Menarik memang salat Idul Fitri kali ini.
Nuansa panas setelah Pilkada Jakarta yang membuat polarisasi atau
perpecahan di tengah-tengah masyarakat. Perpecahan ini bukan lagi
persoalan SARA, tetapi sudah menjadi perpecahan antara mereka yang baik
dan mereka yang jahat. Seperti dalam keyakinan kuno tiongkok, selalu ada
yin dan selalu ada yang.
Kalau dalam memahami siapa yang yin dan
siapa yang, sudut pandang dan berdiri di pihak yang mana akan menjadi
penentu. Jika kubu yang satu menganggap bahwa kubunya yang baik, maka
kubu yang satu lagi menganggap kubunya lah yang baik dan benar.
Semua menjadi terpecah karena politisasi
surat Al maidah 51. Dimana kubu yang satu meyakini bahwa pemimpin
haruslah beragama Islam (tanpa konteks) dan yang lain meyakini bahwa
pemimpin tidaklah dilihat dari agamanya (dengan konteks). Itulah mengapa
polarisasi terpecah antara mereka yang menolak Ahok karena non muslim
dan mereka yang menerima Ahok meski dia non muslim.
Polarisasi ini terasa ketika politisasi
masjid pun menjadi pemicu yang massif mengenai tafsir surat Al Maidah
51. Bahkan salah satu calon Gubernur, kita sebut saja namanya Anies
Baswedan, di acara Mata Najwa memiliki pandangan bahwa pemimpin memang
haruslah beragama Islam. Tanpa menunggu waktu yang lama, perpecahan pun
terjadi.
Bangsa terluka dan terciderai karena sudah
lagi bukan sekedar wacana tetapi sudah menjadi kenyataan. Seorang nenek
menjadi korban tidak dishalatkan jenazahnya di masjid gara-gara dia
mendukung Ahok. Peristiwa yang akhirnya membuat Anies “terpaksa” membuat
seruan penolakan aksi spanduk diskriminasi pendukung Ahok.
Semua sudah terlanjur terjadi. Luka yang
sampai saat ini belum juga pulih dengan sempurna. Apalagi, tukang
provokasinya masih ada dan masih terus bersuara lantang. Itulah mengapa,
ketika Quraish Shihab menjadi khatib untuk salat Id di Masjid Istiqlal,
penolakan dari kubu bumi datar dan kaum intoleran bergema.
Tetapi kalau yang menjadi khatib adalah
Bachtiar Nasir, Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI dan
Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), mereka
anteng-anteng aja. Bagaimana tidak, Bachtiar ini adalah salah satu
pimpinan mereka dan juga salah satu penyokong dana.
Lalu apa yang pada akhirnya dikhotbahkan
oleh dua khatib ini?? Sekali lagi, karena berbeda kubu, maka isi
khotbahnya pun akan terpusat pada perbedaan tersebut. Berikut
perbedaanya:
Jika ingin melihat naskah khotbah secara penuh dari Qurasih Shihab silahkan ke sini. Tetapi secara garis besar akan saya tampilkan outlinenya.
PENDAHULUANAllah Akbar, Allah Akbar, Wa Lillahil Hamd.Dengan takbir dan tahmid, kita melepas Ramadan yang insya Allah telah menempa hati, mengasuh jiwa serta mengasah nalar kita. Dengan takbir dan tahmid, kita melepas bulan suci dengan hati yang harus penuh harap, dengan jiwa kuat penuh optimisme, betapa pun beratnya tantangan dan sulitnya situasi. Ini karena kita menyadari bahwa Allah Maha Besar. Allahu Akbar! Allahu Akbar!Musyawarah demi Kemaslahatan
Kesatuan-kesatuan tersebut antara lain. Pertama, kesatuan seluruh makhluk karena semua makhluk kendati berbeda-beda namun semua diciptakan dan di bawah kendali Allah. Itulah “wahdat al-wujud/Kesatuan wujud” – dalam pengertiannya yang sahih.Kedua, kesatuan kemanusiaan.Ketiga, di pusat tauhid beredar juga kesatuan bangsa. Dan karena itu pula, pemimpin tertinggi Al-Azhar, Prof. Dr. Ahmad At-Thayyib, berkata: “Dalam tinjauan kebangsaan dan kewargaannegaraan, tidak wajar ada istilah mayoritas dan minoritas karena semua telah sama dalam kewargaan negara dan lebur dalam kebangsaan yang sama.”Kesadaran tentang kesatuan dan persatuan itulah yang mengharuskan kita duduk bersama bermusyawarah demi kemaslahatan dan itulah makna “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawatan perwakilan”. ْAkhirnya, walau bukan yang terakhir, perlu juga disebut kesatuan jati diri manusia yang terdiri dari ruh dan jasad.Iblis dan Hoax
Dengan beridul fitri, kita hendaknya sadar tentang peranan Iblis dan pengikut-pengikutnya dalam menyebarluaskan fitnah dan hoax serta menanamkan perilaku buruk serta untuk memecah belah persatuan dan kesatuan.PENUTUPAkhirnya, mari kita jadikan ‘idul fithri, sebagai momentum untuk membina dan memperkukuh ikatan kesatuan dan persatuan kita, menyatupadukan hubungan kasih sayang antara kita semua, sebangsa dan setanah air.Marilah dengan hati terbuka, dengan dada yang lapang, dan dengan muka yang jernih, serta dengan tangan terulurkan, kita saling memaafkan, sambil mengibarkan bendera as-Salâm, bendera kedamaian di tanah air tercinta, bahkan di seluruh penjuru dunia.“Ya Allah, Engkaulah as-Salâm (kedamaian), dari-Mu bersumber as-Salâm, dan kepada-Mu pula kembalinya. Hidupkanlah kami, Ya Allah, di dunia ini dengan as-Salâm, dengan aman dan damai, dan masukkanlah kami kelak di negeri as-Salâm (surga) yang penuh kedamaian. Maha Suci Engkau, Maha Mulia Engkau, Yâ Dzal Jalâli wal Ikrâm.
Lalu bagaimana dengan isi khotbah Bachtiar Nasir??
Tidak ada naskah lengkapnya yang sudah
saya telusuri. Mungkin karena tidak pakai naskah khotbahnya. Tetapi
Bachtiat dalam khotbahnya menyinggung mengenai Pilkada Jakarta, lalu ada
juga menyinggung masalah kebangkitan umat Islam dalam aksi 212, lalu
juga menyinggung surat Al Maidah 51. Berikut kutipannya dari beberapa
media.
“Walau ada yang menuduh Pilkada Jakarta adalah pilkada yang berbau SARA tapi itu hanyalah orang-orang munafik yang gagal memahami,” kata Bacthiar di lapangan masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu (25/6).“Bukan cuma masjid Al-Azhar yang iktikafnya meningkat 100 persen. Rata-rata peningkatan jemaah iktikaf, sampai 100 persen, bahkan di beberapa masjid meningkat 200 persen. Ini pertanda, jangan salah paham dengan kondisi ini,” ujar Bachtiar.“Tidak ada lembaga atau seorang pun yang mengerakan ini karena ini ibadah. Dan peningkatan jemaah subuh, dan ini salat yang paling berat bagi orang munafik.”“Banyak orang ber-KTP Islam mengaku muslim, salat bahkan haji dan berumrah. Tapi orang-orang yang mengaku Islam ini banyak tidak yang memikirkan Islam dibenaknya,” kata Bachtiar.“Karena dalam surat Al-Maidah kita tidak bisa main-main dalam memilih pemimpin. Siapapun pemimpinmu lama-lama akan cara berpikirmu sama dengan pemimpinmu,” katanya.
Membandingkan kedua isi khotbah ini pada
akhirnya membuat kita memahami mana yang ilmu tafsir dan pemahamannya
yang dalam dan menyeluruh. Mana yang sedang mengajarkan fitrah yang
sebenarnya dan mana yang masih sibuk khotbahkan Pilkada Jakarta dan
surat Al Maidah 51.
Saya jadi teringat saat seseorang
mengajarkan kepada saya perbedaan level kedalaman keIslaman seseorang.
Jika levelnya seperti Gus Dur dan Quraish Shihab dan yang sealiran, maka
mereka itu disebut Islam yang tinggi dan luhur. Karena sudah sampai
kepada pemaknaan Islam yang sesungguhnya yang berarti damai, selamat,
tunduk, dan bersih.
Sedangkan model FPI dan yang sealiran
adalah islam level rendah. Islam yang bahkan tidak bisa memahami makna
Islam yang berarti damai, selamat, tunduk, dan bersih. Karena itu, sikap
dan tingkah mereka penuh kebencian dan menyebarkan sikap-sikap
kebencian tersebut. Sayangnya, malah yang beginian yang kemarin berhasil
memprovokasi umat dalam aksi 212.
Level kedalaman inilah yang membuat seseorang berbeda pada akhirnya memahami #ArtiRamadhan. Lalu yang manakah kita??
Salam Khotbah.
0 komentar:
Posting Komentar