Kerja cerdas dan keras Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk meredahkan
ketegangan akibat ajakan demo besar-besaran FPI dan kelompok Muslim
Garis Keras lainnya nampak memberi dampak. Seperti diketahui, Jokowi
telah bertemu Jenderal Prabowo Subianto yang juga Ketua Umum Partai
Gerindra, juga rivalnya di Pilpres 2014. Jokowi juga bertemu pimpinan
dan ulama dua ormas Muslim terbesar di Indonesia, yaitu Muhmmadiyah dan
Nahdatul Ulama (NU), serta Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kepada media
dan tokoh-tokoh agama telah dihimbau agar berperan aktif mendinginkan
suasana. Pihak kepolisian dan TNI berkomitmen akan bekerja profesional
menjaga dan mengawal kegiatan demonstrasi agar berjalan tertib dan
damai. Pimpinan FPI juga memberi jaminan akan berlangsungnya demonstrasi
damai. Suasana panas terasa mereda dan terkendali setelah para tokoh
yang didekati Presiden bersepakat mengawal demonstrasi tidak anarkis.
Presiden juga memberi penegasan tidak akan mengintervensi proses hukum
yang sedang dilakukan atas sangkaan pelecehan agama oleh gubernur
petahana, Basuki Tjahaya Purnama (Ahok). Penegasan ini menjawab salah
satu tuntutan demonstran. Meskipun demikian, dugaan saya tidak akan
menghentikan niat para pendemo yang menargetkan 500-an ribu partisipan
dengan tujuan akhir berdemo di istana. Mobilisasi demonstran dari
berbagai daerah sudah berlangsung sehingga sudah pasti akan berlangsung
sesuai rencana sebelumnya. Betapapun tuntutan mereka sudah terjawab.
Menteri Koordiantor bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto
mempertanyakan relevansi pelaksaan demo terkait telah terjawabnya
tuntutan mereka. Pertanyaan kritis Jenderal Wiranto menarik, sebab
nampaknya tujuan utama demonstrasi FPI bukan sekadar menaikkan tuntutan
yang seharusnya sudah terjawab itu. Mereka akan tetap berdemonstrasi,
termasuk di masa depan. Mengapa? Ada beberapa alasan. Pertama; perbedaan
titik pijak. Jokowi mewakili negara melihat demonstrasi FPI dkk sebagai
bentuk artikulasi kepentingan kelompok masyarakat yang lazim di negara
demokrasi. Karenanya itu merupakan hak politik warga negara yang
dilindungi konstitusi. Sementara, FPI dkk melihat demonstrasi sebagai
protes atas ketidakadilan negara. Dalam hal ini, presiden dan aparat
dianggap lamban menangani kasus Ahok sehingga demonstrasi dimaksudkan
“memaksa” negara menegakkan keadilan. Demonstran sudah memiliki posisi
dalam kasus ini sehingga yang dilakukannya adalah memaksa negara
bergeser ke posisi mereka. Kedua; perbedaan tujuan. Tujuan Jokowi
mengakomodir pilihan jalur demontrasi oleh demosntran adalah memelihara
iklim demokrasi yang diatur dalam konstitusi (UUD’45). Yaitu kebebasan
berserikat dan mengeluarkan pendapat. Sementara, tujuan FPI dan
teman-temannya adalah menangkap dan memenjarakan Ahok. Poin ini jelas
menjadi salah satu tuntutan demosntrasi 4 November 2016. Perbedaan
tujuan ini tidak mudah dipertemukan. Satunya berdiri kokoh di atas dasar
negara dan kepentingan NKRI, sementara lainnya di atas dasar politik
kepentingan dan kekuasaan primordial. Ketiga; dari aspek hukum dan
fungsi ketatanegaraan, penanganan kasus hukum ini berada di tangan
aparat hukum. Artinya sebagai kepala eksekutif Jokowi tidak punya
kewenangan mengurus kasus Ahok. Proses hukum, sebagaimana dituntut oleh
para demonstran pun, telah dan sedang dalam proses penyidikan. Menurut
Kapolri Jenderal Tito Karnavian di acara Mata Najwa yang disiarkan 2
November 2016, setidaknya 21 saksi dari berbagai unsur sudah dimintai
keterangan, yaitu dari Kepulauan Seribu, dari unsur Staf Ahok, unsur
ahli meliputi ahli bahasa, ahli agama, ahli hukum pidana, dsb. Bahkan,
Ketua FPI, Habib Rizieq pun sebagai pelapor segera dipanggil untuk
memberi kesaksian atas permintaannya sendiri sebagai saksi ahli. Ahok
sebagai terlapor direncanakan dipanggil 7 November 2016 untuk diperiksa.
Jadi, tuntutan pendemo sudah dilakukan, bahkan sebelum mereka
menuntutnya. Dalam proses penyidikan ini apabila bukti-bukti mencukupi
maka kasusnya dinaikkan ke tahap penuntutan. Tetapi, bila bukti tidak
cukup maka kasus dihentikan. Di tahap penuntutan pun, apabila Jaksa
(JPU) dapat menghadirkan bukti-bukti valid dan kuat maka pengadilan akan
memutuskan status tersangka. Tetapi, bila JPU tidak bisa membuktikan
dakwaannya maka terdakwa akan dibebaskan. Jadi, prosedur dan tahapan
hukum negara cukup panjang. Sementara, dari sisi FPI, Ahok sudah
terbukti bersalah. Prosedurnya sudah cukup di MUI, ketika memberikan
interpretasi bahwa Ahok “secara meyakinkan” telah menista agama Islam.
Dengan kata lain, bagi FPI “fatwa MUI” merupakan vonis (keputusan) yang
memiliki kekuatan hukum tetap. Aparat negara seharusnya segera
tindaklanjuti dengan mengeksekusi putusan itu, yaitu menangkap dan
memenjarakan Ahok. Kelambanan aparat menangkap Ahok ditengarai sebagai
indikasi “intervensi” kekuasaan yang melindungi Ahok, dan juga bentuk
ketidakadilan negara terhadap kasus yang diadukan. Aspek praduga tak
bersalah merupakan bahasa formal, bahkan azas penting dalam hukum
negara. Sementara di mata hukum agama (Islam versi FPI dkk), Ahok sudah
jelas bersalah menista agama, seperti yang sudah “diputuskan” oleh MUI.
Karenanya harus dihukum. Tidak ada alternatif lain. Keempat; standar
keadilan bagi Jokowi adalah proses yang sesuai hukum negara, dimana hak
terlapor dan pelapor sama-sama dilindungi oleh undang-undang. Sementara
keadilan bagi FPI adalah mengeksuksi keputusan MUI. Apa yang mereka
anggap sebagai benar itu harus dianggap demikian pula oleh negara.
Kelima; sulit mempercayai omongan bahwa rentetan demonstrasi ini tidak
terkait Pilkada DKI 2017. Rekam jejak FPI, Amien Rais, Fadli Zon, Fahri
Hamzah yang berpartisipasi dalam demonstrasi ini penuh dengan semburan
emosi kebencian dan penolakan Ahok sebagai gubernur. Sejak pelantikan
Ahok-Djarot tahun 2014, yang bermuara pada pelantikan gubernur tandingan
FPI. Fakta itu terlalu kuat untuk diabaikan seolah-olah gerakan ini
murni karena penistaan agama. Berbeda dengan rekam jejak Ahok yang sejak
menjadi bupati di Belitung Timur yang 90-an% warganya muslim, hingga
menjadi Wakil dan kemudian Gubernur DKI, tidak terdeteksi adanya
kebencian atau pelecehan kepada agama Islam. Bahkan, tidak sedikit hal
positif dan membangun yang dilakukannya bagi Islam, seperti membangun
masjid, meng-umrohkan para penjaga masjid, dsb. Apa artinya? Tujuan
jangka panjang FPI dan kelompok pendukungnya adalah menjatuhkan Presiden
Joko Widodo. Unsur-unsur dan tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya
tidak berbeda dengan yang terjadi pasca pilpres 2014. Publik tentu masih
ingat sebutan Amien Rais untuk pilpres sebagai “perang badar,” lalu
berbagai kampanye hitam lainnya hingga penolakan terhadap hasil real
countyang memenangkan pasangan Jokowi-JK. Menjatuhkan Ahok, atau
mendiskualifikasi Ahok dari Pilkada DKI 2017 hanyalah tujuan antara.
Tujuan utama adalah mengambilalih kekuasaan. Impian negara Khalifah bisa
jadi merupakan agenda tersembunyi. Jadi, dari sisi negara, rentetan
demosntrasi dilihat sebagai “gerakan keagamaan” seperti yang dialaskan
para pelakunya, tetapi dari sisi FPI dan para demonstran jelas-jelas
motifnya politik. Kehadiran dua pimpinan DPR (meski disebutkan sebagai
tidak mewakili DPR) Fadli Zon, Fahri Hamzah, juga politisi gaek Amien
Rais, serta tokoh politik lainnya mempertegas kesimpulan ini. Dengan
alasan-alasan di atas, FPI dan pendukungnya akan terus bergerak,
berunjukrasa dan mengupayakan berbagai langkah politik praktis
mengatasnamakan agama. Ketika bertemu Fadli Zon dan Fahri Hamzah di
gedung DPR 28 Oktober 2016, Habieb Rizieq meyakini adanya intervensi
Presiden Joko Widodo atas kasus penistaan agama oleh Ahok ini, dan
meminta sidang istimewa MPR. Ini mungkin saja dibayangkan akan
mengulangi sejarah sukses Amien Rais yang waktu itu sebagai Ketua MPR
melengserkan Presiden Abdularhman Wahid (Gus Dur) tahun 2001. Inikah
tujuan sesungguhnya dari FPI dan teman-teman sesama penganut Islam garis
keras? Mungkin! Lalu, bagaimana sebaiknya? Pertama; FPI dan para
pendukungnya harus belajar memahami bahwa proses hukum negara berbeda
dengan hukum agama. Kekuatan hukum negara adalah pada bukti. Prosedur
penetapan tersangka pun melalui sejumlah tahapan. Yang bisa dilakukan
FPI dan pendukungnya adalah mencari bukti-bukti primer agar membantu
aparat memperkuat dakwaan JPU. Dengan bukti-bukti yang kuat sudah pasti
terlapor akan mendapakan kenaikan status menjadi tersangka. Negara tidak
bisa dipaksa untuk membenarkan atau memenangkan salah satu pihak hanya
karena tekanan. Betapa pun tekanan di seluruh penjuru negeri, selama
tuduhan tidak memiliki bukti valid maka terlapor (Ahok) tidak dapat
dituntut. Kedua; kalau motifnya politis, yang menurut saya tidak perlu
disangkal lagi, maka bukankah akan lebih sportif bila mengalahkan Ahok
di Pilkada? Bukankah FPI dan para pendukungnya selalu mengklaim diri
sebagai kelompok mayoritas? Kalau demikian, mengapa takut Ahok yang
statusnya double minoritas itu? Cukup mengarahkan suara mayoritas
mendukung pasangan calon yang diinginkan maka dengan sendirinya Ahok
kalah. Kenapa harus buang banyak energi dengan resiko tinggi mengurus
seorang Ahok? Ketiga; komitmen FPI, HTI, dan berbagai organisasi garis
keras pada Dasar Negara Pancasila, UUD’45, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI
harus dipertegas. Kampanye-kampanye mereka seperti memperjuangkan
sistem Khalifah, Syariah dan nuansa primordial keagamaan lainnya sangat
jauh dari idealisme ke-Indonesia-an yang sesungguhnya. Apabila ketiga
hal di atas juga tidak dilakukan, maka harus menemukan motif
sesungguhnya dari FPI dan para pendukungnya. Sesuatu yang nampak
disembunyikan dari rentetan gerakan politik massa yang dilakukan secara
sistematis. Padahal, gerakan dengan melibatkan massa dalam jumlah besar
selalu beresiko menciptakan chaos, anarkisme dan ketidaknyamanan publik.
Label yang melekat erat pada diri FPI dan konco-konconya. Terkesan
kelompok ini selalu memaksakan kehendak dengan car-cara mobilisasi
massa, dan makin intensif sejak awal pemerintahan Jokowi-JK serta
Ahok-Djarot di DKI. Proses hukum atas kasus Ahok secara adil dan benar
sesuai undang-undang tidak akan menghentikan gerakan politik kelompok
garis keras ini. Bahkan, bila tuduhan mereka atas Ahok terbukti sehingga
Ahok dihukum. Pun, bila berhasil melengserkan presiden Joko Widodo.
Kalau demikian, apakah sesungguhnya motif FPI, HTI, Amien Rais, Fadli
Zon, Fahri Hamzah dan para penganut Islam garis keras di Indonesia?
Jumat, 16 Juni 2017
Home »
» Menelisik Motif FPI dan Islam Garis Keras dibalik Kasus Ahok
0 komentar:
Posting Komentar