatakan, mungkin saja menurut pendapat saya hadits ini diucapakan oleh nabi waktu dia marah, barangkali waktu dia kesal, karena beliau belum pernah melaksanakan sama sekali. Padahal banyak sekali orang-orang yang keluar dari Islam, pada masa nabi tidak pernah dihukum sama sekali. Bahkan, ada perjanjian nabi dengan orang-orang musyrik, yang kita ingat namanya “perjanjian hudaibiah,” antara orang-orang musyrik Mekkah dengan nabi di Madinah. Salah satu isi perjanjian itu, selama sepuluh tahun genjatan senjata, tidak saling serang menyerang. Itu yang pertama.
Yang kedua—saya kira ini yang cukup bagus sekali—kalau ada orang-orang musyrik pergi ke Madinah masuk Islam, itu harus dikembalikan kepada orang musyrik, tidak boleh diterima walaupun dia masuk Islam. Tapi kalau ada orang-orang Islam yang di Madinah kembali ke Mekkah menjadi musyrik itu harus diterima. Orang musyrik tidak boleh masuk Islam, dibolehkan kembali menjadi orang musyrik. Itu persetujuan yang ditandangani oleh nabi dengan orang musyrik. Hal itu dikatakan barangkali dengan landasan la ikraha fiddin tidak paksaan dalam agama, beberapa ayat dikutip di sini, misalnya, afa anta takrahun nass hataa yakunu mukminun, apakah kamu akan memaksa manusia menjadi orang-orang beriman. Termasuk juga undang-undang APP itu memaksa manusia. Alquran mengatakan, apakah kamu akan memaksa manusia wahai Muhammad menjadi orang beriman? Kemudian dikatakan, kalaulah sekiranya Allah berkeinginan supaya orang menjadi mukmin semua, itu bisa atau tidak? Bisa, apa sulitnya bagi Allah, semuanya dijadikan orang mukmin. Tetapi Allah tidak berkehendak itu. Memang Allah sendiri menghendaki plural. Allah mengatakan, faman sa’a fal yukmin faman sa’a falyakfur, kalau kau mau beriman silahkan pilih, mau kafir silahkan. Karena itu, iman dan kafir diserahkan oleh Allah, oleh Alquran kepada kita, kepada pilihan bebas kita masing-masing. Jadi tidak ada paksaan sama sekali. Itu bagian pertama.
Saya sudah mengutip ayat-ayat Alquran dan hadits di sini tentang kebebasan beragama, orang menjadi iman, menjadi kafir itu diserahkan oleh Alla Ta’ala kepada kita dan tidak ada paksaan sama sekali. Kemudian di sini juga saya catat ayat-ayat Alquran, dan di dalam Alquran tidak ditemukan definisi murtad yang bersifat duniawi. Tadi sudah saya katakan, ada puluhan ayat Alquran di sini yang saya kutip. Kita pindah pada halaman 20 coba dilihat di sini, saya kira ini yang perlu dijelaskan setelah ayat-ayat tadi. Jadi landasan secara teologis sudah kita jelaskan tadi, yang pertama di dalam Alquran tidak ada sanksi bagi orang yang murtad, tidak ada sama sekali sanksi yang bersifat keduniawiaan. Dan yang kedua, nabi pun tidak pernah melakukan atau melaksanakan hukuman mati terhadap orang yang pindah agama, dan bahkan itu disetujui oleh nabi di dalam beberapa perjanjian. Itu kerangka teologisnya dikemukakan.
Ini ada kerangka yang bersifat historis. Yang ada pembunuhan, yang ada peperangan itu bukan pada masa nabi, adanya adalah pada masa Abu Bakar. Orang-orang murtad itu diperangi, orang-orang murtad itu dibunuh, dan segalanya itu terdapat pada masa Abu Bakar. Kenapa? Karena setelah nabi wafat, ada beberapa kasus yang terjadi. Yang pertama, banyak sekali orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai nabi. Itu yang pertama. Yang kedua, ada orang-orang yang memang kembali kepada agama semula. Jadi setelah masuk Islam kemudian kembali pada agama semula. Dan yang ketiga, sesungguhnya orang-orang tadi bukan keluar dari Islam, tetapi tidak mau mengakui pemerintahan yang ada di Madinah, kekuasaan yang ada di Madinah. Cuma kalau kita lihat, saya ulang lagi, ada paling kurang tiga kasus: yang pertama, beberapa orang mengklaim menjadi nabi; yang kedua, ada yang keluar dari agama Islam, kembali pada agama semula; dan yang ketiga tidak mengakui pemerintahan pusat yang dipimpin oleh Abu Bakar yang ada di Madinah. Tapi mereka tetap sebagai orang muslim, tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar yang ada di Madinah. Kenapa? Karena ada orang yang percaya sebagian umat Islam, dia hanya mengakui kepemimpinan nabi dulu.
Mereka mengakui Muhammad sebagai pimpinan, tapi ternyata kemudian Muhammad wafat, akhirnya mereka tidak percaya lagi. Karena Muhammad manusia juga. Karena itu, diganti oleh Abuh Bakar, dan mereka lebih tidak percaya. Karena itu, dia tetap sebagai orang muslim, tidak percaya kepada Abu Bakar. Ini yang diserang oleh Abu Bakar. Ada juga yang hanya percaya kepada Ali bin Abi Thalib, tapi tidak percaya kepada Abu Bakar, percaya kepada Ali Bin Abi Thalib. Dan bahkan ada juga yang tidak percaya sama sekali pada Abu Bakar, dan tidak percaya kepada Ali Bin Abi Thalib. Mereka tetap sebagai seorang muslim. Cuma kalau kita lihat tentang orang yang mengaku jadi nabi, yang paling terkenal sekali namanya adalah Musailamah, yang oleh ahli sejarah Islam disebut al-kaddzab. Dia bukan al-kadzdab, Musailamah itu namanya Bin Habib. Di sini saya catat, Musailamah bin Habib, suku dari Hanafiah dari Yamamah, itu daerah Arab juga. Pada mulanya dia masuk Islam pada masa nabi. Tapi kita harus ingat, Musailamah ini bukan Arab Quraish. Ini kuncinya dulu, dia bukan Arab Quraish.
Kemudian di daerah Yamamah pada mulanya masuk Islam, tetapi kemudian setelah bertemu dengan nabi, dia pikir-pikir: ini yang menjadi nabi? Manusia biasa juga, katanya. Karena itu, dia pulang ke Yamamah, dia kumpulkan pasukannya. Kenapa kita harus patuh kepada Muhammad orang Quraish itu? Kenapa kita tidak bikin kelompok sendiri? Karena itu, dia mengklaim dirinya sebagai nabi, dan dipatuhi oleh semua orang Yamamah. Dan itu penduduknya lebih banyak dibandingkan dengan Quraish. Kita (orang Yamamah) lebih hebat dari Quraish, kenapa taat pada mereka (Abu Bakar)? Dan yang paling penting sekali, karena Yamamah itu daerahnya subur, merupakan rangkai makanan buat orang-orang Mekah dan Madinah. Karena itu kehidupan ibu kota, Madinah, sangat tergantung kepada kota Yamamah ini. Itu sebabnya, setelah Musailamah mengklaim menjadi nabi kemudian dia menjadi pimpinan—tak lama kemudian nabi meninggal, kemudian diganti Abu Bakar—dia tidak mau mengikuti Abu Bakar, bahkan dia melawan Abu Bakar. Kemudia Abu Bakar benar-benar kerepotan menghadapi Musailaman ini. Kenapa? Karena pasukan dia jauh lebih banyak dibandingkan dengan pasukan Abu Bakar yang ada di Madinah. Dan bahkan mereka tidak mau mengirimkan zakat ke Madinah. Terjadi peperangan. Abu Bakar dan Umar betul kerepotan untuk menghadapi Musailamah ini.
Kaum muslim menamakan al-Kadzzab terhadap Musailamah, tapi pengikut-pengikut mereka tidak menyebut al-kadzza. Menurut mereka, Musailmah adalah pimpinan yang baik sekali, as-shiddiq barangkali. Kenapa? Karena memang Musailamah itu di dalam sejarahnya baik, dia itu pengikut agama Kristen Arab yang baik sekali. Tetapi karena daerahnya ini memang hasil buminya diambil oleh pemerintah pusat, hal inilah yang ingin dibendung. Karena itu sesungguhnya Musailamah ini adalah seorang nasionali paten, atau mempertahnakan hasil daerahnya. Kenapa kita harus kirim ke pusat? Kata Musailaman. Kemudian ini yang dilawan oleh Abu Bakar. Waktu itu umat Islam meninggal sebanyak seribu dua ratus orang, dan yang paling hebat di dalam sejarah adalah para penghafal Alquran meninggal sebanyak tujuh ratus orang. Kalau kita baca, kenapa Alquran itu kemudian dibukukan? Pada mulanya hafalan saja, tidak ditulis. Tetapi karena banyak para penghafal Alquran yang meninggal untuk menghadapi Musailamah ini, karena itu Abu Bakar khawatir, “nanti tidak ada lagi yang hafal Alquran.” Karena itu, Alquran ditulis.
Itu sebabnya, saya di beberapa tempat, seperti di IIQ dicekal dengan alasan itu. Karena saya mengatakan, “menghafal Alquran itu tidak ada nilainya.” Kenapa? Karena dulu pada masa nabi memang ada motivasi, tidak banyak yang bisa tulis baca, karena itu dimotivasi: siapa yang bisa menghafal Alquran, anda mendapat pahala sekian, surga balasannya. Itu motivasi. Tetapi kalau sudah banyak yang bisa tulis baca, apalagi kalau sekarang ada kaset dan segalanya, mungkin hafalan kaset lebih pintar dari kita barangkali. Tetapi menurut pendapat saya, menghafal Alquran itu tidak ada nilai, tidak bernilai. Saya sampaikan begitu. Saya mengatakan kepada mahasiswa IIQ, “kasihan anda ini menghafal Alquran.” Mahasiswa IIQ itu orang-orang dari kampung, dari desa, dia tidak cerdas menghafal. Sudah menghafal, kemudian ilmu lain tidak bisa. Karena itu, tamat dari sana ia hanya sekedar menghafal Alquran. Nanti dapat suami yang tidak baik, hafalannya hilang lagi.
Mungkin sedikit saya bacakan kondisi dari Yamamah tadi, ini sangat penting sekali menurut pendapat saya. Ada di halaman 37, tidak lupa kami ingatkan bahwa Yamamah adalah tanah yang paling subur di Semananjung. Halaman 37 yang saya tulis itu, daerah yang paling subur di Semenanjung sekaligus menyuplai bahan makanan atau gandum yang dibutuhkan Hijaz, untuk Mekah dan Madinah. Barangkali begitu semangatnya orang-orang bani Hanifah, mempertahankan negeri mereka lebih didorong oleh latar belakang faktor nasionalisme. Apalagi ada catatan yang sangat penting bahwa gerakan apotasi/amutasi yang sudah mulai bergejolak sejak sakit parahnya nabi, dan menjelang wafatnya, dan meledak pada masa permulaan Abu Bakar ternyata terjadi di daerah-daerah tersebut. Jadi bukan karena alasan murtad mereka diserang oleh Abu Bakar, tapi karena daerah-daerah ini subur, kemudian menyatakan kepentingan dari pemerintah pusat. Jadi sama saja dengan menyerang Aceh, menyerang Irian, dan sebagainya. Karena itu daerah-daerah yang potensial. Tidak mau stoknya dikirim ke pemerintahan pusat, itu sebabnya diserang. Jadi pendekatannya, karena selama ini Abu Bakar dianggap sebagai pimpinan agama, waktu dia menyerang orang-orang ini dikatakan menyerang orang murtad. Padahal sesungguhnya itu adalah persoalan politik dan ekonomi. Jadi bukan menyerang orang-orang musyriknya, orang-orang murtadnya. Itu persoalannya. Bani Aswad dan segalanya itu, Bani Tamim dan bahkan selain Musailamah ini ada lagi dari bani Tamim yang mengklaim dirinya sebagai nabi, dan orang itu perempuan bernama Sajah. Ketemu dengan Musailamah, Sajah ini kawin dengan Musailamah, katanya kita sama-sama menjadi nabi. Karena ini bukan daerah Quraish semua. Daerah yang ditaklukkan dengan Quraish, karena itu mereka ingin bebas.
Ada pula kabilah yang tanpa dikepungin nabi-nabi palsu di dalamnya, yaitu Bani Amat dan banyak yang lainnya, kesemuanya kabilah-kabilah terkenal dan besar, di samping menempati daerah-daerah kaya, penghasilan, komoditas, seperti daerah-daerah Hadrat Maut, Bahrain, Oman dan lain sebagainya. Itu daerah-daerah yang memberontak, dan di sana daerah-daerah yang kaya dari hasil pertaniannya dan lain sebaginya. Coba kalau kita lihat selama ini, dianggap dalam perjalanan sejarah Abu Bakar menyerang daerah-daerah itu disebabkan karena murtad. Inilah sebabnya di dalam pemahaman fiqih, orang-orang murtad itu perlu diserang atau dibunuh. Padahal kenyataannya kita bilang, orang-orang ini sebagiannya masih tetap Islam, hanya saja tidak mau bayar zakat ke ibu kota. Kenapa kita harus menyetor zakat ke ibu kota, ke Madinah? Padahal, kita juga membutuhkan, kata mereka. Sama seperti sekarang ini, sangat khawatir sekali kalau zakat diundangkan? Akhirnya zakat ini dipungut oleh penguasa, dan zakat itu akan dikorup oleh mereka itu. Padahal ada lingkungan kita, keluarga kita yang membutuhkan. Kita tidak bisa lagi untuk memberikan sumbangan. Karena itu saya paling tidak setuju sebenarnya untuk diundangkan zakat itu.
Itu beberapa komentar saya. Itu sebabnya, di dalam Alquran—dan ini penting sekali—secara teologis, qola fil a’rabu amanna. Jadi, orang-orang Arab yang pinggiran tadi, dia datang kepada nabi, dia katakan, wahai Muhammad kami orang sudah beriman, tapi kemudian Allah mengatakan, qul lam tu’minu, kalian sesungguhnya belum beriman, wa lakin quku aslamna, katakanlah kalian baru Islam, fallamna yadhulil imanu fi qulubikum, iman itu sesungguhnya belum masuk ke dalam lubuk hati anda. Apa artinya? Artinya, mereka itu karena dulu dipaksa, coba lihat daerah-daerah yang dikuasai tadi, ada tiga ketentuan dari Islam yang ditentukan oleh nabi.
Yang pertama, kalian kalau mau selamat mengucapkan dua kalimat syahadat, asyhadua alla ila ha Illallah,wa asyhadu anna muhammadar rasulullah. Karena itu mereka secara terpaksa mengucapkan dua kalimat syahadat. Jadi Islamnya, hanya Islam permukaan, atau kalau tidak mau masuk Islam harus bayar upeti, bayar jizyah satu persen. Kalau tidak juga, tidak mau masuk Islam, tidak mau bayar upeti, kalian diserang. Jadi orang-orang ini masuk Islam semuanya karena terpaksa, kalau tidak masuk Islam diserang, atau diperangi. Karena itu mereka masuk Islam, dan dia katakan, orang-orang Arab tadi, amanna, sesungguhnya dia belum beriman kepada Allah. Setelah nabi meninggal mereka-mereka itu mulai bergejolak semua, ada yang mengklaim menjadi nabi tadi, ada yang keluar kembali pada agamanya, dan ada yang tidak mau bayar zakat, ada yang tetap Islam yang tidak mau mengakui kepemimpinan Abu Bakar, dan tidak mau terhadap pemerintahan pusat itu.
Menurut pendapat saya, karena itu sesungnguhnya di dalam Islam itu baik secara teologi ataupun secara histories tidak ada pemaksaan dalam agama, apalagi orang yang murtad itu harus dibunuh dan semacanya. Saya kira, ini kita angkat karena baru-baru ini kita dengar, di Afghanistan itu yang pindah ke agama Kristen itu mau dibunuh. Itulah saudara sedikit hal ini saya angkat, dan saya sangat khawatir sekali, misalnya kalau nanti yang berkuasa itu partai-partai Islam.
Moderator: Sunaryo
Mungkin langsung saja kepada mas Muqsith Ghazali untuk menjelaskan.
Pembicara kedua: Muqsith Ghazali
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Bapak ibu, teman-teman sekalian. Saudara Aan meminta saya untuk berbicara tentang ayat-ayat toleran dan ayat-ayat yang tidak toleran di dalam Alquran. Sebenarnya saya sendiri tidak terlalu suka dengan penggunaan kata toleran, karena kata toleran itu mengandung prasangka di dalam dirinya sendiri. Toleran itu mengandaikan bahwa orang lain berada dalam kesesatan, hanya karena kita baik maka kita menoleransi kesalahan yang mereka miliki. Jadi kata toleran itu sendiri sudah mengandung prasangka, karena kita baik, maka kita menoleransi kesalahan orang-orang kafir, orang Kristen, orang Yahudi, dan sebagainya. Sebenarnya kata yang paling pas, adalah kata yang dipopulerkan oleh mas Budi, adalah pluralis. Yang mengandaikan adanya kesederajatan agama-agama dalam kehidupan keberagamaan kita. Itu yang lebih tepat. Akan tetapi karena kata pluralis dengan segala derivasinya sekarang sudah mulai terstigma, sehingga orang tidak mudah lagi menggunakan kata pluralisme, kemudian digantikan dengan kata “kebinnekaan,” keberagaman, toleransi dan sebagainya. Padahal hakekatnya, saya kira berbeda.
Kalau bearbicara pluralisme agama di dalam Alquran, saya kira tidak bisa dibantah bahwa Alquran mempunyai dua wajah yang paradoks, yang berbeda. Di satu sisi ada kesan bahwa ayat Alquran sangat pluralis di dalam memperlakukan umat agama lain. Tapi di sisi lain tidak bisa dipungkiri bahwa ada sejumlah ayat—yang jumlahnya saya kira jauh lebih besar—yang memiliki potensi untuk dijadikan sebagai paham untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap umat agama lain. Itu jumlahnya jauh lebih banyak. Akan tetapi sayangnya, karena Alquran ini memiliki dua wajah yang sangat berbeda, ada orang yang menyuarakan pentingnya pluralisme agama dengan mengacu kepada satu dua ayat, dengan mengabaikan ayat yang lain, yang anti pluralis, yang tidak toleran. Begitu juga kelompok yang mendukung, yang anti pluralisme agama menggunakan sejumlah ayat. Orang-orang seperti Habib Rizik misalnya, kesukaannya mengambil potongan-potongan ayat yang anti pluralis, ayat seperti faktulul musyrikina haitsu wajattumuhum, bunuhlah olehmu orang-orang musyrikaa itu di mana saja bertemu dengan mereka. Fa idza lakitumulladzina kafaru fa darbarriqab, kalau kamu bertemu orang-orang kafir penggela lehernya, wa jahidil kuffara wal munafiqina, perangilah oleh orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Itu ayat-ayat yang dipakai oleh kelompok-kelompok fundamentalis Islam. Sementara orang seperti Bapak Zainun saya kira ayat yang rajin dikutip adalah ayat la ikraha fi ddin, tidak ada paksaan di dalam agama. Mas Dawam yang sering diulang-ulang, lakum dinukum wa liyadin, agamamu agamamu, agamaku agamaku. Tetapi tidak pernah dilakukan usaha yang sungguh-sungguh bagaimana mengatasi problematika qur’anik terkait dengan pluralisme agama. Apakah dengan cara membangun sebuah kerangka metodelogi yang baru? Atau dengan cara memberi penafsiran baru terhadap ayat-ayat Alquran yang begitu itu?
Nah, di situlah pentingnya kita berdiskusi hari ini di sini, di Universitas Paramadina yang Mulya ini untuk berbicara sejumlah ayat yang problematis dari sudut pluralisme agama. Saya ingin mengulangi misalnya ayat-ayat yang pluralis, banyak sekali, walaupun tidak bisa mengalahkan jumlah ayat-ayat yang tidak pluralis, seperti yang sering dikutip oleh almarhum Cak Nur misalnya, innalladzina amanu walladzina hadu wannashara wasshabi’ina—ada yang bilang wasshabiuna di dalam Alquran juga—man aman minhum billahi wal yaumil akhir wa amila sholihan fala khoufun alaihim wa lahum yahzanun (sesunguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabi’in beriman kepada Alla kemudian beramal saleh, mereka tidak perlu khawatir bahwa dia akan dimasukkan ke dalam surga oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Ayat ini secara harfiah cukup dijadikan sebagai modal untuk menyatakan bahwa keselamatan bukan hanya di dalam Islam tetapi juga di dalam agama-agama lain.
Konsili Vatikan ke-II di dalam kekristenan saya kira menarik, karena menyatakan bahwa di luar kekristenan sudah ada keselamatan di luar gereja itu, dan Islam sampai sekarang belum menyatakan seperti itu, buru-buru sudah dimuratadkan. Ayat lain misalnya, la ikraha fiddin qat tabayyanarusyda minal ghai (tidak ada paksaan di dalam agama), orang seperti Bapak Zainun seringkali berhenti di sini la ikraha fiddin, tidak ada paksaan di dalam agama. Kalau dilanjuttkan, ini yang suka melanjutkan Habib Riziq dan kawan-kawan, qot tabayyanarrusyda minal ghai, sungguh sudah jelas kalau di dalam tafsir-tafsir yang klasik ar-rusydu dimaknakan sebagai al-haq kebenaran, sudah jelas antara kebenaran dan kebatilan, fa bayyanarrusydu minal ghai, bainal haqqu wal bathil, antar Islam dan bukan Islam, jadi kebenaran itu adalah Islam, al-ghai itu non Islam, qat tabayyanarusydu minal ghai (sungguh sudah jelas mana-mana orang yang berada dalam kegelapan dan mana di dalam keterang benderangan). Kalau di dalam al-kitab saya kira sudah ada juga antara terang dan gelap, cuman tidak bisa dipersatukan. Jadi, pandangannya sangat eksklusif kalau kita lanjutkan ayat-ayat ini. Oleh karena itu wajar apabila ada seorang penafsir agama yang bernama Sulaiman bin Musa menyatakan bahwa ayat la ikraha fiddin qat tabayyanarusyda minal ghai itu sudah dimansukh, diaborgasi oleh ayat lain yang menyatakan jahidil kuffara wal munafiqin (perangilah olehmu, jihadilah olehmu orang-orang kafir dan orang-orang munafik). Ini konon Sulaiman bin Musa mengambilnya dari pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Mas’ud yang menyatakan bahwa ayat ini sudah dimansukh, karena itu tidak berlaku.
Jadi, penyandaran Bapak Zainun kepada ayat ini tidak relevan, karena ayat ini sudah dimansukh oleh ayat lain yang menyatakan perintah untuk memerangi orang kafir dan munafik. Nah, pandangan yang kedua, ayat ini tidak dimansukh, akan tetapi ayat ini khusus turun kepada orang-orang ahlul kitab. Ini di dalam tafsir al-jami’ li ahkail qur’an juz 3, halaman 208, bab tentang la ikraha fiddin. Kalau di lingkungan NU harus jelas, referensinya kitab apa, halaman berapa, juz berapa. Menurut al-Qurtubi, dia menjelaskan bahwa ayat ini tidak dimansukh, akan tetapi ayat ini spesifik turun pada ahlul kitab yaitu ahlul kitab yang membayar jizyah, membayar pajak. Ahlul kitab yang tidak membayar pajak tidak terkena ayat ini, tidak terkena ketentuan ini. Yang menarik saya kira adalah riwayat yang ketiga tentang turunnya sababun nuzul ayat ini. Dikisahkan misalnya, ini dari Ibn Abbas, bahwa ayat ini turun di dalam kasus terkait dengan perempuan-perempuan anshar. Pada waktu itu ada sejumlah perempuan anshar yang pernah berjanji pada dirinya sendiri, “apabila dia punya anak maka dia akan memaksa anaknya untuk masuk ke dalam agama Yahudi,” itu ada sekitar sepuluh orang anak yang dipaksa masuk ke dalam agama Yahudi, kemudian masuk ke dalam agama Yahudi. Dengan dasar ini, lalu turunlah ayat ini, la ikraha fiddin, kamu tidak bisa memaksa anak-anakmu sendiri untuk masuk ke dalam agama Yahudi. Jadi ini adalah penegasan terhadap orang lain, bukan terhadap Islam sendiri, qat tabayyanarusyda minal ghai sungguh sudah jelas bahwa Islam itu kebenaran dan di luar Islam itu di luar kebenaran, tidak ada keselamatan. Kesalahannya sebenarnya adalah terletak di dalam memaknai arrusydu dengan al-ghai. Ini kalau otak-atik kata di dalam gramatika bahasa Arab, rasyada yarsudu rusydan, itu artinya adalah orang-orang yang sudah punya kematangan secara psikologis, secara emosional. Sedangkan rasyida yarsyadu rasyadan, itu adalah orang-orang yang bisa membedakan mana yang hak, mana yang bathil. Saya memaknakan ar-rusydu di situ harus dimaknai sebagai rasyadin, orang-orang yang memiliki kematangan emosional, yang cukup memiliki kemampuan untuk menentukan agama apa pas buat dirinya, dan agama apa yang tidak relevan buat dirinya. Jadi, ketika orang sudah memasuki usia dewasa, usia rasyid, dia tidak bisa dipaksa oleh siapapun, hatta oleh orang tuanya sendiri untuk memilih suatu agama. Jadi, orang tua tidak punya otoritas untuk memaksa anaknya untuk masuk ke dalam agama tertentu, karena dia sudah berada di dalam usia yang matang, yang stabil, dan lain sebagainya. Tapi sayangnya pemaknaan seperti ini tidak cukup populer di lingkungan umat Islam. Nah, jadi la ikraha fiddin qat tabayyanarusydu, ar-rusydu saya kira harus dimaknai ulang karena sangat problematis.
Ada juga ayat lain, yang saya kira cukup bermasalah, dan seringkali dikutip oleh Habib Riziq, ini ayat-ayat yang problematis. Dahulu orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani adalah orang yang senang sekali mengklaim bahwa dirinyalah yang akan masuk ke dalam surga, orang lain tidak. Itu digambarkan di dalam Alquran, wa qalu, orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani pernah berkata, lan yadhulal jannata illa mankana hudan au nashara, tidak akan pernah masuk ke dalam surga kecuali orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani. Jadi, klaimnya adalah surga hanya milik mereka semata. Dibantah oleh Alquran, tilka amaniyyuhum, itu hanya imajinasi otopis mereka belaka, itu tak terbukti. Kata Alquran qul hatu burhanakum, datangkanlah olehmu sebuah bukti kalau pernyataanmu itu benar, inkuntum shadiqin, jika kamu benar, bala syamsaka litida’, orang di luar Yahudi dan orang Nasrani itu juga bisa masuk ke dalam surga, man aslama wajhahu lillah, orang yang menyerahkan diri kepada Tuhan, ini yang diterjemahkan oleh kelompok-kelompok fundamentalis Islam, aslama dimaknai orang yang masuk ke dalam Islam. Orang Yahudi dan orang Nasrani hanya masuk ke dalam surga apabila dia masuk ke dalam Islam. Padahal saya cari di dalam sejumlah tafsir yang sangat muktabarak, kira-kira yang sangat absah, shahih, misalnya di dalam at-tabari, Bapak Nanang bisa membuka juz I, halaman 564, tentang ayat ini. Asalama wajhahu diartikan sebagai akhlasha lillah, yaitu orang yang hanya tunduk dan patuh kepada Tuhan, at-tadzallul li thoatihi wa tidzamu li amrihi, dia hanya tunduk dan patuh kepada Tuhan. Di dalam tafsir as-zamakhsyari juga, di dalam as-zamakhsyari al-kassayf juz I, halaman 64, man aslama wajhahu lillah ai man akhlasa nafsahu lahu la yusyriku bihi ghairahu, jadi orang yang hanya tulus kepada Tuhan dan tidak menyekutukannya, siapapun dia, dia akan masuk ke dalam surga. Jadi aslama di situ di dalam kitab-kitab tafsir yang sangat otoritatif tidak memaknainya dengan kata masuk Islam, akan tetapi ahklasa lika yaitu orang yang menyerahkan diri hanya kepada Tuhan.
Kemudian ayat lain misalnya, yang menyatakan—sering dikutip juga—tentang apakah kita bisa menjadikan orang Yahudi sebagai teman atau tidak? Di dalam Alquran disebutkan latajidanna asyaddannasi adawatan lilladzina amanu alyahuda walladzina asyrak (apabila kamu bertemu dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik jangan kamu pedulikan, karena dia adalah karena dia adalah orang yang musuh bebuyutan kamu), asyaddannasi adawatan, dia terus-menerus memusuhi kamu. Tapi terhdap orang-orang Kristen berbeda, wala tajidanna akrabakum mawaddatan lilladzina amanu alldzina qalu inna nashara, tapi orang-orang Kristen adalah orang-orang yang paling baik dijadikan sebagai teman, berbeda dengan orang Yahudi. Nah, bagaimana cara kita memperlakukan ayat ini? Ternyata ayat ini turun dalam konteks yang sangat spesifik. Saya mengutip, di dalam tafsir al-manar juz III, halaman 3, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang Yahudi yang tidak bisa dijadikan sebagai teman, dan itu adalah musuh kamu, orang-orang musyrik itu adalah yahudul hijaz, orang-orang Yahudi yang ada di Hijaz, dan orang-orang Nasrani yang ada di Habasyah. Karena ketika orang-orang Islam itu pindah ke Habasyah, yang pertama kali yang memberikan pertolongan pada mereka bukan orang Yahudi, akan tetapi adalah orang-orang Nasrani di sana. Dengan argumen ini maka turunlah ayat itu, kalau kamu mau berteman jangan berteman dengan orang Yahudi dan orang musyrik tapi bertemanlah dengan orang-orang Nasrani yang ada di Habasyah. Oleh karena itu, ayat ini turun dalam konteksnya yang spesifik tidak bisa diuniversalisasikan, tidak bisa diobjektivikasi, sehingga sampai hari ini kita tidak boleh berteman dengan orang-orang Yahudi dan harus berteman dengan Nasrani.
Begitu juga ayat lain misalnya, wa lantardha ankal yahuda wa lannashara hatta tattibia millatahum, kalau kita agak jeli membaca ayat ini, wa lantardha ‘anka, tidak pernah akan rela kepadamu Muhammad, bukan ‘ankum, karena itu hanya terbatas kepada nabi Muhammad. Orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani ketika kamu baru datang, tidak akan pernah rela, kecuali kamu masuk ke dalam agama mereka. Karena itu tidak bisa dipakai. Nah, karena argumennya demikian, saya kira tidak bisa diambil satu kesimpulan hukum, tidak bisa diambil pandangan universal tentang kelompok-kelompok agama non Islam. Karena agama non Islam itu ada yang terselamatkan, ada yang tidak terselamatkan, laitsu sawa’an, di antara mereka tidak sama, min ahlil kitabi ummatun qaimatun yatluna ayatillahi ana allaili wa hum yasjudun ya’muruna bil ma’ruf wa yanhauna anilmunkar, di antar orang-orang ahlul kitab itu memang ada yang baik, yang tiap hari kerjaannya adalah pengabdi hanya kepada Tuhan, tapi sebaliknya ada juga yang tidak baik, karena itu orang-orang yang tidak baik ini harus diperbaiki, kira-kira begitu. Persis seperti tuduhan orang-orang Islam terhadap orang-orang non Islam, terhadap orang-orang Kristen, dikira orang-orang Kristen memiliki satu pandangan tunggal tentang Tuhan. Yang sering dikutip misalnya adalah ayat, laqad kafaralladzina qalu innallaha wal masyihubnu maryam, orang-orang kafir itu adalah orang yang menyatakan bahwa Allah itu adalah al-Masyih Ibnu Maryam, Yesur Kristus, Masih bin Maryam.
Di dalam tafsir al-kurtubi disebutkan bahwa ini adalah salah satu pandangan kekristenan, bukan seluruh orang Kristen memiliki pandangan seperti ini—mas Budi nanti bisa menjelaskan ini. Di dalam tafsir al-kurtubi disebutkan itu adalah hadza qaulu firakin nashara, itu hanya pandangan sebagian sektek di dalam kekristenan, yaitu minal malakiah, sekte malakiah, wa nnusthurian dan nisthorian, wal ya’kubiyah sekte ya’kubiyah, li annahum yakuluna abun wafnun wa ruhul kudus ilahun wahid, ini yang dibantah oleh Alquran, bukan seluruh pandangan kekristenan, jadi tidak bisa diuniversalisasikan juga tentang apakah orang Kristen itu, karena tafsir tentang trinitas itu lumayan rumitnya, karena itu tidak bisa digeneralisasikan.
Ada banyak ayat lain saya kira yang tidak bisa diselesaikan hari ini di sini, misalnya ayat waqatilul musyrikina kaaffatan kama yuqatilunakum kaaffah, perangilah olehmu orang-orang musyrik secara keseluruhan sebagaimana mereka memerangi kamu, wa qatiluhum hatta latakuna fitnatun wa yakunaddinu kulluh qulillah, perangilah olehmu sehingga fitnah di permukaan bumi in habis. Pertanyaannya kemudian, bagaimana kita cara mengatasi dua ayat yang paradoks ini?
Saya setuju terhadap apa yang pernah ditempuh oleh Ibnul Muqaffa’, ketika dia membedakan ayat-ayat yang ushul dan ayat-ayat yang furu’. Kata Ibnul Muqaffa’ konsentrasi umat Islam hari ini, itu terlalu terfokus terhadap ayat-ayat yang furu’ yang partikular, dan mengabaikan ayat-ayat yang universal, katsiran ma minannas yatlubunal fushul maida’ati ushul, banyak sekali orang yang terlalu memfaforitikan ayat-ayat yang fushul, yang partikular, yang terperinci, yang adhoc yang tentatif, maida’atil ushul sembari mengabaikan ayat-ayat yang ushul. Karena itu Alquran harus dipecah harus menjadi dua bagian, ayat yang fushul dan ayat yang ushul, ayat yang universal—kata Fazlur Rahman—dan ayat yang paratikular. Apa yang dimaksud dengan ayat-ayat yang ushul? Ayat-ayat yang menjelaskan prinsip dasar ajaran Islam. Salah satu ayat yang menjelaskan prinsip dasar ajaran Islam adalah ayat yang terkait dengan pluralisme agama, dengan toleransi. Saya ingin mengutip pernyataan dari Muhammad Ibrahim al-hafnawi ketika dia memberikan komentar terhadap penjelasan ar-Razi di dalam Mafatikul Wai’, kata dia wal mabdaulanfi syar’atina, prinsip dasar umum dari syariat Islam adalah la ikraha fiddin tidak ada paksaan di dalam agama wa la yujadu fil qur’ani awissunnah ma yata’aradhu hakikatan ma hadal makdha’ tidak ada di dalam Alquran dan di dalam assunnah satu prinsip yang bertentangan dengan prinsip yang umum ini, yaitu kebebasan beragama. Karena itu ayat-ayat yang fushul yang berbicara tentang kemurtadan, yang berbicara tentang afostasi, berbicara tentang musyrik dan lain sebagianya, itu harus selalu berada di dalam kontrol ayat-ayat yang universal, itu harus dikontrol. Kalau di dalam perjalanannya ayat-ayat yang fushul ini, ayat-ayat yang partikular ini ternyata tidak efekatif lagi untuk menyuarakan ayat-ayat yang ushul maka ia harus dimodifikasi, harus diperbaharui, tidak bisa dengan cara lain. Harus diperbaharui dengan menggunakan akal budi manusia, karena akal juga memiliki otoritas untuk melakukan spekifikasi, untuk melakukan modifikasi terhadap ajaran-ajaran spesifik di dalam Alquran dan assunnah.
Dengan argumen ini maka saya menciptakan kaidah ushul fiqih baru, tankihun nusus waljuz’iyah bil aklil mujtama’, dimungkinkannya untuk mensortir ayat-ayat partikular dalam agama dengan menggunakan otoritas akal publik. Itu diperbolehkan. Dan, di dalam ushul fiqih lama, ada sebuah kaidah tentang kemungkinan melakukan takhsis bil akli, melakukan spesifikasi dengan menggunakan akal manusia, karena akal—Ulil sering menyatakan juga—sebenarnya adalah firman Allah dalam bentuknya yang lain. Kalau dahulu misalnya, firman Allah itu hadir dalam bentuk daging manusia, Yesus Kristus seperti yang disebutkan dalam Yohanes ayat 1, pada mulanya adalah firman, kemudian firman itu hadir dalam bentuk daging manusia yang bernama Yesus Kristus. Tapi ternyata improvisasi Tuhan menjadikan kalamnya dalam bentuk daging, tidak cukup efektif, orang tiba-tiba melakukan sakralisasi terhadap Yesus Kristus, sehingga menjadikan dia sebagai Tuhan. Rasanya Tuhan tidak akan mengulangi—dalam tanda petik—“kesalahannya ini.” Akhirnya dia menghadirkan firma Tuhan dalam bentuknya yang lain, yaitu dalam bentuk huruf dan aksara, alqur’anul karim, dalam bentuk qanun, dalam betuk perundang-undangan, jangan jadikan Muhammad sebagai Tuhan. Mengingatkan saya pada pernyataan Umar Bin Khattab, ketika nabi Muhammad baru meninggal orang-orang pada ribut, siapa lagi yang bisa menggantikan nabi Muhammad? Akhirnya Umar bin Khattab berkata, man kana ya’budu muhammadan fainna muhammadan qad matan, barang siapa yang menyembah Muhammad, Muhammad sungguh telah mati, wa inkana ya’budu allahu fainkana allahu hayyun la yamut, barang siapa menyembah Allah maka Allah adalah hayyun hidup, la yamut tidak akan pernah mati.
Nah, ternyata umat Islam ini mewakili atau melanjutkan tradisi kekristenan yang cenderung menuhankan Muhammad ketimbang tunduk kepada perundang-undangan, kepada konstitusi pada saat itu. Ini sebuah kesalahan. Karena itu, menurut saya sekarang umat Islam harus dihidupkan kembali, itu tidak bisa mencukupkan diri kepada qanun yang sudah lama itu dengan cara menghidupkan otoritas akal manusia. Di sini pernyataan imam Syafi’i sangat relevan, kata dia, ida wajadtum adillah, kalau kamu menjumpai sejumalah dalil, biar akademik silahkan dibuka di dalam bukunya Abdul Karim al-Jundi, al-Imamus Syafi’I Nashirus Sunnah wa Wadhiul ushul, ida wajadtum adillah kalau kamu menjumpai sejumlah dalil, falam takbalha ukulukum akalmu tidak mau menerima, fala takbaluha maka jangan terima dalil-dalil itu, liannal akla muttharrun ila qabulil hakki, karena akal budi manusia sebenarnya sudah memiliki sensitifitas untuk menjemput kebenaran, fa alhamaha fujuraha wa takwaha,dalam diri manusia sudah ada potensi untuk membedakan antar yang baik dengan yang buruk.
Itulah pentingnya sekarang menghidupkan otoritas akal di dalam mensortir sejumlah ayat yang problematis dari sudut plurlisme agama. Saya kira itu provokasi saya, dan Terima kasih.
Moderator: Sunaryo
Presentasi dari dua nara sumber kita ini sudah disampaikan, berikutnya kita akan berikan ke para peserta untuk bertanya atau memberikan komentar. Mungkin untuk termin pertama, empat orang dulu.
Penanya pertama: Dadang
Saya tidak mengikuti paparan Bapak Zainun, tapi setelah saya baca sekilas, prinsipnya sama: ini kita membicarakan kesesatan. Menurut saya hal yang mendasar setiap kita mempelajari kitab suci, Quran misalnya, atau Injil, selalu mengandung paradoks. Sesuatu yang mengandung paradoks itu, berarti itu sebuah kelemahan. Berarti ini tidak ada hubungannya dengan sesuatu yang datangnya dari firman Tuhan dari langit. Ini peristiwa kemanusiaan menurut saya, ini peradaban. Saya lagi meneliti, sejak kapan istilah agama—yang dihubungkan dengan sesuatu dari langit itu—untuk kesimpulan sementara saya menganggap istilah agama, Islam, Kristen, Yahudi, setelah terjadi perang Salib menurut saya. Karena begini, bukan Islam memajukan Andalusia, Persia, atau nusantara, tetapi Islam justru dimajukan oleh peradaban: Andalusia, Persia, dan sebagainya. Begitu juga Kristen.
Jadi, saya ingin memilih, yang mana yang terlanjur salah kaprah itu, istilah agama dengan peradaban. Ini harus kita bedah dulu, sebab kalau tidak, saya yakin semakin rancu dan semakin membentuk mentalitas yang munafik. Karena apa? Terjadi keguncangan antara realitas dengan apa yang diyakini yang sebenarnya semakin menjauh dari konsepnya. Seperti misalnya, dalam sisi peradaban ketika Muhammad itu pertama-tama, dalam peradaban di manapun, ada yang mengatur tentang jiwa, rohani dengan yang sifatnya fisik, material. Muhammad ketika dia mengolah rohaninya, itu sering ke Gua Hiro’, bertapa. Kemudian lama-kelamaan mengdopsi ritual, misalnya tentang sholat, sholat itu sejak zaman fir’aun sudah ada, tata cara seperti itu, bahkan di Kristen ortodoks sama persis. Jadi peradaban biasa, coba ada telaah, kalau dibicarakan sebagai agama, selalu mengandung paradoks, membuat kita jadi gila, tapi kalau dihubungkan dengan peradaban masuk akal. Kenapa terjadi paradoksal? Karena memang manusia itu begitu.
Jadi alam ini tidak bisa dibakukan melalui pembahasaan, seperti yang dikatakan oleh almukarramah Muqsith, itu selalu saja mengandung kelemahan. Misalnya Islam membahasakan alam semesta dan Tuhan yang tidak kelihatan itu, itu tetap mengandung kelemahan. Sebagai studi bandingnya, kalau di Borobudur itu—setelah saya pelajari, dan ini Cak Nur pernah saya ungkapkan seperti ini beliau setuju—ada kamadatu, rupa datu. Kamadatu itu peristiwa kelahiran, terus rupadatu peristiwa kehidupan sehari-hari, lalu bicara tentang yang ilahiah itu, istilah Cak Nur dari kata “taya’”, tek aya’. Jadi yang tidak ada itu, yang tidak ada itu, ada pada dasarnya. Yang ada itu, yang kelihatan sebarnya tidak ada, maya. Simbol seperti itulah menurut saya yang luar biasa, yang pas mengena, kalau bicara peradaban. Terima kasih.
Penyanya kedua: Halim
Saya mau mengomentari pertanyaan dari Bapak Zainun Kamal. Tidak bisa dinafikan peradaban Islam adalah teks sentris, boleh dibilang seperti itu. Nasr Hamid Abu Zaid pun dalam Nahdun Nass wal Hakikah, dia bilang selama peradaban Islam tidak melepaskan dirinya dari teks, Islam tidak akan pernah surut. Artinya ada kemungkinan kembali memimpin dunia dalam kadarnya yang lebih manusiawi, dibanding dengan peradaban yang saat ini ada. Yang saya terkejut dengan pernyataan Bapak Zainun Kamal tadi, anda sempat berujar, tidak ada lagi nilai dan pahala dalam kasus orang menghafal Alquran. Justru hemat saya, masa Rasulullah tentu memiliki arti dalam menjaga keotentikan Alquran. Pada masa ini pun kita tidak boleh melihat sebelah mata kepada para penghafal Alquran, karena kita tahu para penghafal Alquran dengan perkembangannya saat ini peran mereka sangat besar, tentu dalam hal menjaga keotentikan Alquran. Hanya saja memang, penafsiran terhadap Alquran atau metodelogi pembelajaran Alquran hanya semata pada penghafalan, belum sampai pada proses menafsir yang menyentuh pada sendi-sendi penguatan kemanusiaan. Pada titik ini saya meminta klarifikasi kepada Bapak Zainun.
Berikutnya kepada mas Muqsith Ghazali, melihat judul makalah yang anda bikin “Probelmatika Qur’anik”. Kalau membaca buku Gadamer, Truth and Methods bahasa adalah alat yang merealisasikan keberadaan diri kita, justru problemnya bukan pada problem bahasa Alquran, tapi justru bahasa manusia yang memahami bahasa Alquran. Dengan demikian, meminjam bahasa yang sering digunakan Feurbach dalam bukunya tentang Christianity, dia bilang, bahasa kitab adalah bahasa yang sifatnya ideal, hanya saja bahasa manusia berusaha merealisasikan apa yang ideal itu, tentu dalam sejarah yang bersifat historis. Untuk itu, menutup respon saya terhdap makalah ini, Gadamer bilang, language is the record of our vinitut yang senantiasa berkembang, bahasa adalah perkembangan keterbatasan. Makanya marilah bersama-sama mengembangkan bahasa Alquran menjadi bahasa kita, manusia ini. Terima kasih.
Penyanya ketiga: Nanang Tahqik
Saya sedang melihat bahwa sebenarnya Islam adalah agama sangat liberal, agama sangat bebas, agama yang membuat manusia menjadi hidup dan sebagainya. Dan dari sisi pembacaan terhadap ayat Alquran secara detail tadi baik oleh ustadz Zainun Kamal maupun imam Muqsith Ghazali, sudah luar biasa. Memang hanya saya menginginkan bahwa bagaimana pikiran-pikiran ini juga menyebar di luar forum ini dan menyebar di seluruh masyarakat muslim Indonesia, juga termasuk ke Musailama Ar-Riziq itu, di Tanah Abang itu. Sebab bukan apa-apa, faktor ini luar biasa, dan bagi santri—seperti saya ini, saya santri—senang sekali bahwa pandangan ini, bahkan pun bagi seorang santri universal seperti mas Herdi pun menarik, tadi dia banyak memberikan pikiran-pikiran juga. Hanya saja begini, kebebasan Islam begitu besar, begitu luar biasa, kemudian menjadikan pemahaman itu di Indonesia menjadi sempit, ini harus dicari kenapa akar masalahnya?
Mereka (orang-orang yang menggunakan kekerasan ats nama agama) sebenarnya juga bisa membaca kitab kuning, mereka juga bisa membaca tafsir-tafsir itu. Kalau mereka adalah juga belajar bahasa Arab, bukan hanya keturunan orang Arab, hanya konteks komunalisme, dikungkung oleh masyarakat, dan Islam menjadi tidak bebas. Dalam konteks yang lebih luas—untuk Bapak Zainun—apakah kebebasan beragama ini juga bisa mendorong Israel untuk mencaplok Palestina, atas nama kebebasan beragama? Karena, memang yang satu menyatakan itu tidak benar, yang satu lagi menyatakan negara Isarel itu, ya negaranya di situ. Maka hak dia untuk mengambil seperti itu, dari satu sisi, sebagaimana kebebasan beragama kita ini, karena kita begitu bebas, karena kita begitu terbuka dan sebagainya, tetapi konteks dunia global ini adalah nation state, negara bangsa. Mengapa Islam dahulu begitu bisa ke mana-mana? Karena orang belum mengenal nation state, bahkan pun Yunani, Aleksandria, atau Greek, itu hanya propinsi dua: satu di Syiria, yang satu lagi di Aleksandria, di Mesir. Selebihnya tidak ada. Kemudian Persia pun hanya parokial di Persia saja, bahkan berebut dengan Romawi untuk merebut Syiria, tetapi sekarang semua orang begitu sangat sempit, sehingga Islam ini menjadi sangat sulit untuk dibahasan secara universal.
Karena sudah terkungkung oleh nation state, Islam menjadi sulit, sehingga orang melihat ras, melihat kulit, jangan-jangan sebenarnya Islam tidak mampu melawan nation state? Jangan-jangan Islam memang mampu untuk melawan Arab, ashabiyah? Tapi di sisi lain, Islam juga sanggup membuat Spanyol, muslim di Barat, tetapi berhenti menyeberang ke Perancis, walaupun sedikit masuk ke Italia, ke Sisilia, tapi malah menjadi mafia semua. Problem global ini sebenarnya membuat, katakanlah seperti fenomena Habib Riziq, katakanlah fenomena seperti PKS, jadi mereka juga melawan sesuatu yang mereka imajinasikan, mereka berimajinasi bahwa kita lawannya zionisme dalam bentuk Gusdur, Cak Nur. Mereka juga berimajinasi Israel sedang menindas Palestina. Nah, imajinasi ini luar biasa, tetapi Islam tidak mengenal itu, Islam itu tidak dalam imajinasi. Maka kalau dalam Kristen itu luar biasa kuat imajinasinya. Jadi, Kristen itu mengenal teologinya adalah teologi bahasa, kalau Islam itu teolog praktis. Apa sesuatu yang berguna? Apa sesuatu yang bermenfaat? Lakukan, lakukan, seperti itu.
Misalnya ketika sahabat bertanya kepada Rasul: ya Rasul, apakah ada nenek-nenek di surga? Rasul dengan lelucon kemudian menutup bahwa kamu jangan bermain imajinasi, sebagaimana juga Fazlur Rahman mengemukakan, itu zaman Rasul tidak ada tarekat, tidak ada sufi. Rasul itu tarekat, tapi juga dia berperang. Bagaimana Islam dengan kebebasan-kebebasan masa lalu itu, berhadapan dengan kekinian yang sangat mengglobal? Dihadapkan dengan sesuatu yang begitu banyak sekali maksudnya. Oleh karena itu, kita perlu pertemuan seperti ini, dengan para ahli, dengan orang-orang yang bisa berbahasa Arab ini, dan dalam istilah Gunawan Muhammad itu, ada keimanan kita yang selalu terselamatkan, bila kita bertemu dengan orang-orang yang hakim dan arif seperti ini. Jadi kalau ada istilah al-amrun bi syai’i amrun bi wa saili, bagaimana mengembalikan Islam bukan dalam pengertian, hanya mengembalikan di dasarnya, tetapi wa sail, wa sail, bagaimana kita juga membawa pada dunia yang serba seperti ini. Terima kasih.
Assalamu’alaikum.
Penyanya keempat: Juftazani
Assalamu’alaiku Wr. Wb.
Namanya saya Juftazani. Mengenai pemurtadan ini, yang disampaikan Mr Zainun Kamal, menurut saya masalah ini bukan dari intern Islam, tapi dari ekstern Islam. Misalnya—maaf kalau ada yang beragama Nasrani—boleh mendirikan gereja selama sampai 60 orang, ada yang 100 orang, itu masih berembuk. Jadi, selama ini masalah pemungutan yang terjadi dan riil pada umat Islam saat ini, itu bukan kerelaan seorang muslim masuk Kristen, atau masuk Budha, masuk Hindu, tetapi ada iming-iming dari luar, mengajak masuk agama mereka. Saya pernah lama di Jogja, ada sebuah certia: seseorang itu mula-mula dikasih beras 1 kilo gram satu bulan, diberi uang 60 ribu. Dia tidak tahu apa maksudnya? Sebagai orang Jawa, karena dia hutang budinya terlalu tinggi, setelah setahun, Bapa silahkan ke kuil sana, atau ke gereja sana. Saya kira kalau orang Islam mau seperti itu, lebih banyak yang masuk Islam daripada masuk ke agama lain. Itu yang pertama. Jadi, saya ingin mempertajam bahwa masalah murtad ini sebenarnya riilnya di mana saat ini? Sementara yang ini, masih konteks lama.
Yang kedua, kepada Bapak Muqsith Ghazali. Saya agak sulit mengadili orang-orang seperti Habib Riziq dalam konteks rasio, ayat-ayal Alquran atau hadits. Saya pernah banyak mendapatkan cerita dari teman bahwa satu kelompok yang jika saya masuk masjid, atau rumah dia, setelah saya pulang dilap tempat duduk saya, atau sajadah itu dicuci lagi. Jadi berarti, mereka menganggap selain mereka itu kafir, tidak masuk surga. Konteks mereka itu di mana? Atau seperti Habib Riziq itu—kalau Habib Riziq menurut saya itu sisa-sisa Orde Baru. Jadi kalau dari segi Islam mereka itu barangkali Khawarij, mungkin itu sisa-sisa Orde Baru di mana mereka Bapaknya presiden Suharto sendiri begitu, menanamkan hal semacam ini, sehingga masih tersisa sampai sekarang. Saya sendiri terus terang, di mana orang tua saya berasal dari tarikat Naqsabandiah, namun kemudian saya masuk tarikat Idrisiah. Di situ dikatakan bahwa kita itu belum bisa masuk surga, produk surga Allah itu mahal, kita tidak bisa mencapai surga itu, kecuali Allah ridha pada saya, sampai sekarang. Jadi saya begini ini, bukan masalah mandang-memandang, orang-orang kadang-kadang, Pa Juftazani, hormat, assalamualaikum, seolah-olah saya seperti syeikh, saya kira setan juga bisa memakai pakaian begini. Saya inginnya, memakai begini, anggap biasa saja, saya hanya melakukan sunnah Rasul, keinginan saya. Tapi orang menganggap luar biasa, Rasul, dan lain sebagainya, padahal saya juga banyak dosa.
Saya ingin bertanya kepada mas Ghazali tentang bagaimana mengadili orang semacam ini, dengan alasan-alasan logika, Alquran, dan hadits? Kalau selama ini saya barangkali masa bodoh saja, atau kalau ketemu juga tidak komprehensif alasan-alasan yang saya kemukakan. Saya kira cukup sekian, terima kasih.
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Moderator: Sunaryo
Saya kira Bapak Zainun Kamal dipersilahkan untuk menjawab lebih dulu.
Jawaban
Pembicara pertama: Dr. Zainun Kamal
Terima kasih. Tentang pendirian gereja, saya kira umat Islam kurang memahami juga apa yang terjadi di kalangan Kristen atau Nasrani. Misalnya di sebuah perkomplekan, kemudian mereka mengadakan kebaktian itu di rumah, kenapa mengadakan di rumah? Karena tidak boleh mendirikan gereja. Orang Kristen, karena dia terdiri dari berbagai macam-macam sekte, kalau kelompok A misalnya, dia tidak bisa untuk melakukan kebaktian di gereja B. Walaupun tempatnya jauh dia akan datang ke sana, di mana saja. Misalnya dia gereja Batak, walaupun ada gereja lain yang lebih dekat, dia akan tetap datang ke gereja Batak kendati lebih jauh. Karena sulitnya membuat gereja, mereka mengadakan kebaktian di perumahan. Itu kita harus sadari juga.
Kemudian, kalau dikatakan tadi, mereka (orang non Islam) memberikan iming-iming, saya kira itu suatu kewajiban mereka, kita harus berterima kasih. Di saat umat kita miskin, tidak mampu kita membantunya, dan dibantu orang lain, kenapa kita tidak menerima? Di bulan puasa kemarin waktu di Bekasi itu, mereka adakan bazar, kemudian mereka jual murah segalanya. Kenapa kita tidak terima? Seharusnya kita membeli, dan dia membantu kita. Kita hanya su’udzan, kenapa kita tidak membantu umat kita yang lemah? Ada cerita dari Bandung begini: ada seorang ibu yang mempunyai dua orang anak. Ibu ini janda, mempunyai dua anak, yang satu di Aliyah yang satu di SMP sekolahnya. Karena sang ibu ini janda, tidak mampu membiayai anaknya sekolah, akhirnya ibu ini terpaksa menjual diri untuk membiyai anaknya. Akhirnya orang-orang gereja mengetahui, kenapa ibu ini berbuat begitu? Diberikan bantuan kepada ibu tadi untuk membiayai anaknya sekolah, akhirnya kemudian si ibu tadi tertari pada gereja, dan dia masuk Katolik. Setelah masuk Katolik kita ribut, kenapa orang itu diiming-imingi? Persoalannya, kalau kita tanyakan, mana yang lebih baik menjadi seorang wanita pelacur atau manusia baik? Sedangkan substansi kita manusia baik, dan dia sudah diselamatkan oleh orang Kristen. Waktu dia miskin kita biarkan, kita tidak membantu, dibantu oleh orang lain kita marah. Kalau kita tidak sepakat, kenapa kita tidak membantu mereka? Karena itu, eksistensi keberagamaan sesungguhnya adalah kebaikan itu sendiri, pemberian kita itu. Saya melihatnya dari sana.
Kemudian menjawab Bapak Nanang tentang Israel, mungkin kalau ada teman-teman PKS saya minta maaf di sini ya, karena memang kalau dilihat dalam kitab Perjanjian Lama waktu Ibrahim berada di daerah Yerussalem, itu memang Tuhan sudah menjanjikan kepada anak cucunya, ini daerah untuk anak cucu kamu, setelah Ibrahim hijrah dari Kan’an ke Yerussalem. Kemudian Ibrahim pergi ke Mesir, kembali lagi ke Yerussalem dan meninggal di sana. Kemudian anak cucunya, misalnya Ya’qub berada di Mesir, sampai ke nabi Musa, kemudian eksodus tujuannya adalah ke Israel, Yerussalem, memang tujuan itu daerah mereka. Kemudian ada Daud, ada Sulaiman, dibangunlah di sana, itu perkampungan orang Yahudi memang, sampai kepada Kristen, dan kemudian dia terusir. Islam masuk, dan wilayah itu diambil oleh Umar. Saya berpendapat, itu memang daerah sucinya orang Yahudi, tanah sucinya, kenapa kita harus kita rebut? Tanah suci kita Mekkah, Madinah sudah ada, orang Kristen sudah ada Vatikan, sudah ada Iskandariah. Itu memang hak mereka. Islam sebagai pendatang, itu sebabnya mereka mengatakan, “tidak ada perdamaian tanpa tanah.” Itu memang tanah mereka. Kemudian, persoalannya diangkat oleh Arab atas nama agama, itu hanya untuk menarik simpati kita saja. Ini perang agama Islam dan Yahudi, tidak, ini perang tanah sesungguhnya. Bagi saya tidak ada masalahnya, Arab saja yang mengangkat atas nama agama itu, kemudian didukung pula oleh PKS di sini. Itu aneh. Di waktu Palestina di embargo oleh Amerika dan Eropa—coba anda lihat kemarin ini—PKS turun ke jalan-jalan mengumpulkan dana, kenapa sekarang ketika peristiwa Jogja tidak turun ke jalan untuk memungut dana? Jadi hanya sentimen agama saja yang dipupuk, saya kira begitu.
Saya menganggap agama Islam ini sudah salah semenjak dari nabi Muhammad dulu, jadi salahnya Islam ini semenjak dari nabi Muhammad. Di mana? Coba lihat waktu Islam, nabi kita menerima wahyu di kota Mekah, sampai 13 tahun dia menyebarkan Islam, tidak ada kekuasaan di tangan dia. Orang menganut Islam, karena keimanan itu bukan persoalan paksaan, dan itu tidak bisa dipaksa. Dan itu 13 tahun, coba bayangkan itu, dan lebih separuh Alquran turun di kota Mekah. Waktu pindah ke Madinah, ditawarkan oleh Autazadra untuk menjadi kepala negara, ini kepala negara bukan ditunjuk oleh Tuhan. Nabi yang ditunjuk sebagai kepala negara hanya Daud dan Sulaiman, lainnya tidak. Ini Muhammad ditunjuk oleh Autazadra, diterima. Itu persoalannya, karena itu bercampurlah antara kekuasaan politik dan agama, yang sesungguhnya kekuasan politik itu bukan tugas agama dari nabi Muhammad. Karena itu pula, bangkitalah etnis Quraishnya di sana. Itu sebabnya, setelah beliau wafat lebih rusak lagi, muncul Abu Bakar, al aimatu min quraish, yang berhak menjadi imam adalah quraish, itu berbahaya betul, etnis Quraish.
Yang pada mulanya Islam agama kemanusiaan, sekarang ini menjadi agama para Quraish itu. Kemudian ditunjuk Umar, ditunjuk Utsman, ditujuk Ali, lanjut kepada Mu’awiyah, lanjut kepada Abbasyiah, itu semunya Quraish. Islam sudah rusak sejak dari sana. Karena itu saya kira, Islam itu harus kita bebaskan dari persoalan politik. Saya kira begitu persoalannya. Itu sebabnya, mungkin dulu apa yang disarankan Cak Nur—sekarang cukup banyak yang menyuarakan—partai politik no, itu harus konsisten kita perjuangkan. Karena Islam tidak perlu diperjuangkan melalui politik, kalau Islam diperjuangkan melalui politik, Islam akan rusak ke depan. Karena politik adalah penuh dengan kepentingan-kepentingan.
Tanggapan penanya: Juftazani
Bapak Zainun, kalau dijadikan satu fokus bahasan, ini akan panjang. Karena menurut saya Islam dan negara itu tidak bisa dipisah.
Jawaban pembicara pertama: Dr. Zainun Kamal
Seharusnya dipisah. Itu kekeliruannya saya bilang tadi, karena sudah munculnya kekuasaan. Sedangkan Islam bukan agama kekuasaan, di sini rusaknya Islam itu, semenjak dari Abu Bakar, dan Abu Bakar itu Quraish. Sesungguhnya di Madinah itu ada Abu Ubaidah itu yang hebat, tapi karena dominasi Quraish kemudian Abu Bakar menunjuk Umar, Umar tunjuk Utsman, itu juga Quraish, tunjuk Ali, itu Quraish semua. Perbedaannya coba anda lihat, dengan Mu’awiyah itu perbedaan bani. Tetapi kekuatan orang lain tidak berdaya, Madinah tidak berdaya. Pilihannya hanya jatuh pada bani Hasyim atau bani Mu’awiyah, dan itu Quraish semua. Karena itu dominasi Quraish sangat dominan, itu sebabnya tadi saya bilang, saya mengkritik Abu Bakar itu, karena itu. Daerah-daerah itu semua dikuasi oleh Quraish, orang-orang Arab merasa ketakutan, dan mereka masuk Islam akhirnya. Sebenarnya masuk Islam itu bukan karena kehendak dia, tapi karena paksaan tadi itu.
Itu sebabnya mereka kemudian, setelah nabi wafat kembali pada agama mereka. Dan merasa lebih kuat—seperti Musailamah tadi—ini daerah kita, daerah kaya, kenapa dikuasai oleh Quraish? Karena itu mereka murtad. Yang mengistilahkan murtad itu, adalah kelompok-kelompok Abu Bakar, Quraish ini. Dan, karena Quraish diidentikan dengan Islam, ini kekeliurannya. Musailamah dituduh sebagai al-kadzzab, itu sama saja Karl Marx dituduh ateis oleh orang gereja, yang mengatakan ateis itu orang gereja. Mungkin dia secara fitrahnya bertuhan murni, ia benar. Karena itu, Islam harus dibebaskandari itu, atau semua agama harus dibebasakan dari itu. Saya yakin, karena memang pesan dari Alquran juga, tidak ada manusia yang tidak bertuhan, asyhaduhum ala anfusihim ala tubrubukum qalu bala syahidna, ternyata ketuhanan itu sudah ditanamkan oleh Tuhan kepada manusia. Hanya saja Tuhan yang universal, bagaimana untuk diungkapkan dengan bahasa, berbedalah masing-masing agama. Mungkin orang Kristen dengan orang trinitasnya, tapi trinitas itu dibantah juga oleh Montgemry Watt. Trinitas itu tidak sama dengan tri teis, ini umat Islam yang keliru memahami katanya, dianggap tiga person tuhan, ya tidak. Tapi dia sesungguhnya tauhid murni, monoteis, termasuk Yahudi juga monoteis. Menurut pendapat saya semua agama itu monoteis. Karena itu kembalikanlah agama itu kepada fitrahnya.
Kalau dikatakan surga Tuhan itu sulit, tidak. Kita optimis masuk surga, saya optimis betul itu. Begitu saya kira. Karena itu Islam Madinah berbeda dengan Islam Mekah. Jadi, kita harus mengembalikan kepada Islam Mekah, dan masalah teologi, masalah keimanan itu persoalan Mekah. Hukum-hukum itu persoalan Madinah, karena itu saya sangat sepakat dengan Muqsith tadi, Alquran itu kita lihat—bahkan kalau saya menyatakan, mungkin agak berbeda sedikit dengan Muqsith—bukan hanya nabi Muhammad yang disakralkan, disamakan dengan Yesus Kristus, kita bahkan juga mensakralkan Alquran. Itu keliru. Hal itu terjadi pada masa Syafi’ie, kemudian ditambah Asy’ari dan al-Ghazali yang mensakralkan Alquran, dianggap dia sebagai kalam yang abadi. Padahal Mu’tazilah sudah mengatakan, Alquran itu mahluk, itu sifatnya kemanusiaan. Kalau Alquran itu bersifat ketuhanan, kita tidak bisa menjangkau sama sekali, itu hanya bisa dijangkau oleh orang-orang seperti al-Ghazali. Dia pesimis dengan ilmu dunia masuk ke alam sufi, karena itu ilmu ketuhanan didapat dengan sufi, tidak. Alquran itu bersifat antropomorpis, artinya bersifat kemanusiaan, jadi tidak bersifat ilahi. Itu sebabnya tadi saya katakan tidak ada pahala untuk menghafalnya.
Mas Nanang, tadi saya jelaskan. Sesungguhnya Islam itu jangan dijadikan agama etnis, karena diidentikan antara Quraish dengan Islam menjadi agama. Sesungguhnya Islam itu—kalau dalam istilah Cak Nur—agama yang universal, sangat bersahaja. Karena itu, semuanya sesungguhnya Islam. Kita harus mengakui juga, orang Yahudi itu adalah orang muslim, karena Alquran mengatakan begitu, orang-orang Nasrani itu muslim, katakanlah kalau kita adalah Islam yang sempurna, sedangkan mereka menuju proses kesempurnaan. Mereka itu sebagai saudara-saudara kita. Kita ini sebagai seorang Bapak yang menghargai anak-anaknya. Bagi saya tidak ada masalah perbedaan itu sama sekali. Di dalam Islam itu perbedaan sangat banyak sekali, al-hilal wan nihal, farqu bainal firaq, maqalal isma, itu ratusan aliran-aliran dalam Islam berkembang, bahkan ada yang lebih radikal lagi, “nabi itu tidak perlu,” ada itu. Itu berkembang di dalam Islam.
Di saat ada pemikiran-pemikiran kreatif, diharamkan oleh Majelis Ulama. Islam sekarang di Indonesia ini seperti gereja di abad pertengahan. Jadi saya anggap, Majelis Ulama itu pendeta-pendeta Islam, berkuasa atas nama agama, kemudian setiap yang berbeda dengan dia, termasuk Ahmadiyah dan sebagainya dianggap sesat. Lia Aminuddin disidangkan oleh mereka itu, memilukan betul itu, malu betul itu. Apalagi persoalan Undang-Undang APP dibantu oleh Majelis Ulama, dan para intelektual juga turun, itu bagaimana itu? Saya tidak habis pikir. Islam ini benar-benar menjadi otoriter. Padahal Islam itu menjadi rahmatan lil alamin dan seharusnya begitu. Kapan Islam ini menjadi rahmatan? Kalau dia kembali pada fitrahnya, agama yang bersifat alami tadi. Karena itu, kita tidak mencari perbedaannya.
Sedikit lagi tentang pertanyaan Saudara Halim. Kalau anda baca banyak tentan Nasr Hamid Abu Zaid, saya kira itu sudah cukup bagus. Kalau menurut saya, persoalan di hadapan kita ini banyak sekali, dan seolah-olah kita tidak mampu menghadapi, dan tidak mampu menghadapi tantangan ke depan, kemudian kita lari ke masa lalu kita. Kemudian kita bernostalgia dengan masa lalu—masa lalu yang terbaik itu adalah pada masa nabi—itu sebabnya ada usaha penerapan syariah Islam itu, yang ada seperti masa nabi dulu. Itu zaman yang terbaik, setelah zaman terbaik nabi itu, adalah masa sahabat, kemudian masa tabi’in. Kalau begitu, kita melihat pemahaman agama kita selama ini, semenjak dari nabi ke sini, semakin lama semakin jelek. Semakin lama semakin jelek, karena itu datanglah para sufi. Apa kata para sufi? Dia pesimis melihat dunia, tinggalkan dunia, dan tunggulah turunnya al-mahdi, ratu adil. Itu karena kekecewaan para sufi melihat dunia. Kalau saya mengatakan, dunia ini semakin lama semakin baik, karena itu kita pakai filsafat Mu’tazilah, assalhu huwal aslah, dunia ini semakin lama semakin baik. Saya sangat bermasalah dengan al-Ghazali itu, kenapa? Semenjak menulis buku, Ihya Ulumuddin, menghidupkan ilmu-ilmu agama, kemudian ini dikembangkandi Universitas Nizam Al-Muluk, di Bagdad—itu mata kuliah wajib kalau fiqihnya fiqih Syafi’i—saya paling banyak tidak sepakat dengan al-Ghazali ini.
Saya kira Syafi’i tidak menghargai akal, dia tidak menghargai akal, karena dia menentang imam Abu Hanifah. Abu Hanifah itu aliran yang sangat rasional, kemudian datang imam Syafi’i, yang persoalannya kepada teks tadi. Karena itu Islam, kata imam Syafi’i sudah menyelesaikan semua masalah, Alquran dan hadits. Apa yang sudah? Apa yang sedang? Apa yang akan? Itu sudah diselesaikan oleh Alquran, kembali kepada teks. Kalau tidak ada di dalam teks bagaimana? Kata Syafi’i, sesungguhnya secara implisit sudah ada di dalam teks, tugas akal kita hanya menggali hukum-hukum yang sudah ada pada teks. Inilah yang disebut qiyas. Qiyas itu ada hukum di dalam Alquran, kemudian yang di luar ini ditaik dari sana. Secara implisit semua hukum di dunia ini sudah ada di dalam Alquran, karena itu kembalilah kepada budaya teks tadi. Teks Alquran, teks hadits, teks ulama, karena itu budaya teks berkembang terus. Kareka itu, akal hanya dimanfaatkan untuk menggali teks. Itu sebabnya, al-Ghazali tidak percaya adanya akal rasional, atau para filusuf dan segalanya itu. Karena itu ihya ulumuddin, menghidupkan ilmu agama. Kalau saya sekarang ini—dengan mengutip Hasan Hanafi—dari ihya ulumuddin berpindah ke ihya ulumuddunya, menghidupkan ilmu-ilmu dunia. Kenapa? Karena kemunduran dunia Islam terjadi setelah abad ke-12 pada imam Ghazali. Sains modern pindah ke dunia Islam bagian Barat, kemudian pindah ke dunia Barat, dan dunia Barat inilah yang mengembangkan.
Coba anda bayangkan, Irak dibombardir oleh Amerika, kiai-kiai kita, ulama-ulama kita di sini melakukan istghasah, apa artinya itu? Coba anda bayangkan, bisa tidak bom itu ditahan dengan doa istighasah itu? Bagaimana kiai-kiai itu? Karena menurut pendapat saya, doa dan dzikir tidak ada manfaatnya. Kita harus menghidupkan ulumuddunya. Itu sebabnya, saya secara terus terang mendukung apa yang dikembangkan oleh Iran sekarang. Kalau tidak, kita akan didekti. Dengan adanya nuklir yang dikembangkan Iran ini akan menjadi balance. Kalau terjadi pristiwa ini, pristiwa itu, kita berdoa, apa artinya? Ia tidak bisa dong! Saya kira kelompok-kelompok ini sangat berkuasa sekali. Coba lihat film-film di TV itu, kuasa Ilahi, dan sebagainya, itu merusak betul, merusak Islam ke depan.
Jawaban pembicara kedua: Muqsith Ghazali
Sebagian sudah dijelaskan oleh Bapak Zainun. Saya ingin merespon pertama, pertanyaan dari Halim. Pada mulanya Alquran itu sebuah bahasa lisan, bukan bahasa tulisan. Oleh karena itu, ketika bahasa lisan ditranskrip menjadi bahasa tulis, resonansinya saya kira akan berbeda. Di situlah akan bermula tentang perebutan makna sebuah teks. Pada zaman nabi tidak ada perebutan makna di kalang para sahabat. Karena itu murni adalah bahasa lisan yang hidup di dalam masyarakat, itu adalah wacana yang kongkrit ada di dalam masyarakat. Perdebatan tentang teks itu muncul setelah nabi Muhammad meninggal, persisnya adalah ketika Abu Bakar As-Shiddiq sebagai khalifah, kemudian Umar bin Khattab menyatakan kepada Fatimah, apakah anda Fatimah lupa terhadap pernyataan, atau hadits dari nabi Muhammad, al aimmatu min quraishin? Ini adalah teks hadits yang anda harus tunduk terhdap Bapakmu sendiri. Kemudian kata Fatimah, apakah anda ingin betul merujuk kepada hadits ata tidak? Lalu Fatimah mengeluarkan sebuah hadits lain. Fatimah menyatakan, Rasulullah pernah bersabda, man adzani faqad taballah, barang siapa yang menyakiti saya sama dengan menyakiti Allah, waman adza fatimah faqad adzani, barang siapa yang menyakiti Fatimah seperti menyakiti saya. Dan hari ini kata Fatimah, saya tidak rela kepemimpinan dipegang oleh Abu Bakar As-Shiddiq. Inilah bermula peperangan antar teks, antar tafsir, karena ada persoalan-persoalan politik seperti itu. Akhirnya nanti, semakin tidak karu-karuan persoalan perebutan pemaknaan terhadap teks.
Kalau di dalam fiqih itu cukup populer, ada seorang sahabat bersumpah, tidak akan menyetubuhi istirnya selama satu heid, wallahi ma’atau kahinan, demi Allah saya tidak akan menyetubuhimu selama satu heid. Datang kepada para sahabat, para sahabat berbeda-beda jawabannya. Datang ke Abu Bakar, berarti anda tidak boleh mengumpuli istrimu selama-lamanya, dengan merujuk kepada ayat Alquran, hal ata ‘alal insanu hinun minaddahri, berarti selama-lamanya. Bingung dia, karena selama-lamanya tidak bisa mengumpuli istrinya. Datang kepada Umar bin Khattab, dijawab oleh dia 40 tahun—lama juga—merujuk juga kepada sebuah ayat di dalam Alquran, tu’ti ukulaha kulla hinin, itu cerita tentang pohon kurma yang buahnya bagus bila 40 tahun. Datang kepada Utsman bin Affan, dijawab satu tahun, masih lama juga. Akhirnya dateng kepada Ali bin Abi Thalib, kata Ali bin Abi Thalib cukup sehari semalam. Dasarnya ayat Alquran, hinakum sunah wahina tusbihun. Akhirnya Alquran itu menjadi domain perebutan banyak sekali model-model kepentingan orang, dia bingung sendiri. Akhirnya dijawab oleh Ali, kalau orang seperti Anda jangan ikut medelnya tafsir Abu Bakar, ikut tafsir saya. Setelah satu hari satu malam, baru bisa mengumpuli istrinya lagi.
Jadi, persoalannya adalah persoalan perebutan makna terhadap teks munculnya di situ. Karena kita tidak pernah tahu, makna sebuah teks itu ada di mana. Nasr Hamid Abu Zayd dalam al-Ittijabul akli fil tafsir halaman 78, kalau buku saya, dia menyatakan sekurang-kurangnya ada empat pandangan tentang makna itu berada di mana. Yang pertama, kata dia makna berada dalam diri sang pengarang, kalau Alquran berarti di dalam diri Tuhan. Kita tidak bisa verifikasi terhadap makna yang dikehendaki oleh Tuhan. Yang kedua menyatakan makna itu berada di dalam diri sang pembaca, sehingga orang menjadi sangat bebas untuk menafsirkan ayat-ayat Alquran. Ini biasanya diikuti oleh Muqatil bin Sulaiman. Yang ketiga kata dia, makna itu berada di dalam teks itu sendiri, kemudian dimodifikasi oleh Tuhan. Seperti lafadz sholat, sholat itu makna aslinya adalah berdoa. Kemudian dirubah oleh Tuhan menjadi tatacara ibadah ritual seperti di dalam Islam. Yang keempat menyatakan bahwa makna itu berada di dalam diri Tuhan sendiri, kemudian dimodifikasi oleh manusia dengan akalnya. Jadi, menjadi susah sekali tentang makna itu berada di mana. Orang yang menyatakan bahwa sebuah teks berada di dalam teks itu sendiri, berada di dalam bahasa itu sendiri, cenderung mendekatinya dengan pendekatan kebahasaan. Inilah pendekatan yang sangat lama diikuti oleh sebagian besar umat Islam, dalam bentuk ushul fiqih, kaidah-kaidah penafsiran, di dalam Islam itu pendekatannya adalah kebahsaan, Jam’ul Jawami’ itu karangan Al-Subki itu, 352 halaman berbicara tentang pentingnya mendekati Alquran dari sudut kebahasaan. Al-nya al apa? Lafad am, mukhlas, muqayyad, dan sebagainya, saya kira kalau pesantren biasanya tahu betul tentang itu.
Jadi di situ bermula, menjadi sangat rumit. Akhirnya Alquran, karena hanya dimungkinkan dipahami oleh orang yang mengerti bahasa, ini persyarata seorang mujtahid seperti itu, harus menguasai bahasa Arab, tidak mudah untuk dijamah oleh kalangan bawah. Alquran menjadi sangat elitis dan tidak populis seperti pada zaman nabi. Kalau pada zaman nabi, seluruh orang bisa mengakses langsung kepada Alquran, tapi sekarang harus melalui makelar yang bernama Majelis Ulama Indonesia, itu yang menjadi makelarnya, dan agama akhirnya menjadi tersandra di kalangan aparatur agama sendiri, di kalangan para kiai dan lain sebagainya. Padahal—ini sambil menjawab mas Dadang tadi—pada mulanya agama pengalaman yang personal, individual sifatnya. Tiba-tiba orang percaya sedikit-demi sedikit terhadap kejadian yang menimpa nabi Muhammad di gua Hira’, itu pengalaman yang sangat privat, yang sangat personal. Hanya karena nabi Muhammad menggunakan tangan kekuasaan, yaitu politik kekuasaan, akhirnya sebarannya menjadi sangat pesat, ketimbang pengalaman Yesus Kristus. Saya kira nabi Muhammad belajar dari Yesus Kristus, karena bermain logo tidak menggunakan tangan kekuasaan sehingga sampai meninggal hanya 12 pengikutnya yang setiap kepada dia. Kata nabi mungkin—kalau saya bisa dramatisasi—ini tidak bisa diulangi lagi. Agama hanya mungkin dijalankan dengan tangan kekuasaan, tentu itu tidak berdasarkan wahyu, itu adalah imprivisasu nabi Muhammad sendiri.
Said al-Asmawi di dalam bukunya al-Islam al-siyasi menyatakan, halaman ke-3, aradallahu al-islamadinan wa arada bihinnas al-yakuna siyasatan, (Allah itu sebenarnya menghendaki Islam sebagai agama per se, tapi manusia menghendakinya menjadi politik, menjadi kekuasaan). Itu faktanya adalah nabi Muhammad menjadi kepala negara, persoalannya bagaimana cara kita membedakan dia sebagai kepala negara? Menurut saya umat Islam tidak punya hak untuk menaati kebijakan-kebijakan politik yang pernah ditempuh oleh nabi Muhammad. Pertanyaan Ali Abd Raziq di dalam bukunya Al-islam wa Ushulul Hukm—ini kaya jualan buku—dia menyatakan, hal kana ta’sisun nabi li daulatin siyasia juz’an min risalatihi hamlah (apakah tindakan politik nabi di Madinah menjadi bagian dari risalahnya atau tidak?). Kata Ali Abd Raziq, tidak. Karena itu tidak punya kewajiban bagi umat Islam untuk menaatinya.
Belakangan ada partai di Indonesia yang ingin menghidupkan Piagam Madinah, setelah gagal menghidupkan Piagam Jakarta. Mereka tidak tahu bahwa, pertama Piagama Madinah itu hanya dipakai untuk mengatur tidak lebih dari 500 penduduk di Madinah, itu cukup untuk Depok kira-kira. Tapi dalam jangka waktu dua tahun, Piagam Madinah telah gagal, padahal nabi Muhammad menjadi kepala negara, tidak efektif, akhirnya bubar dengan sendirinya. Bagaimana Piagama Madinah dipakai untuk mengatur sekian banyak manusia di Indonesia, dua ratus sepuluh juta, dengan keanekaragaman etnisnya, agamanya, budayanya, asal-usulnya dan sebagainya. Karena itu sangat tidak memadahi. Piagam Madinah tidak pernah efektif untuk mengatur kerukunan umat beragama terjamin di Madinah, jadi gagal sejak mulai pertama sebenarnya ketika Piagam Madinah itu ditetapkan. Oleh karena itu, kerukunan beragama, atau pluralisme agama hampir tidak pernah punya sejarah sukses dalam seluruh agama-agama, kecuali mungkin yang paling menarik adalah kasus di Spanyol. Di lainnya saya kira gagal semua. Dulu di India misalnya ada uidatul adyan, al-akbar yang mau mempersatukan seluruh agama-agama ternyata gagal. Akhirnya terpecah, pecah, India Pakistan menjadi lepas, Banglades lepas, dan di situ tidak pernah ada cerita tentang pluralisme agama.
Dulu Jakarta Post pernah memberitakan sebuah kisah, ada dua puluh lima ribu umat Islam yang pernah dibantai di India, caranya adalah ditelanjangi, kemudian dilihat, apakah sudah dihitan atau tidak? Kalau sudah dihitan berarti Islam, penggal. Kerajaan Aceh juga pernah melakukan hal yang serupa terhadap dua tentara Belanda dengan cara seperti itu, dihitan atau tidak? Kalau tidak dihintan, penggal. Di Padang, di Sumatera Barat misalnya, ini perdebatan antara kelompok ulama yang tradisional, yang konservatif dengan yang liberal. Ada cerita pada abad ke-16 seorang datuk yang bernama datuk Nan Renceh yang pernah mengharamkan perempuan yang memakai sirih itu (minah), dibunuh karena dianggap bertentangan dengan syariat Islam. Sehingga pada akhirnya kemenangan berada di kalangan ulama yang konservatif.
Kalau kita membaca sejarah, karena kekuatan berada di kelompok adat, ini menyebabkan khatib al-Minangkabawi tidak pernah pulang ke Indonesia. Agus Salim juga susah sekali, bertarung di sana, di Aceh juga begitu. Pertarungan antara—ini sekaligus menjawab pertanyaan Bapak Nanang tentang Islam Indonesia—Hamzah Fansuri melawan Nurudin Ar-Raniri. Itu sebenarnya kemenangan kelompok yang sekarang formalisasi syariat Islam, kemengan kelompok konservatif di tangan kelompok yang liberal. Hamzah Fansuri itu adalah orang pribumi, dia sangat liberal, kemudian datanglah Nurudin ar-Raniri membawa tentang fiqih-fiqih yang legal formalistik, dan sampai sekarang pengaruh Nurudin Ar-Raniri jauh lebih kuat ketimbang Hamzah Fanzuri. Saya tidak tahu bagaiaman bisa terjadi seperti itu di Aceh.
Tanggapan penanya: Nanang Tahqik
Mengapa Rasulullah sebenarnya berfikir kekuasaan bisa efektif, karena di manapun pasti ada kekuasaan. Ada rakyat ada penguasa, ada pemerintahan dan sebagainya. Nah, sejarah sebelum Rasulullah, adalah Romawi, Persia, Yunani, dan seterusnya sampai ke Mesir, jauh di sana selalu ada pemaksaan agama. Maka Rasulullah menjadikan dirinya sebagai contoh, lewat Piagam Madinah dia berusaha dan itu berhasil. Justru inilah ada kekuasaan di mana Yahudi, muslim bisa hidup, bahkan pun mereka pagan, para penyembah berhala. Nah, kalaupun kemudian tidak berhasil karena peperangan, antara Mekah—sama-sama di Hijaz—dan Madinah, itulah kasusnya karena ada pemaksaan. Bahwa jika Rasulullah itu dulu tidak diusir dari Mekah, maka menjadi lain, menjadi lain sekali, bahwa Muhammad tidak akan menjadi kepala negara, tetapi dia bisa hidup di situ, dan tidak akan terjadi perang. Persoalannya adalah dia tidak boleh berdakwah, sementara Muhammad membolehkan orang Quraish berdakwah. Kalau seandainya orang Quraish membolehkan dia berdakwah, kemudian hidup berdampingan, maka dia tidak perlu hijrah. Karena dia perlu hijrah dan sebagainya, maka muncullah peperangan, tetapi itu efektif. Satu-satunya di dunia ini tidak ada kekuasaan atas nama agama bisa menerima pluralitas agama, hanya nabi Muhammad.
Kemudian muncul pada saatnya adalah di masa Spanyol, lalu di masa Akbar, Akbar di masa Safawi, kemudian hancur, dihancurkan oleh Aurankzeb. Aurankzeb bersifat komunalisme, Akbar bersikap sangat pluralis dan bahkan Akbar beristrikan tiga orang Hindu, selebihnya selir semua, bahkan dia mencampurkan antara penyembahan Islam dan Hindu. Istrinya pada saat membawa Hiu dan sebagainya, dicampur dengan Islam pada saat dia sholat. Seperti itu, itu adalah Akbar.
Inilah salah satu contoh bahwa Muhammad memberikan satu kesegaran-kesegaran tentang problema kekuasaan dan rakyat. Tetapi Muhammad adalah orang yang bisa dipercaya, berbeda dari, siapa tadi, Makelar Ulama Indonesia itu. Nabi Muhammad itu jangankan oleh orang Islam, oleh musuhnya saja dipercaya untuk memegang barang-barangnya. Nabi Muhammad itu dimusuhi oleh Abu Lahab, Abu Jahal, tetapi mereka menitipkan barang-barangnya kepada nabi Muhammad, begitu nabi Muhammad mau kabur, “ini tolong kasih nanti ke Abu Jahal, Abu Lahab, ini barang-barangnya yang dititip ke saya,” begitu. Sekarang faktornya adalah tidak ada manusia sekualitas itu, yang bisa dipercaya, seperti itu. Sehingga apapun yang dilakukan oleh Muhammad tidak ada vested interest, maksudanya hanya untuk kemanusiaan, untuk maslahat bersama. Oleh karenanya, pembacaan kita terhadap masanya adalah, pembacaan bagaimana Muhammad sebenarnya menjawab tantangan, berantitesis terhadap kekuasan-kekuasan sebelumnya. Itu yang kemudian diangkat oleh para sejarawan. Terima kasih
Jawaban pembicara kedua: Muqsith Ghazali
Satu hal yang tidak bisa dilupakan adalah ada dua orang mati terbunuh di tangan Muhammad. Orang itu bernama Ufbah bin Abi Muif dan Nathar bin Harits, itu jelas mati terbunuh di tangan nabi Muhammad. Nabi Muhammad juga pernah mau membunuh dua orang sastrawan besar walaupun tidak sampai terjadi. Itu artinya apa? Ya kekerasan, mau ditutup-tutupi kaya apa, ya itulah kekerasan. Karena itu menurut saya, Alquran dan prilaku nabi harus diletakkan dalam konteks peperangan. Dan pembunuhan dalam konteks peperangan, menjadi tidak masalah, karena pertempuran harus dilakukan. Ini menarik pernyataan Hasan Hanafi dalam bukunya Dirasat Falsafiah, kata dia alwahyu laitsa khorija zaman habitan la ya tawayya’ walakin dahila zaman bitatowwaru bitatowwirihi—karena orang pesantren jadi banyak hafal—wahy itu bukan berada di luar konteks yang tidak mengalami perubahan, dia berada di dalam konteks yang berkembang sesuai dengan tingkat capaian peradaban manusia. Alquran waktu itu turun di luar konteks peperangan, karena itu banyak sekali slogan-slogan peperangan mengajak membunuh orang lain.
Nah, ayat-ayat seperti ini—kembali kepada yang tadi—menurut saya tidak bisa dilucuti dari konteksnya yang universal, yaitu agenda pembebasan, agenda untuk menolong kalangan-kalangan yang tertindas. Karena jangan lupa, bahwa kenapa nabi Muhammad dimusuhi sedemikian rupa di tangan mereka. Ini ada sejarah yang tak terliput, karena dahulu itu ada delapan orang yang mencalonkan diri sebagai nabi, ada Muhammad bin Abdirrahman, jadi ada delapan. Memang di dalam Alkitab, di dalam Bibel pernah dikisahkan katanya—yang kemudian terjadi tahrik—bahwa nanti ada orang yang bernama Muhammad menjadi nabi. Pada waktu itu ada delapan orang bernama Muhammad, Muhammad bin Abdirrahman rebutan, jadi perang-perangan juga, perang sastra-satra begitu, nabi Muhammad juga dibikinin, tapi karena nabi Muhammad ini pandai mempengaruhi orang, politiknya jalan, akhirnya publik tiba-tiba tersedot ke dia, dan secara defacto, secara kultural dia mendapatkan dukungan kuat dari Quraish, karena Bapaknya dia orang Quraish. Jadi, menduduki mayoritas itu menjadi sangat penting sekali, kaya presiden Indonesia itu, Jawa, 70 % penduduk Indonesia Jawa. Siapa yang menguasai Jawa, jadi. Nabi Muhammad juga begitu, menguasai Quraish, dan dikumpulkan itu apakah Yahudi ataupun Nasrani, kecuali nanti nabi Muhammad gagal merangkul kelompok Yahudi di Najran. Jadi, Yahudi dan Nasrani di Najran itu pernah bertengkar, dan gagal untuk disatukan oleh nabi Muhammad. Kemudian yang hanya mengikuti nabi Muhammad adalah Nasrani.
Ini adalah permainan politik nabi Muhammad yang luar biasa. Karena itu, saya menduga nabi Muhammad tidak mau mengikuti Yesus Kristus yang gagal, sampai meninggal hanya 12 orang pengikutnya. Jadi kembali pada yang tadi, pluralisme agama itu menjadi susah sekali diterapkan. Seluruh agama tidak ada yang bersih dari darah, seluruhnya: apakah Hindu di India, Budha di Thailand misalnya, Amerika Selatan dengan Amerika Utara, dahulu luar biasa, tujuh ribu lima ratus menurut yang dicatat oleh Amstrong. Di Prancis bagian selatan juga pernah terjadi pertumpahan darah yang luar biasa, Aurankzeb itu misalnya sangat ketus orangnya, pernah misalnya menghancurkan tiga ratus lima puluh patung-patung di sana. Patung-patung Budha. Karena disangka—kalau bahasanya Din Syamsudin kira-kira—ini pornoaksi. Padahal orang-orang sufi itu rata-rata biasanya—orang-orang sufi besar pada zaman Abbasyiyah itu—punya gambar foto-foto perempuan telanjang di dalam kamar pribadinya. Seperti Harun ar-Rasyid itu banyak sekali foto-foto perempuan telanjang, karena apa? Lihat Ibn Arabi di dalam—menjadi ke mana-mana—Alfutuhat Almakkiah, karena sifat jamal dan kamalnya Allah itu tampak, tajalli di dalam tubuh perempuan.
Nah, yang terakhir, yang sekarang lagi marak persoalan perebutan identitas, ini yang lagi ramai di Indonesia walaupun di Eropa sendiri seperti di Belanda. Misalnya sekarang di Sumatera Barat Pa Zainun, di situ ada perebutan tentang rumah Gadang, rumah Gadang itu milik siapa? Ada yang bilang itu milik Islam. Katanya pernah ada perjanjian bahwa rumah Gadang tidak bisa dimiliki oleh orang non-Islam. Akhirnya orang non-Islam dilarang untuk membangun gereja dalam struktur desain rumah Gadang, bertengkar itu. Seperti di Belanda sekarang tentang arsitektur masjid, pertarungan apakah masjid dari desain Turki atau desain dari Maroko dan lain sebagainya, bertengkar itu. Jadi masuk juga persoalan perebutan-perebutan seperti itu. Akhirnya apa? Agama memang menjadi rumit.
Cara yang paling mudah untuk ditempuh, segera melakukan revisi ulang terhadap agama. Itu yang harus dilakukan. Ketika agama sudah tersandra di tangan aparatur para elit agama, dia harus dilepaskan. Selalu saja yang melakukan revisi itu adalah anak-anak muda. Nabi Muhammad itu sangat muda ketika merivisi agama nenek moyangnya, Yesus Kristus sangat muda, nabi Musa juga begitu. Di tangan orang-orang seperti Bapak Nanang, mas Budi inilah nasib Islam itu, apakah mau direvisi atau kita percaya begitu saja.
Moderator: Sunaryo
Oke, mungkin karena kita punya keterbatasan waktu. Seharusnya tadi setengah satu sudah selesai, tetapi sekarang sudah lewat sepuluh, diskusinya, kita cukupkan dulu, dan bagi yang masih mau berdiskusi nanti bisa di luar. Diskusi kita kali ini cukup menarik tentang toleransi di dalam Islam, saya tidak akan menyimpulkan lebih lanjut, tapi ada satu catatan dari saya selaku moderator, ada adagium yang cukup terkenal misalnya, bahwa dalam masalah tafsir itu sebenarnya tidak ada yang tahu dalam masalah menafsirkan, tetapi yang salah itu ketika orang merusak atau menyakiti orang lain. Jadi, ada orang seperti Habib Riziq, ada orang seperti Bapak Zainun, mas Muqsith, semua penafsiran itu secara prinsip mungkin bisa kita katakan sah, tetapi ketika misalnya Habib Riziq melakukan sweeping itu yang menjadi problem. Nah, tapi kita juga punya kepentingan atas tema toleransi ini, agar tafsir yang toleran didorong lebih meluas daripada forum yang sempit ini, sehingga paling tidak ada banyak yang bisa tercerahkan. Saya tutup saja diskusi kita kali ini, saya akhiri,Assalamu’alaikum Wr. Wb.
0 komentar:
Posting Komentar