Di masa keemasan Islam, sependek yang saya
tahu, seseorang yang mewakafkan tanahnya untuk masjid, tidak memiliki
hak untuk menentukan imam rawatib (imam utama), khatib, maupun guru
madrasah. Untuk dicatat bahwa dulu madrasah satu kesatuan dengan masjid
sebelum akhirnya berdiri sendiri.
Pihak yang memiliki hak untuk itu semua
adalah penguasa (ulil amri) yang tentunya dengan pertimbangan ulama.
Soal imam, khatib, guru madrasah, dan amalan keagamaan; disesuaikan
dengan apa yang dianut oleh masyarakat sekitar. Disesuaikan pula dengan
madzhab mayoritas. Meski demikian, masyarakat tetap bebas jalankan
shalat sesuai tata cara yg ia yakini. Pola pengaturan di atas hanya untk
optimalisasi peran masjid kala itu.
Konteks sekarang bisa saja sudah berbeda.
Tapi kita masih bisa ambil pelajaran dari masa lalu. Bahwa wakaf tak
serta merta membuat seseorang punya kuasa penuh atas masjid.
Apa kaitannya dengan masjid kampus?
Masjid kampus (PTN) dibangun di atas tanah
milik negara. Mungkin juga sebagian besarnya gunakan uang negara. Maka,
wakaf sebenarnya kurang begitu relevan dg masjid kampus.
Namun saya hendak gunakan apa yg disebut dg mafhum muwafaqah/qiyas aula. Untuk yang tidak mendalami kajian ushul-fiqih,
sebut saja dengan bunyi: Jika yang mewakafkan saja tidak punya kuasa
penuh atas masjid, apalagi mereka yang bukan pewakaf. Tentu lebih tidak
punya kuasa.
Sayangnya, sependek yang saya tahu, masjid
dan musholla di PTN justru “dikuasai” dan dikendalikan sepenuhnya oleh
pengurusnya. Oleh mereka yang (maaf) bukan pewakaf. Salah satu masjid
kampus di Jawa Barat bisa kita jadikan contoh.
Kampus yang saya bahas ini sebelumnya
memiliki dua masjid utama. Dua-duanya dijadikan media utama untuk
sebarkan propaganda. Propaganda yang akhir-akhir ini disadari sebagai
bentuk upaya untuk merongrong negara. Di belakang itu semua, tentu
banyak peran dari para pengurus masjid. Kebanyakan juga merangkap
menjadi anggota ormas tertentu.
Di masjid “negara” itu, hiasan dinding
yang terpaku rapi banyak berisi sistem kekhalifahan, istilah2
kehalifahan, kutipan tokoh pejuang khilafah, lengkap dg ancaman bagi
mereka yg tidak berhukum selain hukum Allah dlm level negara. Jika
disepakati bahwa NKRI sudah final, maka propaganda ini bentuk ancaman
tersendiri bagi keutuhan NKRI.
Khutbah jum’atnya juga tidak jauh berbeda.
Saya mencukupkan diri hanya ikuti dua kali khutbah di masjid tesebut
karena tidak “sreg” dengan materi khutbah. Mengutuki demokrasi, mencerca
pemilu, mencerca sistem tata negara, menawarkan khilafah sebagai
solusi. Disampaikan oleh khotib yg adalah dosen PNS. Dapat duit dari
negara, sekaligus mengutuki negara. Ibarat makan dan berak di tempat yg
sama.
Bagaimana dengan musholla?
Sama saja. Hanya oleh kelompok yg berbeda. Berbekal rajin ke musholla, lantas merasa menjadi penguasa musholla.
Jika dalam ranah diskusi dan kajian tentu
tidak jadi soal. Namun ini mimbar keagamaan. Mimbar yang untuk sekian
lama diposisikan anti-kritik. Dosen (apalagi mahasiswa) yang tidak
sealiran dengan pengurus masjid, sulit untuk berbagi buah pikir di
mimbar-mimbar tersebut. Penceramah dari luar kampus juga diseleksi yang
sesuai. Kaderisasi pengurus masjid pun begitu. Hanya diloloskan sesiapa
yg sepemahaman.
Jika kemudian K.H Said Aqil Siradj soroti
bahwa radikalisme sudah masuk kampus melalui masjid-masjidnya, ada
benarnya. Meski kyai Said akhirnya memilih minta maaf, tapi substansi
ucapannya benar. Beliau sendiri ( juga kyai/ulama lain) pernah
disudutkan di salah satu masjid tersebut.
Singkatnya, banyak sekali mahasiswa (dan
dosen) yang masih anggap negara ini thoghut. Yang anggap NKRI sesat dan
perlu diubah. Yang kafirkan ulama-ulama kita sendiri. Corong utamanya ya
masjid/musholla tadi.
Kembali ke soal masjid kampus yang tadi
dibahas. Kabarnya, kondisi sekarang sudah berubah. Meski ongkosnya tidak
sedikit. Entah berkaitan atau tidak, sampai perlu masjid baru yang
lebih besar dan megah. Seolah mengeliminir masjid sebelumnya. Kabarnya
juga, yang terakhir ini bebas dari infiltrasi dan kecenderungan kelompok
tertentu. Berdasar info yang saya terima, Rektor kampus sendiri yang
mengawali khutbah Jum’at di masjid baru tersebut dengan mengutip ayat
persatuan:
Berpegang teguhlah kalian dalam tali (ikatan) Allah, dan jangan tercerai berai!
Saya harap, masjid-masjid kampus lain juga
lebih terbuka. Terbuka bukan hanya untuk shalat 24 jam, tapi juga
terhadap pemikiran yang berbeda dengan pengurusnya. Di samping itu,
kampus juga mesti waspada. Jangan sampai masjidnya digunakan sebagai
corong untuk menggerogoti negara apalagi kafirkan sesama.
0 komentar:
Posting Komentar