A. PENGERTIAN TERORIS
Secara
konseptual, terdapat berbagai definisi mengenai terorisme mulai dari
Kauppi, Whittaker, Cronon, Chalk, Choamsky, dll. Namun, dari berbagai
pengertian tersebut dapat disimpulkan secara umum untuk
memahami
terorisme, yaitu suatu aksi kekerasan yang mempunyai motivasi politik
dan fundamental serta power dengan tujuan untuk menebarkan teror dan
ketakutan baik psikologis maupun fisik terhadap orang-orang sipil tak
berdosa (publik). Berdasarkan definisi umum tersebut, terdapat lima
elemen dalam terorisme, yaitu
(1) motif dan tujuan politik,
(2) ancaman dan kekerasan,
(3) efek psikologis dan teror terhadap publik atau korban,
(4) diatur dengan rapi melalui rantai komando atau struktur jaringan sel antar teroris,
(5) dilakukan oleh aktor non-state.
Dari lima elemen tersebut ada lima karakteristik terorisme, yaitu
(a) aksi terorisme biasanya memakan korban yang masif,
(b) ada hubungannya dengan gerakan religius,
(c) memiliki jaringan organisasi terstruktur diberbagai negara,
(d) memiliki akses dan kemampuan untuk menggunakan WMD, dan
(e) adanya wilayah abu-abu dalam memahami fenomena terorisme itu sendiri,
Aktivitas
terorisme sangatlah signifikan bagi penyebaran teror dan efek
psikologis pada publik. Tentunya aksi-aksi terorisme tersebut pada
akhirnya akan mengancam keutuhan dan kesatuan sebuah negara bahkan dalam
skala regional. Hal ini dapat dilihat dari gerakan-gerakan separatis
atau pembrontakan oleh suatu kelompok etnik atau agama tertentu yang
menimbulkan ekses terhadap instabilitas nasional yang pada akhirnya akan
memicu instabilitas kawasan karena semakinboardeless-nya proksimitas
antar negara.
Jika
ditinjau dari aspek geopolitik ASTENG, maka dapat kita ketahui bahwa di
negara-negara kawasan ini sangatlah rentan untuk memunculkan gerakan
dan serangan teroris. Pertama, dapat dilihat terutama di Indonesia,
Malaysia, Thailand Selatan, dan Philipina yang merupakan wilayah
jaringan teroris internasional Al-Qaida. Kasus gerakan separatisme GAM
dan DPO Azhari dan M. Top (keduanya WN Malaysia) di Indoensia
membuktikan jaringan teroris tersebut ada, dan ini dikaitkan terutama
dengan pembentukan harakat atau militansi Islam seperti FPI, Laskar
Jihad, JI, KISDI, dll yang diklaim memiliki hubungan dengan Al-Qaida
atau Ikhwanul Muslimin. Terlebih gerakan pembrontak Moro di Filiphina
dan Pattani di Thailand Selatan diklaim juga merupakan bagian dari
jaringan Al-Qaida di kawasan Asia Tenggra. Kedua, dinamika kawasan juga
turut mempengaruhi ancaman security negara-negara asia tenggara ini,
terutama China dianggap sebagai ancaman security dengan semakin besar
anggaran militernya telah memberikan pandangan tersendiri ASEAN terhadap
kebangkitan China tersebut. Ketiga, ancaman internal yang berwujud
konflik intra-regional ASEAN telah berkontribusi bagi instabilitas
regional. Pada akhirnya ketiga hal tersebut akan memberikan ekses
terhadap persepsi ancaman security baik intra-regional maupun
ekstra-regional bahkan internasional dengan anggapan bahwa kawasan Asia
Tenggara merupakan basis jaringan terorisme internasional dan ini akan
berpengaruh terhadap semakin rawannya security di kawasan ASEAN.
Implikasinya adalah cita-cita untuk mencapai Komunitas Keamanan Bersama
ASEAN semakin terhambat.
Oleh
karena itu, melalui kerangka ASEAN, negara-negara Asia Tenggra tersebut
melakukan respon kolektif dalam mengatasi terorisme baik regional
maupun internasional. Hal ini diwujudkan dalam inisiatif Join Action
Pemimpin ASEAN “ASEAN Leaders Declare Join Action to Counter Terrorism,”
untuk mengkonter terorisme. Join Action (JA) tersebut berisi delapan
poin penting, yatiu:
1. meninjau dan menguatkan mekanisme national untuk membasmi terorisme;
2. meratifikasi perjanjian anti-terorisme, termasuk mendukung Konvensi Internasional mengenai supresi pendanaan terorisme;
3. bekerjasama dengan aparat penegak hukum antar negara untuk membasmi terorisme;
4. mengadopsi Konvensi-konvensi Internasional mengenai terorisme yang sesuai dengan mekanisme ASEAN;
5. memperluas hubungan dan pertukaran informasi dan intelegen yang berguna untuk mempersempit dan mencegah terorisme;
6. pembangunan kapasitas regional ASEAN dalam investivigasi, deteksi, pengawasan, dan pelaporan mengenai terorisme;
7. saling bertukar pendapat atau ide guna meningkatkan peran dan keterlibatan ASEAN dalam membasmi terorisme; dan
8.
menguatkan kerjasama di level bilateral, regional, dan internasional
serta membentuk kerjasama komprehensif dalam kerangka PBB.
Teror
atau Terorisme tidak selalu identik dengan kekerasan. Terorisme adalah
puncak aksi kekerasan, terrorism is the apex of violence. Bisa saja
kekerasan terjadi tanpa teror, tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan.
Terorisme tidak sama dengan intimidasi atau sabotase. Sasaranintimidasi
dan sabotase umumnya langsung, sedangkan terorisme tidak. Korban
tindakan Terorisme seringkali adalah orang yang tidak bersalah. Kaum
teroris bermaksud ingin menciptakan sensasi agar masyarakat luas
memperhatikan apa yang mereka perjuangkan. Tindakan teror tidaklah sama
dengan vandalisme, yang motifnya merusak benda-benda fisik. Teror
berbeda pula dengan mafia. Tindakan mafia menekankan omerta, tutup
mulut, sebagai sumpah. Omerta merupakan bentuk ekstrem loyalitas dan
solidaritas kelompok dalam menghadapi pihak lain, terutama penguasa.
Berbeda dengan Yakuza atau mafia Cosa Nostra yang menekankan kode
omerta, kaum teroris modern justru seringkali mengeluarkan pernyataan
dan tuntutan. Mereka ingin menarik perhatian masyarakat luas dan
memanfaatkan media massa untuk menyuarakan pesan perjuangannya.
Namun,
belakangan, kaum teroris semakin membutuhkan dana besar dalam kegiatan
globalnya, sehingga mereka tidak suka mengklaim tindakannya, agar dapat
melakukan upaya mengumpulkan dana bagi kegiatannya.
Mengenai
pengertian yang baku dan definitive dari apa yang disebut dengan Tindak
Pidana Terorisme itu, sampai saat ini belum ada keseragaman. Menurut
Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak
mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima
secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna
Terorisme tersebut. Oleh karena itu menurut Prof. Brian Jenkins, Phd.,
Terorisme merupakan pandangan yang subjektif. Tidak mudahnya
merumuskan definisi Terorisme, tampak dari usaha Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) dengan membentuk Ad Hoc Committee on Terrorism tahun
1972 yang bersidang selama tujuh tahun tanpa menghasilkan rumusan
definisi.
Pengertian
paling otentik adalah pengertian yang diambil secara etimologis dari
kamus dan ensiklopedia. Dari pengertian etimologis itu dapat
diintepretasikan pengembangannya yang biasanya tidak jauh dari
pengertian dasar tersebut .
Menurut
Konvensi PBB tahun 1937 , Terorisme adalah segala bentuk tindak
kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud
menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok
orang atau masyarakat luas.
Menurut
Hukum Amerika Serikat, rumusan terorisme dalam United States Code,
Section 2656f(d): premeditated, politically motivated violence
perpetuated against noncombatant targets, usually intended to influence
an audience.
Definisi ini memberi tekanan pada motivasi politik, namun mengenai sasaran Terorisme, hanya memperhatikan sasaran sipil .
Menurut
TNI - AD, berdasarkan Bujuknik tentang Anti Teror tahun 2000, terorisme
adalah cara berfikir dan bertindak yang menggunakan teror sebagai
tehnik untuk mencapai tujuan .
Menurut
Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1, Tindak Pidana Terorisme
adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai
dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Mengenai perbuatan apa saja
yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam
ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6, 7, bahwa
setiap orang dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika:
1.
Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan
suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau
menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas
kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau
mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang
strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas
internasional (Pasal 6).
2.
Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud
untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara
meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara
merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain
atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital
yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau
fasilitas internasional (Pasal 7).
Dan
seseorang juga dianggap melakukan Tindak Pidana Terorisme, berdasarkan
ketentuan pasal 8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dari banyak definisi yang
dikemukakan oleh banyak pihak, yang menjadi ciri dari suatu Tindak
Pidana Terorisme adalah:
1. Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut.
2. Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu.
3. Menggunakan kekerasan.
4. Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah.
5.
Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku,
yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama.
Mengenai
fenomena terorisme yang ditinjau dari aspek definisi dan trend
kemunculan aksi-aksi terorisme terutama di negara-negara muslim seperti
Timur Tengah yang diklaim oleh Barat merupakan basis dari gerakan
teroris kontemporer, atau yang disebut sebagai militansi Islam. Fenomena
dan isu terorisme pasca 9/11 telah berdampak bagi ancaman security baik
nasional, regional, maupun internasional, yang dapat menggangu dimensi
human security. Hal inilah yang menjadi dasar bagi ASEAN untuk merespon
isu terorisme secara bersama dalam kerangka kerjasama regionalnya.
B. ANALISIS TERORISME DI TINJAU DARI TEORI KONFLIK
Pasca
tragedi teror telah memberikan ekses yang signifikan bagi keamanan
global dimana tragedi itu menunjukkan bahwa tidak ada tempat yang aman
di dunia ini dari serangan terorisme. Terlebih di era globalisasi
sekarang, akses informasi dan komunikasi dapat berlangsung cepat, dunia
semakin boarderless, dan transaksi keuangan semakin mudah dilakukan.
Kondisi ini yang membuat terorisme semakin terfasilitasi sehingga segala
aksi yang mereka lakukan semakin efektif. Tak heran jika aksi yang
mereka lakukan telah menimbulkan ekses global walaupun dilakukan di
sebuah negara atau suatu region. Implikasinya adalah ancaman terhadap
dimensi human security karena pemahaman akan terorisme bukan lagi pada
ranah traditional security tapi lebih pada nontraditional security. Hal
ini terkait dengan perubahan politik global pasca CW dimana tipologi
konflik cenderung menyerupai konflik-konflik pada abad pertengahan yang
diwarnai oleh konflik antar etnik atau suku bangsa bahkan kelompok
agama. Inilah yang kemudian memiliki ekses terhadap suburnya terorisme
di era sekarang, dimana seperti yang ia kutip dari Chalk bahwa konflik
tersebut terjadi di negara-negara yang multietnik dan rawan separatisme.
Pada akhirnya, kondisi tersebut dapat memicu dan ditunggangi oleh
kelompok teroris dari negara lainnya. Sehingga semakin nyata bahwa
gerakan teroris identik dengan tujuan-tujuan politik yang ingin dicapai
melalui cara-cara kekerasan atau teror.
Kajian terhadap terorisme ini menggunakan objek formal filsafat
analitika bahasa. Filsafat analitika Bahasa Wittgenstein menjelaskan,
tentang praktek penggunaan ungkapan bahasa dalam kehidupan manusia.
Ungkapan bahasa dalam pengertian ini bukanlah bahasa secara harfiah,
melainkan ungkapan di dalam realitas kehidupan manusia. Sebagaimana
halnya seniman sastra menciptakan karya sastra, sajak, novel; protes
atau demo merupakan ungkapan bahasa dalam kehidupan politik;
Penindasan
dan ketidakadilan sosial seringkali disebut sebagai penyebab dari
terorisme yang terjadi di abad ke-21 ini, sehingga kebangkitan terorisme
internasional juga tidak terlepas dari konstelasi geopolitik global,
khususnya di Timur Tengah. Namun apa pun penyebab dan motivasi
terorisme, peristiwa ultimate sudden attack (serangan sangat mendadak)
pada tanggal 11 September 2001 yang dilakukan oleh jaringan al-Qaeda,
telah menimbulkan rasa marah dan benci di setiap hati manusia saat itu.
Siapa pun yang bertanggung jawab atas kejadian tersebut, jelas sudah
melakukan sesuatu kesalahan dan tindakan kriminal. Tetapi sebaliknya,
tragedi tersebut sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai suatu alasan,
untuk kemudian Amerika Serikat boleh melakukan aksi pembalasan dengan
melakukan pembantaian yang serupa juga terhadap orang-orang lain yang
tidak bersalah (Castro, 2002). Aksi kedua-duanya, baik terorisme maupun
kampanye anti terorisme yang telah mengakibatkan manusia yang tidak
bersalah menjadi korban, merupakan tindak kejahatan terorisme. Korban
terorisme tidak pernah mempersoalkan, apakah mereka terbunuh atau cacat
sebagai akibat dari suatu kesengajaan atau ketidak sengajaan. Terorisme
yang dilakukan oleh teroris atau pejuang, juga bukan merupakan hal yang
signifikan bagi para korban, yang telah kehilangan segala-galanya,
termasuk dan terutama kegelapan akan hari depan anak-anaknya. Dewasa ini
masyarakat internasional termasuk bangsa Indonesia masih dibayangi oleh
rasa khawatir akan adanya bahaya terorisme yang dapat muncul lagi
sewaktu-waktu. Hal ini mengingat hakikat karakter terorisme yang selalu
mampu untuk timbul kembali, setelah ketenggelamannya. Sifat tersebut
laksana unslaying hydra (hewan imajiner Yunani yang tak pernah mati)
(9/11 Commission Report, 2004) atau Candabirawa (raksasa sakti azimat
Raden Narasoma dalam cerita wayang Jawa, yang selalu ‘patah tumbuh
hilang berganti’). Terorisme dapat terjadi secara tiba-tiba terhadap
sasaran siapa saja, tak terkecuali, tanpa batas-batas teritorial negara
(borderless) di belahan dunia mana pun. Suatu hal yang sangat
menakutkan umat manusia karena terorisme tidak mengenal rasa belas
kasihan. Anehnya, mengapa kekejaman seperti pembantaian terhadap orang
lain yang tidak bersalah dan terkadang pengorbanan diri mereka sendiri,
misalnya dalam peristiwa suicide bomb (bom bunuh diri), terkadang juga
mendapat pembenaran? Karena sejarah mencatat, bahwa istilah ‘terorisme’
sebagai suatu definisi bersifat inkonsisten. Beberapa individu yang
sebelumnya dikenal masyarakat sebagai pelaku terorisme, pada waktu yang
berbeda dan keadaan yang berubah, telah menjadi pahlawan yang di
elu-elukan masyarakat. Contohnya, beberapa pemimpin kelompok teroris
Yahudi seperti Yitzhak Shamir dan Manachem Begin, pada akhirnya berhasil
mencapai kedudukan sebagai Perdana menteri Israel, setelah nama mereka
dulu pernah tercatat sebagai pemimpin-pemimpin ’Palmach’ (1940) dan
jaringan ’Irgun’ (1944), organisasi-organisasi kaum teroris yang paling
dibenci Inggris bahkan dunia internasional. Semua kini telah berubah dan
keadaan bahkan telah terbalik, karena para teroris yang dibenci dunia
itu kini diakui masyarakat internasional sebagai pahlawan-pahlawan.
Dengan
demikian terorisme menjadi sulit untuk dinyatakan sebagai suatu
kejahatan yang tercela sepanjang sejarah, walaupun sepanjang sejarah
pula, terorisme dalam etika, norma, moral, dan estetika kehidupan umat
manusia tidak mempunyai nilai. Tapi mengapa para teroris tersebut justru
menilai jiwa manusia hanya sebagai gejala materi semata-mata, membunuh
tanpa batasan, dengan tak terkecuali? Jawaban atas pertanyaan tersebut
bersifat epistemologis, yaitu karena para teroris dan simpatisannya
sama-sama mengalami kegalatan kategori (category mistake). Kegalatan
kategori kategori mengandung arti ketidakmampuan untuk membedakan
sesuatu terhadap yang lain.
Memang
terorisme adalah suatu fenomena sosial yang sulit untuk dimengerti,
bahkan oleh para terorisnya sendiri. Tanpa pendidikan yang memadai
sekalipun, seseorang dapat melakukan aksi terorisme yang menggetarkan
dunia dan berimplikasi sangat luas. Taktik dan teknik teroris terus
berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
sedangkan strateginya berkembang seiring dengan keyakinan ontologis atas
ideologi atau filsafat yang menjadi motifnya. Terorisme menggunakan
cara-cara, ungkapan-ungkapan dan bahasanya sendiri dalam perjuangan
mewujudkan tujuannya. Mereka menggunakan pembenaran epistemologis
sendiri dan menafsirkkan ideologi-ideologi dan ungkapan kebenaran dengan
cara melakukan manipulasi makna. Bahkan manipulasi ungkapan bahasa
kebenaran tersebut kerapkali bersumber dari kaidah-kaidah agama, namun
ditafsirkan dan dimanipulasikan dengan ungkapan bahasa sebagai dasar
pembenaran dalam segala tindakannya yang revolusioner dan dramatis.
Osama
bin Laden sebagai pemimpin jaringan al-Qaeda, yang sebagian terbesar
merupakan warga yang memposisikan diri dari wilayah centrum (pusat),
berada pada posisi yang tidak layak untuk mempengaruhi pikiran seluruh
umat Islam di luar Arab termasuk Indonesia, yang diposisikan di wilayah
periferi (pinggiran). Hal tersebut terbukti bahwa ucapan bersifat
performatif Osama Bin Laden yang dilontarkannya, tidak membangkitkan ide
yang sama dalam pikiran sebahagian besar kaum muslimin di Indonesia.
Bahkan terjadi suatu silang pemikiran, sehingga mereka mempunyai gagasan
yang berbeda dan cenderung menolak. Ungkapan Osama bin Laden dalam
memperjuangkan gagasan-gagasannya, dinilai oleh umat Islam non-Arab
termasuk Indonesia, cenderung tidak mempertimbangkan realitas, kondisi
sosial dan tradisi nasional masing-masing bangsa sendiri. Di samping itu
jaringan al-Qaeda dipandang bersifat anti intelektual dan bersifat
superfisial yang berhaluan keras .
Dewasa
ini terorisme telah memiliki dimensi yang sangat luas dan berhubungan
dengan berbagai aspek kehidupan manusia, sehingga tidak dapat
dikategorikan lagi sebagai aksi dalam suatu low intensity conflict
(konflik berintensitas rendah). Sasaran terorisme tidak hanya kehidupan
politik sebagaimana pada awal kemunculannya, melainkan telah merambah
sehingga menghancurkan semua sendi kehidupan manusia, seperti
menghancurkan segenap infrastruktur sosial, ekonomi dan terusiknya rasa
kemanusiaan dalam masyarakat dunia yang beradab.
C. TUJUAN TERORIS MENURUT TEORI KONFLIK
Tujuan
terorisme sebagai suatu realitas adalah mendominasi kekuasaan
universal, sehingga menyulut terjadinya konflik. Konflik universal yang
terjadi sekarang adalah antara dua jalur, yaitu jalur yang didasarkan
kepada fundamentalisme (dalam istilah Wahid,2009 = garis keras), dengan
jalur yang didasarkan pada pemikiran sekuler demokrasi liberal dalam
praksis yang tidak etis. Kedua tesis tersebut tidak mungkin saling
bertemu, karena terorisme berada pada posisi yang saling menolak. Azas
penolakan yang tumbuh subur dan berkembang pada masyarakat
fundamentalis, tidak mempunyai dasar suatu penghayatan yang positif,
melainkan berdasarkan atas penyangkalan terhadap perobahan
sosial-kultural, yang dibawa oleh arus globalisasi. Dengan demikian
fundamentalisme hidup di atas azas penolakan, sehingga di luar
kelompoknya mereka senantiasa menemukan musuh dan ancaman.
Fundamentalisme itu juga bukan konsep keagamaan tradisional, melainkan
suatu modernitas yang terbalik. Dalam hal ini dinyatakan oleh Franz
Magnis Suseno : “Para teroris tidak dapat menghindarkan diri mereka dari
penggunaan segala macam hasil teknologi maju, yang justru ditemukan
berdasarkan nilai-nilai modernitas yang mereka tolak sendiri” .
KESIMPULAN
Pengertian
terorisme secara filosofis yang dapat berlaku sepanjang zaman adalah
sebagai berikut : Terorisme merupakan tindak kejahatan yang tidak
tunduk kepada aturan apa pun, karena nilai kebenarannya terletak di
dalam dirinya sendiri.
Dari
sisi historis, istilah ‘terorisme’ sebagai suatu definisi mengidap
sifat inkonsisten dalam dirinya. Artinya bahwa beberapa individu yang
sebelumnya dikenal masyarakat sebagai pelaku terorisme, pada waktu yang
berbeda dan keadaan yang berubah, telah menjadi pahlawan yang
dielu-elukan masyarakat.
Terorisme termasuk ke dalam kategori ‘Perang Inkonvensional’ yang tidak tunduk kepada hukum internasional.
Bahasa
yang digunakan dalam terorisme ternyata terbelah atas dua tata
permainan bahasa, yaitu mengancam dan berdo’a yang dipergunakan dengan
sekaligus. Tata permainan bahasa yang terbelah dalam terorisme tersebut
menunjukkan, bahwa para teroris mempunyai kepribadian yang terbelah
(split personality).
DAFTAR PUSTAKA
Abuza, Zachary, 2002, “Tentacles of Terror: Al Qaeda’s Southeast Asian Network,” Co
Abas, Nasir, 2007, Melawan Pemikiran Aksi Bom Imam Samudra dan Noordin M. Top, Grafindo Khazanah Ilmu, Jakarta.
Makalah,
Seminar Terorisme Suatu Tantangan bagi POLRI, oleh Tim Perumus Seminar,
Lemdiklat POLRI Sekolah Lanjutan Perwira, hal. 5.
0 komentar:
Posting Komentar