Dalam berbagai pergesekan sosial yang melibatkan mayoritas dan
minoritas, tanpa kita sadari sebenarnya seringkali terjadi jika mereka
yang berada di baris mayoritas tiba-tiba disudutkan dan dipojokkan.
Setiap ada sebuah perselisihan antar kelompok maka hampir bisa
dipastikan sang mayoritas menjadi yang dipersalahkan. Sebagian
mengatakan "ah...itu perbuatan tidak toleran, tidak menghargai perbedaan
dan menindas kaum minoritas." Dengan menggalang opini dari berbagai
pihak, mengatasnamakan HAM, kebebasan berfikir, dan
bla...bla...bla...mereka yang sebenarnya "minoritas biasa" tiba-tiba
mejadi "minoritas yang dominan". Contoh paling mudah kita jangkau adalah
kasus Ahmadiah (minoritas) dan kaum muslim kontra Ahmadiah (mayoritas).
Dalam banyak pemberitaan, dipersepsikan bahwa sepertinya sang mayoritas
adalah pihak yang dianggap tidak dewasa, kekanak-kanakan dan sok benar
sendiri. Mereka yang melakukan tindakan pembelaan terhadap Manhaj
pemikiran mayoritas kemudian dicap arogan dan penyuka kekerasan untuk
mengatasi masalah. Dengan cerdiknya, mereka minoritas benar-benar
memanfaatkan setiap momen untuk menempatkan dirinya sebagai pihak yang
teraniaya, terdzalimi hak nya, dan korban dari kesewenang-wenangan pihak
mayoritas.
Saya tidak ingin mengatakan bahwa apapun tindakan yang dilakukan kaum
mayoritas adalah sebuah kebenaran. Namun, yang perlu diingat adalah
mereka kaum mayoritas juga orang-orang yang mengerti aturan dan
tatakrama, terdidik dengan baik dan tentunya juga sadar nilai. Jika
kemudian terjadi hal-hal yang kurang baik, maka yang harus benar-benar
diperhatikan adalah akar permasalahan atau bara dalam sekam yang membuat
kabut permasalahan itu kian menebal. Jangan sampai kita disibukkan
dengan komentar-komentar terhadap ekses atau hasil dari peristiwa itu
dan melupakan sebab, asal muasal perselisihan itu terjadi. Jika kemudian
kita lantang ikut-ikutan latah membela monoritas karena mereka
dipukuli, diusir dari desanya, dll maka kita tidak sepenuhnya benar.
Akan menjadi sepenuhnya benar jika kemudian kita menyelami akar masalah
pergesekan dan kemudian menggali gambaran sepadan antara pro dan kontra
dari berbagai fakta lapangan yang bisa dijadikan bahan diskusi.
Polarisasi pendapat tentu tetap akan terjadi, pasti akan tetap terbentuk
kelompok pendukung dan penentang, namun setidaknya kelompok ini lebih
jelas landasan pemikirannya yaitu pemikiran yang berlandaskan "pemahaman
akar masalah" bukan karena segelintir pengetahuan tentang efek domino
dari pokok masalah. Menjadikan benar dan salah sebagai pijakan dalam
hubungan masyarakat mayoritas dan minoritas adalah sebuah kemustahilan.
Hal ini disebabkan oleh kerelatifan makna kebenaran itu sendiri.
Masyarakat mayoritas tentu mempunyai nilai yang dianggap paling benar,
demikian juga masyarakat minoritas. Memaksakan kedua kebenaran itu
menjadi hanya satu kebenaran saja akan menjadi sangat sulit, terlebih
jika perselisihan itu terkait dengan keyakinan. lalu apa yang bisa
dilakukan untuk bisa menciptakan hubungan mayoritas dan minoritas yang
lebih harnomis dan selaras? Sederhana saja. Tahu diri, tahu kewajiban
dulu baru menuntut hak. Mereka yang mayoritas harus bisa melindungi,
membina dan juga mengarahkan mereka yang minoritas. Keistimewaan mereka
sebagai mayoritas harus juga dibarengi dengan toleransi yang baik "great
power comes great responsibility". Sebaliknya bagi mereka yang
minoritas juga harus sadar posisi mereka. Jika mereka sudah bisa
mendapatkan perlakuan yang layak, maka menjunjung tinggi toleransi
terhadap kaum mayoritas adalah sebuah keniscayaan. "dimana bumi dipijak
disitu langit dijunjung" dimana kita berada atau hidup, adalah sebuah
keharusan bagi kita untuk menghormati adat istiadat, kebiasaan, nilai,
dan teramasuk kepercayaan pada masyarakat itu (mayoritas). Sedikit saja
salah satu pihak itu kemudian melewati batas, maka prahara sosial adalah
hasil terburuk yang pasti akan menimpa. Toleransi sepertinya bukan
(hanya) kewajiban kaum mayoritas.
0 komentar:
Posting Komentar