Arrahmahnews.com -Artikel, Radikalisme,
terorisme dan wahabisme kini menjadi musuh "baru" umat manusia.
Meskipun akar radikalisme telah muncul sejak lama, namun peristiwa
peledakan bom, gerakan radikal dan euphoria wahabi atas kemunculan
extrimis ISIS akhir-akhir ini seakan mengantarkan fenomena ini sebagai
"musuh kontemporer" sekaligus sebagai "musuh abadi". Banyak pihak
mengembangkan spekulasi secara tendensius bahwa terorisme berpangkal
dari fundamentalisme dan radikalisme agama, terutama Islam. Tak heran
jika kemudian Islam seringkali dijadikan 'kambing hitam'. Termasuk dan
terutama pada kasus bom paling fenomenal: WTC, Boston Marathon, JW
Marriot, bom Bali 1 dan 2, serta aksi teror lainnya seperti yang
sekarang sedang melanda negara-negara timur tengah, ISIS dan Jabha
Nusroh.
Namun demikian, tidak sedikit pula yang
percaya bahwa motif radikalisme dan terorisme tidaklah bersumber dari
aspek yang tunggal. Kesadaran ini membawa keinsyafan bahwa upaya
penanganannya juga tidak bersifat parsial, namun perlu pendekatan
komprehensif secara integral.
Berbagai kemungkinan motif teror memang
sepatutnya perlu diwaspadai. Karena kenyataannya diakui atau tidak
terorisme nyata-nyata terus menghantui, walaupun beberapa pelaku aksi
terorisme sudah ditemukan. Dalam konteks Indonesia, misalnya, dalam
kurun waktu antara 1962-2012 tercatat puluhan kali aksi peledakan bom.
Dari sekian peristiwa peledakan bom yang terjadi, adanya motif yang
bernuansa agama memang tak bisa dipungkiri. Namun demikian, motif
politik dan kepentingan intelijen justru yang paling banyak terkuak,
selain motif kriminal murni.
Terlepas dari berbagai motif itu, penting
pula untuk melihat terorisme dari "perspektif lain". Perspektif baru
mengenai teror seringkali dibuat terlalu sederhana atau bahkan
simplistis. Namun dalam konteks lain, teror sejatinya tidak semestinya
hanya dipandang sebatas peristiwa peledakan bom, tapi juga teror lainnya
yang juga mengancam rasa aman masyarakat. Termasuk dalam kategori teror
ini adalah korupsi, bahaya narkoba, dan ancaman kemanusiaan lainnya
seperti penganguran, penggusuran, dan aksi-aksi penyesatan dan
pengkafiran golongan tertentu.
Peran negara dalam menjamin rasa aman
warga negara menjadi demikian vital. Karena itu, beragam peristiwa yang
melahirkan ketidakamanan seperti teror peledakan bom perlu mendapat
perhatian tersendiri. Negara harus benar-benar serius memikirkan upaya
untuk melawan radikalisme dan terorisme yang kini kian menggejala.
Beberapa agenda strategis yang dapat disiapkan antara lain: reformasi
sektor keamanan, pembenahan regulasi keamanan, reorientasi pendidikan,
dan kampanye sosial-kultural secara massif. Agenda ini boleh jadi bukan
sesuatu yang baru, tapi sudah menjadi bagian program yang telah dan
sedang dilakukan oleh beberapa pihak. Namun demikian, point terpenting
dari upaya untuk memutus mata rantai radikalisme dan terorisme adalah
dengan memperkuat dan mempererat “rantai” keinsyafan bersama baik di
level struktural maupun di ranah societal untuk menjadikan radikalisme dan terorisme sebagai musuh bersama.
Kata Kunci: Terorisme, Radikalisme, Institusi Keamanan, Reformasi Sektor Keamanan, Human Security.
Pendahuluan
Sebagai negara dengan komunitas Islam
terbesar di dunia, Indonesia seringkali harus menjadi ‘tertuduh’ dalam
beragam aksi teror yang kerap menyeruak akhir-akhir ini.
Pengaitan-pengaitan peristiwa peledakan bom di tanah air dan dunia
hampir selalu pertama kalinya dikaitkan dengan “fundamentalisme Islam”.
Contoh paling dekat misalnya pada peristiwa Charlie Hebdo, militan ISIS
dan Jabha Nusroh yang serta-merta juga dikait-kaitkan dengan gerakan
fundamentalisme Islam. Fenomena ini seolah mengingatkan kembali
peristiwa bom WTC yang amat mengharu biru itu. Presiden Amerika saat
itu, George W. Bush, langsung menyebut Osama bin Laden sebagai
representasi umat Islam yang dituding menjadi dalang. Pernyataan serupa
juga pernah dilontarkan Dubes Amerika, Ralph Boyce yang secara spontan
menuduh jaringan Al-Qaidah berada di balik teror bom Bali. Ralph Boyce
bahkan menyebutkan keberadaan jaringan terorisme internasional
Al-Qaidah itu telah beroperasi di Indonesia. Sementara pemimpin senior
Singapura saat itu, Lee Kwan Yew bahkan mengatakan Indonesia sebagai
sarang teroris. Tak heran pula jika kemudian Indonesia menjadi sorotan
dunia dalam konteks isu terorisme.
Benarkah ajaran Islam dapat menjadi
spirit radikalisme dan terorisme? Benarkah Indonesia menjadi bagian dari
simpul jaringan terorisme internasional? Apa sesungguhnya yang menjadi
sumber dan akar masalah radikalisme dan terorisme? Lantas bagaimana
strategi penanganan yang perlu disiapkan untuk melawan radikalisme dan
terorisme di Indonesia? Tentu masih banyak rentetan pertanyaan yang
perlu dikemukakan sekaligus perlu disiapkan jawabannya secara memadai.
Tulisan ini tidak berpretensi untuk
menjawab segala ikhwal radikalisme dan terorisme secara komprehensif.
Risalah kecil ini hanya ingin mencoba untuk turut “merajut benang kusut”
radikalisme dan terorisme dengan mengulas dan mendeskripsikan
problematika keduanya serta menggali sumber dan akar persoalan yang
melahirkannya. Berdasarkan deskripsi ini, penulis juga ingin berupaya
menawarkan sejumlah alternatif solusi dengan mengemukakan beberapa
agenda untuk melawan radikalisme dan terorisme, terutama dalam konteks
Indonesia.
Merajut Benang Kusut Radikalisme dan Terorisme
Meski terpidana mati kasus bom Bali telah
dieksekusi pada 9 November 2008, namun tidak serta merta semua orang
percaya sepenuhnya bahwa Amrozi cs. adalah pelaku bom Bali yang
sebenarnya. Informasi dari sejumlah media setidaknya dapat menjadi
penanda bahwa wacana atas ketidakpercayaan ini tetap mengemuka. Aktivis Law and Government Watch Jakarta, Hendriawan Pujianto, misalnya, menuliskan kesangsiannya dalam harian Jawa Pos.
Menurut Pujianto, sebagian besar informasi yang disampaikan kepada
publik adalah opini para penyidik tersangka Amrozi dan kawan-kawan yang
kemudian difaktakan sedemikian rupa sehingga seolah-olah menjadi
informasi yang berasal dari fakta-fakta empiris.
Padahal, penyidik dalam perkara terorisme
di Bali bukanlah institusi independen, netral, dan mandiri, namun
tampak sarat dengan kepentingan ekonomi-politik RI dan Amerika. Dalam
kenyataannya, liputan media dan informasi yang disampaikan sebagai news
mengenai gerakan terorisme sangat sarat kepentingan politik, supremasi
dan subordinasi Amerika. Hampir semua liputan pers dan media massa
tentang terorisme bermuara pada kamus besar negara adikuasa itu. Dalam
hal ini, terorisme itu hanya diartikan sebagai aksi-aksi kekerasan yang
mengancam kepentingan Amerika dan negara-negara sekutunya.[1]
Sinisme
terhadap tingkah-polah Amerika dalam kaitannya dengan kampanye anti
terorisme dapat dengan mudah kita temui di sejumlah media, terutama
media internet. Sebagian besar wacananya menyebutkan bahwa Amerika
sebagai dalang yang membuat konspirasi teror global.[2]
Salah satu sumber bahkan menyebutkan bahwa “Ketika kita sekarang
berbicara tentang terorisme, sebenarnya kita sudah terjebak pada wacana
yang dimunculkan Amerika yang menjadi agenda setter dalam
wacana terorisme ini. Ketika negara adidaya itu merekayasa peristiwa 11
September 2001 disusul dengan kampanye anti-terorisme internasional.
Amerika telah menciptakan dua aktor teroris sekaligus, yakni Al-Qaidah
untuk tingkat internasional dan Jamaah Islamiyah (JI) untuk tingkat
regional Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Berkat dukungan media
massa, Amerika berhasil menciptakan opini publik tentang bahaya
terorisme, sehingga terorisme menjadi agenda publik yang memunculkan
kebijakan publik di seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia.[3]
Senada dengan itu, sebuah survei yang
dilakukan Gallup’s Centre for Muslim Studies menyimpulkan bahwa perang
melawan terorisme yang dilancarkan Amerika di seluruh dunia, justru
menimbulkan sikap radikal bagi sebagian umat Islam dan menyebabkan makin
meningkatkan sikap anti Amerika. Survei ini melibatkan 10 ribu umat
Islam di sepuluh negara yang mayoritas penduduknya muslim. Dari hasil
survei itu diketahui, seandainya pun peristiwa serangan 11 September
benar dilakukan orang Islam, tujuh persen responden tetap percaya
kebencian pada Amerika akan tetap ada dan kelompok-kelompok radikal
tetap akan bermunculan. Fakta lainnya yang terungkap dalam survei Gallup
adalah, masalah agama ternyata hanya sedikit kaitannya dengan munculnya
sikap radikal atau sikap antipati terhadap budaya Barat. Umat Islam
hanya tidak menyetujui budaya-budaya Barat yang menunjukkan kerusakan
moral, tapi mereka mengagumi wacana kebebasan berbicara, ide kebebasan,
sistem demokrasi dan perkembangan teknologinya.[4]
Hasil survei Gallup tersebut sekaligus
menjawab pemikiran negatif para politisi Barat yang menganut teori bahwa
orang-orang radikal dan fundamentalis adalah mereka yang fanatik pada
agamanya, miskin, putus asa dan hatinya penuh kebencian. “Teori-teori
itu semua salah. Kami menemukan bahwa orang-orang Islam yang radikal
hampir sama dengan orang-orang Islam yang moderat. Kalau Barat ingin
merangkul para ekstrimis dan memberdayakan mereka yang moderat,
Barat-lah yang harus pertama tahu siapa yang akan dihadapinya,” kata
para peneliti Gallup. Profesor bidang agama John Esposito dan Direktur
Gallup untuk studi Islam Dalia Mogahed dalam salah satu analisanya
bahkan mengatakan, “Barat seringkali menuding ajaran agama yang telah
mempengaruhi pandangan radikal dan kekerasan. Tapi data yang ada
mengungkapkan hal yang sebaliknya.”[5]
Nada serupa ternyata bukan saja
dikemukakan oleh “pihak Islam”. Indikasi konspirasi internasional untuk
melemahkan bangsa Indonesia melalui kasus bom Bali juga dikemukakan
Ketua Kadin Bali, I Ketut Gde Wiratna. Menurutnya, kasus bom Bali tidak
ada hubungannya dengan agama. Gde Wiratna menuturkan bahwa di Bali,
Hindu dan Islam sangat dekat, sangat akrab, bahkan berdirinya beragam
budaya di Bali selalu terkait dengan dukungan umat Islam sehingga di
Bali begitu banyak komponen dan komunitas muslim karena diberikan hak
oleh raja-raja di Bali.
Terkait dengan masalah terorisme, ada
kepentingan untuk melemahkan Indonesia melalui cara ini. Tampaknya,
banyak negara yang khawatir bila demokratisasi di Indonesia menghadirkan
Indonesia yang kuat. Kekhawatiran negara lain yang tidak suka Indonesia
menjadi kuat. “Indonesia ini negara yang seksi. Namun, banyak pihak
tidak menghendakinya menjadi kuat. Sebab, kalau Indonesia kuat, banyak
yang merasa kepentingannya akan terganggu karena mayoritas penduduk
negeri ini beragama Islam. Maka itu, terjadinya berbagai upaya yang
melemahkan Indonesia,” ujarnya.[6]
Wacana-wacana
yang melukiskan konspirasi dan viktimisasi Islam oleh Barat kini
berkembang seiring membuncahnya wacana anti terorisme. Di satu sisi hal
ini memang bisa dianggap penting sebagai wacana penyeimbang (counter discourse)
di tengah gencarnya kampanye anti terorisme yang bias Amerika. Namun
demikian, hal ini di sisi lain ada bahayanya sendiri karena sikap ini
dikhawatirkan justru akan membuka pintu bagi munculnya aksi-aksi
kekerasan. Dalam konteks ini, Ulil Abshar-Abdalla mengingatkan agar umat
Islam bersifat lebih terbuka dengan tidak hanya bersandar pada semangat
self denial yang defensif. “Yang tidak boleh kita lupakan
dalam melihat masalah Bali adalah ini sudah menjadi masalah
internasional. PBB sudah mendorong semua negara untuk membantu Indonesia
mengusut masalah ini, dan negara-negara yang lain juga sudah menganggap
ini bukan masalah Indonesia, tetapi adalah masalah internasional. Oleh
karena itu, menurut saya, kita ini perlu mempunyai mental switch,
tidak defensif dengan selalu mengatakan ini bukan ulah umat Islam. Umat
Islam adalah umat yang baik, umat Islam tidak mungkin berbuat kejahatan
serta berbagai sikap apologetik lainnya yang justru tidak membantu
untuk mengatasi masalah terorisme yang dimensinya sudah sangat global
ini,” ujarnya.[7]
Dalam kaitan itu, Syafi`i Ma`arif
menyebutkan bahwa gerakan radikal Islam memang ada di Indonesia. Faktor
kemunculannya bisa berbagai macam: dari kekuasaan yang otoriter, rasa
keadilan yang tidak ada, hingga berkembangnya penyakit sosial di
masyarakat. “Tapi ada juga radikalisme yang lahir dari sebuah rekayasa.
Jadi keberadaannya sengaja dibentuk oleh kelompok tertentu untuk tujuan
tertentu,” ucapnya. Menurut mantan Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah
itu, kelompok radikal adalah orang-orang nekat yang tak mampu memetakan
masa depan dirinya. Mereka kecewa dengan situasi yang tak kondusif.
Mereka juga kesal dengan tersumbatnya saluran komunikasi. Itulah
sebabnya, mereka muncul menjadi gerakan radikal. Pertanyaannya, adakah
hubungan yang signifikan antara radikalisme dan terorisme? Ini perlu
pembuktian. Syafi`i meminta semua pihak tidak sembarangan memberi
penilaian atau memberi label sebuah kelompok sebagai gerakan radikal.
“Semua harus dibuktikan. Sebab, radikalisme bisa saja dilakukan secara
perorangan, berkelompok, atau bahkan oleh suatu negara,” kata Syafi`i.[8]
Sejalan dengan itu, Saiful Mujani
mengatakan bahwa dalam kaitannya dengan kasus terorisme di Indonesia,
penganut teologi puritan yang seringkali disebut radikal tidak
berbanding lurus dengan intoleransi dan kekerasan. Mengapa bisa begitu?
Dalam penelusurannya, Mujani justru menemukan bahwa sepanjang mereka
bersentuhan dengan gagasan toleransi, pluralisme, demokrasi, kebebasan
beragama, dan seterusnya, penganut teologi puritan cenderung menjadi
toleran dan mengapresiasi kelompok lain. Temuan ini dapat disimpulkan
bahwa teologi puritan dan sikap radikal dalam beragama tidak serta merta
berpengaruh pada perilaku teror karena hal itu bukan faktor determinan
dalam gejala radikalisme agama. Lebih jauh, Saiful Mujani juga mencoba
mencari kaitan antara gejala puritanisme kelompok Islam dalam kaitannya
dengan propaganda anti terorisme yang dikembangkan Amerika. Menurut
Mujani, sentimen negatif terhadap Amerika muncul dalam proporsi yang
cukup signifikan, meski variasi anti-Amerika itu lebih besar ditemukan
dalam bentuk sikap.[9]
Karena itu, untuk menjelaskan fenomena
terorisme tentu tidak cukup dengan penjelasan dari dimensi agama,
terutama radikalisasi dan fundamentalisme agama semata. Azyumardi Azra
menyebutkan bahwa perlu pendekatan yang lebih komprehensif untuk melihat
fenomena ini. Menurut Azyumardi, untuk memahami fenomena terorisme
tidak hanya dilakukan melalui tindakan berbasis keagamaan, tindakan yang
bersifat peningkatan kesejahteraan ekonomi dan perlindungan sosial juga
harus dilakukan secara bersamaan. “Kalau dilihat akar radikalisme itu
sendiri muncul dari ketidakadilan. Bukan hanya akibat tindakan oligarkhi
pemerintah Amerika Serikat, persoalan kemiskinan dan kesulitan ekonomi
yang membelenggu kalangan umat juga menjadi penyebabnya. Kita seharusnya
tidak hanya bergerak dalam satu sektor, misalnya hanya mengambil
tindakan yang bersikap keagamaan, tapi harus lebih komprehensif”
tegasnya.[10]
Berbagai kemungkinan atas motif teror
memang sepatutnya perlu diwaspadai. Karena kenyataannya diakui atau
tidak terorisme di Indonesia nyata-nyata terus menghantui, walaupun
beberapa pelaku aksi terorisme sudah ditemukan. Dalam kurun waktu antara
1962-2009 tercatat puluhan kali aksi terror dalam bentuk peledakan bom
di Indonesia.[11]
Dari sekian banyak peristiwa peledakan
bom yang terjadi, adanya motif yang bernuansa agama memang tak bisa
dipungkiri. Namun demikian, harus diakui bahwa motif politik dan
kepentingan-kepentingan intelijen ternyata justru yang paling banyak
terkuak, selain motif lainnya yang bersifat kriminal murni.
Mantan Kepala Badan Inteljen Negara (BIN)
AM. Hendropriyono tak menyangkal adanya nuansa kepentingan intelijen
dalam berbagai aksi peledakan bom, namun ia lebih percaya bahwa berbagai
motif itu tak lepas dari akar ideologis dan filosofis baik yang
bersifat ontologis maupun epistimologis. Hendropriyono melukiskan aksi
terorisme dengan mengibaratkannya sebagai sebuah pohon. Menurutnya, para
teroris hanya merupakan daun-daun dari pohon tersebut, sementara batang
dan ranting-ranting pohon merupakan organisasinya, serta filsafat dan
ideologi adalah akarnya. Melalui bukunya yang berjudul “Terorisme
Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam” Hendropriyono memakai teori
filsafat Ludwing Wittgenstein untuk menjelaskan akar-akar terorisme,
yang antara lain terwujud dalam pola permainan bahasa teror yang khas.
Dalam bukunya ini, Hendropriyono menyatakan, hanya lewat kajian
filsafat, kita bisa menyusun metode, strategi dan taktik yang tepat
dalam usaha menumpas terorisme. Kajian sejarah yang juga dilakukan
menunjukkan, terorisme juga tak cuma kenal di dunia Islam. Gerakan
terorisme global juga ada di antara kaum fundamentalis agama-agama
samawi lain, termasuk Yahudi dan Kristen.[12]
Menurut Hendropriyono, fundamentalisme
merupakan fenomena global, yang dapat ditemui di semua agama-agama besar
dunia. Ketika perspektif politik dunia dibatasi pada relasi
Islam-Barat, maka perspektif itu bagi sebagain orang yang berbicara
tentang fundamentalisme berarti melakukan tuduhan. Fundamentalime tidak
menunjukkan keyakinan-keyakinan agama, tetapi lebih merupakan pandangan
sosio-politik, yakni masalah yang menyangkut urusan negara, masyarakat
dan dunia politik. Akan tetapi masalah itu dewasa ini seringkali
diartikulasikan melalui atau dengan simbol-simbol agama.
“Pada hakikatnya, akar dari terorisme
memerlukan tanah untuk hidup. Dan kesuburan tanah tersebut memberikan
pengaruh langsung terhadap kesuburan pohon terorisme. Tanah yang subur
itu adalah lingkungan masyarakat fundamentalis (ekstrim), yang merupakan
habitat, sehingga terorisme selalu timbul tenggelam dalam sejarah
kehidupan manusia. Terorisme Kristen subur di dalam masyarakat
fundamentalis Kristen, terorisme Zionis subur di dalam masyarakat
fundamentalis Yahudi, dan terorisme kontemporer subur dalam masyarakat
fundamentalis Islam. Masyarakat ekstrim Islam yang dimaksud di sini
adalah Islam politik, bukan Islam yang kerap kali dikaitkan secara salah
oleh kaum internasional dewasa ini terutama oleh pihak Barat'”[13]
Namun demikian, lepas dari berbagai motif
itu, Wimar Witoelar memandang perlunya perspektif baru dalam memahami
fenomena terorisme. Menurutnya, sukses Polri dalam menghentikan Dr
Azahari patut mendapat acungan jempol, terutama dari pers Australia yang
selalu mencela bahwa Indonesia melindungi terorisme. Tapi kebanggaan
kita tentu jangan menjadi nasionalisme sempit dengan mengatakan bahwa
kita lebih hebat dari negara lain. Memang aparat anti-terorisme kita
benar hebat, dan kita boleh memberi contoh kepada Amerika dan Australia
yang lebih banyak menghabiskan tenaganya untuk meneriakkan slogan daripa
mncegah terorisme. Mungkin mereka menangkap beberapa teroris tapi dalam
prosesnya justru malah menambah semangat untuk melahirkan terorisme
baru.
Menurut Wimar, perspektif baru mengenai teror harus bersifat sederhana supaya bisa dishare dengan banyak orang secara lebih luas. Pertama,
teror adalah kegiatan orang sesat yang sudah berlangsung sejak awal
zaman. Wacana terorisme sekarang diperkeras oleh liputan media,
komunikasi internet dan reaksi primordial Amerika. Kedua, teror adalah kegiatan biadab, acak yang tidak perlu dibela atas alasan apapun. Ketiga,
teroris dilakukan orang sedikit dengan dedikasi banyak. Perlawanan
terorisme bisa dilakukan oleh orang sedikit juga (ahli kontraterorisme)
tapi karena kontra-teroris tidak sebebas teroris, upaya mereka perlu
ditambah dengan dukungan orang banyak. Orang banyak harus berpandangan
sama bahwa teroris harus dihentikan. Keempat, saluran dan
mekanisme pelaporan harus dibuat secara fleksibel dan terbuka oleh
pemerintah dan lembaga internasional tanpa dibumbui diskriminasi
terhadap agama apapun.
Selain itu, menurut Wimar terorisme juga
perlu dipahami dalam perspektif total. Dalam konteks ini, teror tidak
hanya dipandang sebatas peristiwa peledakan bom, misalnya, tapi juga
teror lainnya yang juga mengancam rasa aman masyarakat. Termasuk dalam
kategori teror menurutnya adalah korupsi, bahaya narkoba, dan ancaman
kemanusiaan lainnya seperti wabah flu burung, misalnya. “Dan yang paling
kita perlukan adalah perspektif baru untuk menghayati ini semua,”
ujarnya.[14]
Dengan makin luas dan kompleksitasnya persoalan ini, kita –terutama
pemerintah sebagai pengelola negeri ini— tentu harus segera menyiapkan
agenda-agenda strategis sebagai langkah antisipatif yang solutif dalam
rangka memutus mata rantai radikalisme dan terorisme secara tepat.
Agenda Strategis ke Depan
Kalau kita menyimak teori negara, mulai
dari yang paling klasik sampai teori negara paling modern, tampak jelas
bahwa salah satu tugas negara yang paling esensial adalah menyediakan
rasa aman bagi warganya.[15] Sebagai sebuah bentuk ‘political goods,’
rasa aman tentulah dapat dijadikan parameter atau indikator
keberhasilan suatu negara. Negara yang berhasil, misalnya, dapat dilihat
antara lain dari kinerjanya dalam menyediakan rasa aman bagi warganya.
Sebaliknya, negara yang banyak dihiasi teror dan dicekam rasa tidak aman
dengan sendirinya dapat dikategorikan sebagai negara yang gagal (failure state).
Dalam kaitan ini, Ichlasul Amal et.all. (2010) menyebutkan bahwa menghindarkan masyarakat dari situasi homo homini lupus
merupakan fungsi utama negara dalam pemahaman teori-teori negara
klasik. Dalam pemahaman ini, ancaman terhadap keamanan diandaikan
bersumber dari dalam masyarakat sendiri. Karenanya, pengalihan sebagian
kebebasan individu disepakati baik sebagai cara untuk menghindarkan
situasi homo homini lupus maupun untuk merepresi situasi
semacam sehingga situsi damai bisa dikembalikan. Sudut pandang ini
nantinya berkembang menjadi: a) fungsi keamanan dalam negeri yang antara
lain dijalankan oleh aparat justisia, terutama polisi; b) rujukan bagi
perumusan lebih lanjut mengenai fungsi-fungsi kepolisian yang mencakup
fungsi perlindungan, penegakan hukum, dan ketertiban masyarakat.[16]
Atas dasar alasan tersebut maka keamanan
kemudian berkembang menjadi fungsi negara yang pokok. Ia menjadi: (a)
alasan mengapa negara ada (b) dasar bagi diterimanya adagium bahwa
negara adalah pemegang wewenang penggunaan kekerasan secara sah dan
sebaliknya (c) pelarangan pengalihan atau penggunaan wewenang ini oleh
aktor lain di luar negara (d) alasan bagi dibentuknya institusi keamanan
negara, yaitu tentara, kepolisian, dan intelijen. Perluasan makna ini
kemudian membawa keamanan ke tingkat yang lebih subtil dan komprehensif
karena harus ditransformasikan menjadi barang politik (political goods) yang memiliki dua ciri pokok. Pertama,
keamanan wajib disiapkan oleh negara secara impersonal dan tak dapat
diprivatkan atau dibiarkan dikelola sendiri oleh masyarakat. Kedua, keamanan merupakan hak setiap warga negara untuk menikmatinya.
Dengan asumsi teoretik tersebut, peran negara dalam menjamin rasa aman warga negara menjadi demikian vital dan sentral.[17]
Karena itu, beragam peristiwa yang melahirkan ketidakamanan seperti
halnya aksi-aksi teror dalam bentuk peledakan bom yang terjadi cukup
massif di Indonesia tentu perlu mendapat perhatian tersendiri. Bukan
saja dari masyarakat luas yang berharap atas terpenuhinya rasa aman
sebagai salah satu public goods yang ingin dinikmatinya, namun terutama harus menjadi perhatian serius pemerintah sebagai pemangku kewajiban (duty bearer) untuk memastikan penanggulangannya secara cermat dan tepat.
Beberapa agenda strategis yang dapat
disiapkan dalam rangka memutus mata rantai radikalisme dan terorisme
antara lain dapat ditempuh melalui: reformasi sektor keamanan,
pembenahan regulasi keamanan, reorientasi pendidikan, dan kampanye
sosial-kultural secara massif.
- Reformasi Sektor Keamanan
Dalam menangani aksi-aksi terorisme yang
terjadi, pemerintah tampaknya lebih banyak mengedepankan pendekatan
keamanan secara parsial. Ini setidaknya dapat disimak dari upaya-upaya
yang lebih mengedepankan “program anti-terorisme” secara represif.
Padahal, pendekatan paling mutakhir semestinya justru lebih banyak
mengedepankan pendekatan “counter terrorisme” yang lebih bersifat
preventif ketimbang cara-cara “anti-terorisme” yang represif. Tak heran
jika dalam penanganan terorisme yang justru tampak dominan adalah aparat
kepolisian dan tentara, sementara institusi intelijen nyaris tak tampak
fungsinya. Kalau pun institusi intelijen terlibat, perannya nyaris
sulit dibedakan dengan aparat kepolisian dan tentara. Reformasi sektor
keamanan (security sector reform) mengasumsikan adanya
komplementasi “tupoksi” institusi keamanan secara simultan. Koordinasi
tupoksi (tugas pokok dan fungsi) institusi keamanan menjadi penting
sehingga tidak terjadi tumpang-tindih kewenangan satu sama lain.
- Pembenahan Regulasi Keamanan
Regulasi keamanan sejatinya merupakan bagian integral dari upaya yang harus dilakukan dalam security sector reform.
Namun ini perlu mendapat perhatian tersendiri karena memiliki tingkat
kepelikan dan problematika tersendiri. Studi Propatria menunjukkan bahwa
hingga kini produk legislasi dalam bidang pertahanan dan keamanan masih
memiliki sejumlah kelemahan.[18] Dari sisi kerangka pengaturan legal (legal framworks), setidaknya tampak ada tiga kelemahan utama. Pertama, ketidakjelasan soal konsepsi keamanan. Kedua, tidak ada sinkronisasi antar peraturan perundangan yang ada. Ketiga,
masih terdapatnya wilayah “abu-abu” yang belum tercakup dalam regulasi
yang ada. Persoalan ini mungkin saja bisa dikesampingkan, namun
sejatinya bisa berbahaya dalam tingkat implementasinya. Problem
ketidakjelasan (crarity), ketidakrincian, kekaburan, dan
ketidaklengkapan di tingkat regulasi dapat menghasilkan persoalan yang
lebih parah di tingkat implementasi. Tidak heran jika kemudian muncul
ragam konflik antar institusi keamanan seperti yang belakangan sering
terjadi, terutama antara satuan polisi dan militer.[19]
Dalam kondisi seperti ini, institusi keamanan yang seharusnya
memberikan pengabdian secara total bagi terciptanya rasa aman masyarakat
justru malah terlibat konflik internal yang pelik. Oleh karena itu,
upaya untuk melakukan pembenahan regulasi keamanan menjadi urgen.
- Reorientasi Pendidikan
Pendidikan seringkali menjadi sarana
paling mujarab untuk melakukan rekayasa sosial atau bahkan “invasi
kultural” untuk tujuan tertentu. Dalam hubungan ini, lahirnya ‘teologi
jihadis’ radikal yang melahirkan insan-insan teroris boleh jadi
berpangkal dari produk pendidikan yang salah. Ahmad Ali Riyadi (2009)
menyebutkan bahwa dalam realitas sejarah di Timur Tengah, munculnya
institusi pendidikan seringkali tidak bersih dari kepentingan politik
yang menyokongnya. Menurutnya, pertarungan antara kelompok sunni dan
syiah menjadi contoh “kesalahan” sejarah yang fatal akibat rekayasa
pendidikan.[20]
Hal serupa barangkali terjadi pula dalam sejarah pendidikan di Barat
dan di Indonesia. Dalam konteks Indonesia yang plural, sudah selayaknya
kita memikirkan model pendidikan multikultur. Sebagai bagian integral
dari upaya untuk menanggulangi radikalisme dan terorisme di tanah air,
aktifitas pendidikan semestinya diorientasikan pada upaya untuk
melahirkan kesadaran kritis sehingga mendorong anggota masyarakat untuk
dapat berpikir logis dan analitis, seraya tidak terjebak pada pola pikir
dan perilaku radikal yang membahayakan.[21]
- Kampanye sosial-kultural secara massif
Kesadaran untuk melawan radikalisme dan
terorisme memang harus menjadi pemahaman dan keinsyafan semua pihak.
Namun sayangnya, pemerintah seringkali justru mengalami disorientasi
ketika mengumandangkan perang melawan terorisme. Melalui kampanye
anti-terorisme, pemerintah yang seharusnya berkewajiban memberikan rasa
aman kepada masyarakat, justru malah bertindak sebaliknya.
Program-program yang dicanangkan pemerintah seringkali malah menjadi
semacam teror baru yang mengancam kebebasan warga (civil liberties).
Terjadi distorsi yang cukup akut dalam beragam program anti-terorisme
yang didagangkan pemerintah. Karena itu, meskipun sejatinya persoalan
keamanan merupakan domainnya pemerintah, masyarakat juga perlu
melibatkan diri secara proaktif dan bahkan turut melakukan kontrol
secara konstruktif. Usulan Denny J.A mengenai pembentukan “terrorism
watch’ bagi kalangan civil society sepertinya sangat layak untuk dipertimbangkan.[22] Melalui lembaga ini, kalangan civil society
dan masyarakat umumnya dapat melakukan pengawasan, pendokumentasian,
melakukan analisis, serta memantau aneka program, termasuk perencanaan
dan pengganggarannya secara terbuka dan transparan. Kesadaran ini perlu
dikampanyekan secara massif di level societal agar masyarakat
tidak menjadi “korban” program anti-terorisme, tapi justru turut merasa
memiliki program ini secara bertanggung jawab.
Beberapa tawaran agenda tersebut boleh
jadi bukan sesuatu yang baru, tapi sudah menjadi bagian program yang
telah dan sedang dilakukan oleh beberapa pihak. Namun demikian, point
terpenting dari upaya untuk memutus mata rantai radikalisme dan
terorisme adalah dengan memperkuat dan mempererat “rantai” keinsyafan
bersama baik di level struktural maupun di ranah societal untuk
menjadikan radikalisme dan terorisme sebagai musuh bersama.
Selain itu, penting juga untuk membangun
kesadaran bahwa untuk memutus mata rantai radikalisme dan terorisme
tidak cukup dengan hanya mengandalkan pendekatan keamanan (security approach) semata. Pendekatan ini perlu dikomplementasikan dengan dimensi human security
secara lebih luas. Ini disadari karena radikalisme dan teror seringkali
bersumber tidak dari aspek yang tunggal, tapi bersumber dari multi
aspek, termasuk ketidakadilan yang di dalamnya termuat beragam dimensi
kemanusiaan secara simultan. Oleh karena itu, pendekatan human security penting dipromosikan dalam membangun security sector reform
sebagai salah satu paradigma baru untuk menyusun strategi penangnan
radikalisme dan terorisme yang acapkali mengejawantah dalam banyak
wajah.
Daftar Pustaka
Amal. Ichlasul, Cornelis Lay dan Erwin Endaryanta, 2010. “Mengenal Keamanan” dalam Bahan Perkuliahan Politik Keamanan dan Pembangunan, Program Pascasarjana, Fisipol-UGM, Yogyakarta.
Budiman, Arief (2006). Teori Negara: Negara, Kekuasaan, dan Ideologi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Denny JA, “Al-Qaidah di Indonesia?” dalam Kompas, Jakarta:Eedisi Kamis, 26 September 2002.
Hendropriyono, AM., (2009). Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam. Penerbit Kompas, Jakarta.
Pujianto, Hendriawan. “Distorsi Jurnalisme dalam Isu Terorisme” dalam Jawa Pos, Surabaya: Edisi Senin, 25 November 2002.
Mujani, Saiful (2005). Benturan Peradaban: Sikap dan Perilaku Islamis Indonesia terhadap Amerika, Freedom institute-PPIM, dan Penerbit Nalar, Jakarta.
Muhaimin, Yahya (2008). Bambu Runcing dan Mesiu: Masalah Kebijakan Pembinaan Pertanan Indonesia, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Riyadi, Ahmad Ali. “Studi Islam dan Radikalisme Pendidikan dalam Konteks Masyarakat Majemuk” dalam Annual Conference on Islamic Studies (ACIS), Surakarta, 2-5 November 2009.
Working Group on Security Sector Reform (2006). Monograph-7: Kajian Kritis Paket Perundangan di Bidang Pertahanan Keamanan. Propatria, Jakrta.
Sumber Media
Majalah TEMPO, Jakarta: Edisi 17 Mei 1999
Perspektif Online, Edisi 10 November 2005.
[1] Pujianto, Hendriawan. “Distorsi Jurnalisme dalam Isu Terorisme” dalam Jawa Pos, Surabaya: Edisi Senin, 25 November 2002.
[2] Simak antara lain dalam link berikut: http://forum.detik.com/showthread.php?t=121020
[3] Simak: www.romeltea.com
[4] Simak: http://www.eramuslim.com/berita/dunia/survei-gallup-bukan-agama-pemicu-radikalisme-tapi-kelakuan-as.htm
[5] Ibid.
[7] Simak: “Diskusi Ulil Abshar-Abdalla-Abu Bakar Ba’asyir dan lain-lain Tentang Bom Bali, Islam, dan Terorisme” dalam http://media.isnet.org/islam/Etc/BomBali.html
[8] www.Liputan6.com ditayangkan pada 14/11/2002 15:35.
[9] Mujani, Saiful (2005). Benturan Peradaban: Sikap dan Perilaku Islamis Indonesia terhadap Amerika, Freedom Institute-PPIM, dan Penerbit Nalar, Jakarta.
[11] Ulasan lebih rinci mengenai peristiwa peledakan bom di Indonesia dapat disimak dalam laporan Majalah TEMPO, Jakarta: Edisi 17 Mei 1999 juga dalam link: www.muslimdaily.net
[12] Hendropriyono, AM., (2009). Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam. Penerbit Kompas, Jakarta.
[13] Ibid.
[14] Perspektif Online, Edisi 10 November 2005.
[15] Lihat, misalnya dalam Budiman, Arief (2006). Teori Negara: Negara, Kekuasaan, dan Ideologi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
[16] Amal. Ichlasul, Cornelis Lay dan Erwin Endaryanta, 2010. “Mengenal Keamanan” dalam Bahan Perkuliahan Politik Keamanan dan Pembangunan, Program Pascasarjana, Fisipol-UGM, Yogyakarta.
[17] Dari sudut epistimologi, keamanan (security) berasal dari istilah Latin “se” dan “curus” yang berarti terbebas dari bahaya atau terbebas dari ketakutan.
[18] Working Group on Security Sector Reform (2006). Monograph-7: Kajian kritis Paket Perundangan di Bidang Pertahanan Keamanan. Propatria, Jakrta.
[19] Lihat misalnya dalam Muhaimin, Yahya (2008). Bambu Runcing dan Mesiu: Masalah Kebijakan Pembinaan Pertanan Indonesia, Tiara Wacana, Yogyakarta.
[20] Riyadi, Ahmad Ali. “Studi Islam dan Radikalisme Pendidikan dalam Konteks Masyarakat Majemuk” dalam Annual Conference on Islamic Studies (ACIS), Surakarta, 2-5 November 2009.
[21]
Fenomena kekerasan terhadap minoritas Syiah di Sampang, Madura,
misalnya, bisa jadi salah satunya disebabkan karena orientasi pendidikan
yang salah, terutama pendidikan agama yang cenderung eksklusif sehingga
turut memupuk benih permusuhan satu sama lain.
[22] Denny JA, “Al-Qaidah di Indonesia?” dalam Kompas, Jakarta:Eedisi Kamis, 26 September 2002.
0 komentar:
Posting Komentar