Hari Jumat yang lalu kita digegerkan oleh
berita sadis yang datang dari Timur Tengah, dimana terdengar kabar via
Radio bahwa pasukan ISIS membakar hidup-hidup tawanan mereka. Entah apa
yang ada dipikiran mereka, yang jelas sang majikan mereka yakni pendiri
agama Islam sama sekali tidak pernah melakukan sesat perbuatan semacam
itu. ISIS dengan Khilafah versinya semakin hari terus bertransformasi
menjadi sebuah kekuatan yang anti kemanusiaan.
Khilafah saat ini telah menjadi momok yang
sangat menakutkan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia dan dunia
internasional. Kehadirannya dinilai identik dengan unsur radikalisme dan
terorisme. ISIS (Islamic State of Iraq and Suriah) sebagai salah satu
contohnya, adalah sekelompok umat Islam yang tengah berjuang mendirikan
paham Khilafah dengan pendekatan kebencian, permusuhan dan kekerasan.
Mereka tidak segan-segan akan menyerang, membunuh dan menghancurkan
siapapun yang berbeda paham dengannya. Untuk selanjutnya ISIS bertekad
memperluas paham Khilafahnya ke berbagai belahan dunia termasuk
Indonesia.
Kata Khilafah berasal dari Bahasa Arab,
yang secara istilah mengandung arti, sistem kepemimpinan dalam Islam
yang bertujuan untuk menegakkan syariat Islam. Makna Khilafah ini
senantiasa disandingkan dengan unsur politik, yang memiliki orientasi
utama membentuk pemerintahan, meraih kekuasaan dan mendirikan Negara.
Itulah mengapa dalam perkembangannya istilah Khilafah digunakan untuk
menyebut Negara Islam itu sendiri (Al-Khalidi, 1980:226).
Didalam sejarahnya, Khilafah mengalami
transformasi konsep dan tujuan. Yang pada awalnya berorientasi pada
nilai-nilai spiritual, lalu berubah menuju orientasi politik dengan pola
pikir yang senantiasa berkutat pada teritori, wilayah dan kekuasaan.
Berdasarkan kesaksian sejarah, masa
keemasan Khilafah Islam yang sejati hanya berjalan selama 30 tahun saja,
yakni pada masa Khilafah Rasyidah atau yang dikenal sebagai Khilafah
Nubuwwah (Sistem kepemimpinan yang melanjutkan misi kenabian Rasulullah
saw).
Setelah masa keemasan tersebut, sistem
Khilafah berubah drastis menjadi sistem Kerajaan yang lekat dengan
realita perebutan dan mempertahankan kekuasaan. Beberapa dinasti silih
berganti memegang tampuk kekuasaan sebagai Raja, yang kala itu disebut
Khalifah. Namun setelah ribuan tahun, sistem ini berakhir tepatnya pada
tanggal 3 Maret 1924, dimana Khilafah (Kerajaan) Ustmaniyah di Turki
dibubarkan oleh Mustafa Kemal at-Taruk.
Kesadaran umat Islam pada hari ini untuk
bangkit dari keterpurukan, ditandai dengan upaya penegakan Khilafah.
Umat Islam ingin kembali hidup dengan kemuliaan di bidang ekonomi,
politik, budaya, sains, teknologi dan yang terpenting adalah terbebas
dari ‘penjajahan’ serta dominasi negara-negara Barat. Bahkan lebih dari
itu, sebagian umat Islam melalui Khilafah bercita-cita untuk menguasai
dunia, meskipun harus dengan cara-cara yang radikal. Cara inilah yang
kemudian diperjuangkan oleh ISIS yang sejatinya bertolak belakang dengan
karakter hakiki agama Islam.
Sistem Khilafah dalam Islam sebetulnya
tidaklah benar-benar runtuh, karena pada tahun 1908 Ahmadiyah telah
berhasil mendirikannya. Khilafah ini berdiri setelah sebelumnya diawali
dengan kebangkitan seorang Reformer, yakni Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad
as., yang atas dasar wahyu yang diterimanya, ia mendakwakan diri sebagai
Imam Mahdi dan Al-Masih yang dijanjikan. Beliau
hadir dengan misi untuk melanjutkan risalah Nabi Muhammad SAW. diakhir
zaman ini, yakni memenangkan agama Islam diatas semua agama.
Untuk menyempurnakan misinya, pada tanggal
23 Maret 1889, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as., mendirikan Jamaah yang
bernama Jama’ah Ahmadiyah. Nama Ahmadiyah diambil dari salah satu nama
sifat Rasulullah SAW., yakni Ahmad, (HR. Bukhari 2354 dan
Muslim 4896). Nama Ahmad ini mengisyaratkan warna perjuangan Ahmadiyah
yang bersifat humanis, lemah lembut, santun, simpatik, dan
penuh kasih sayang dalam menyampaikan keluhuran akhlak Islam dan
Rasulullah SAW. Sama sekali nihil dari tindakan yang mengandung unsur
radikalisme dan terorisme.
Proses berdirinya Khilafah Ahmadiyah
memiliki kesamaan dengan berdirinya Khilafah Rasyidah. Kesamaan tersebut
diantaranya, sama-sama tegak diatas jalan kenabian atau Khilafatan ‘Ala Minhaajin Nubuwwah.
Khilafah ini sama-sama diawali dengan kebangkitan seorang utusan Allah.
Kemudian, Sang Khalifah sama-sama dipilih melalui lembaga musyawarah.
Dan yang paling penting, tujuan Khilafah ini sama-sama bercorak rohani
bukan politis. Khilafah ini tidak membutuhkan teritori, wilayah,
kekuasaan dan Negara. Karena wilayahnya berada dihati manusia yang
berada diseluruh dunia tanpa mengenal batas negara dan meliputi seluruh
alam.
Perjuangan Khilafah Ahmadiyah berfokus
pada misi perbaikan akidah, ibadah dan akhlak manusia secara utuh.
Memperjuangkan setiap hamba untuk dekat kepada Penciptanya, lalu
berkhidmat terhadap sesama. Khilafah ini membangun persatuan umat Islam
dalam satu Jamaah dan satu pemimpin untuk mewujudkan perdamaian dunia.
Tentunya Khilafah ini akan kembali menghidupkan sistim ekonomi Islam
yang pro keadilan melalui sistem pengorbanan harta, membangkitkan
penguasaan ilmu pengetahuan, sains dan peradaban yang mulia sesuai
akhlak Rasulullah saw.
Dalam rangka mencapai kedekatan dengan
Sang Pencipta dan konsisten dalam membangun perdamian. Khilafah
Ahmadiyah terus memperjuangkan agar kalam Ilahi dipahami oleh masyarakat
dunia melalui penterjemahan Al-Quran ke dalam berbagai Bahasa. Kemudian
membangun ribuan bahkan ratusan ribu rumah Tuhan dan rumah perdamaian
melalui pendirian masjid diseluruh dunia.
Khilafah ini bangkit dalam jihad
mensejahterakan dan menyehatkan umat manusia melalui pendirian sejumlah
sekolah dan rumah sakit di berbagai pelosok negara. Mengirimkan
guru-guru dan dokter-dokter sukarelawan keseluruh penjuru dunia
semata-mata untuk mengkhidmati nilai kemanusiaan dengan cinta dan kasih
sayang.
Khilafah Ahmadiyah saat ini telah eksis di
lebih 200 negara dunia. Hidup dengan damai dan terus berkontribusi
membangun negara dimana pun berada. Hal ini terjadi karena Khilafah
Ahmadiyah telah meninggalkan secara total konsep penyatuan antara agama
(din) dan negara (daulah) semenjak awal berdirinya. Sehingga sampai
kapan pun tidak akan pernah memiliki cita-cita dan upaya pendirian
Negara Islam. Dimana pun orang Ahmadiyah tinggal, dia akan taat pada
hukum nasional negara tersebut bahkan dengan penuh tanggung-jawab ikut
berjuang membangunnya.
Beberapa nama menjadi bukti loyalitas para
Ahmadi terhadap negaranya masing-masing. Sebut saja di Pakistan, kita
kenal Sir Muhammad Zafrullah Khan yang menjadi Menteri Luar Negeri
pertama Pakistan dan Professor Abdus-Salam, seorang Ilmuwan muslim
pertama peraih Nobel dibidang Fisika. Demikian pula di Indonesia muncul
nama Olich Solichin juara Badminton Piala Thomas, Arif Rahman Hakim yang
dikenal sebagai Pahlawan Ampera dan pencipta lagu kebangsaan Indonesia
Raya WR. Supratman.
Perbedaan yang nyata antara Khilafah ISIS
dan Khilafah Ahmadiyah akan menjadi bukti mana yang sejalan dengan
fitrah manusia serta sesuai dengan ajaran Islam. Dan mana yang tidak?
0 komentar:
Posting Komentar