Tampaknya, intoleran di Indonesia akan terus meningkat. Berbagai
kelompok saling telikung, saling menunggangi untuk dapat memaksakan
kebenarannya sendiri. Tak cukup hanya melakukan pernyataan tandingan,
segala sesuatu yang sedikit berbeda dengan pandangan suatu kelompok,
langsung melaporkan dan mengajukan ke proses hukum. Kepolisian banjir
kasus. Lantas apa yang semestinya dilakukan Presiden, dalam menghadapi
intoleransi di negeri ini? Upaya kecil yang sudah dilakukan Presiden,
misalnya, mengajak NU dan Muhammadiyah bertindak sebagai benteng
memelihara toleransi di negeri ini. Pilihan ini mungkin saja tepat,
karena dua organisasi Islam itu cukup memiliki kekuatan besar dalam
menggerakkan warganya. Tetapi pendekatan elit seperti ini mungkin pula
sudah semakin usang, ketika situasi kehidupan masyarakat telah semakin
terbuka dan akses informasi cukup mudah dan melimpah ruah. Tindakan
strategis yang mesti dilakukan Presiden dalam menghadapi intoleransi,
pertama, harus lebih banyak lagi melibatkan berbagai kelompok sosial di
masyarakat. Sebut, misalnya, kelompok-kelompok adat, yang memiliki
kekuatan moral sosial dalam mengingatkan dan mendidik masyarakatnya
dalam berperilaku positif. Juga organisasi-organisasi sosial yang tak
pernah diperhitungkan dalam proses pengambilan keputusan politik
(misalnya, organisasi penyandang disabilitas) yang sangat mungkin
memiliki cara pandang dan tindakan berbeda dalam menghadapi
persoalan-persoalan intoleransi. Dalam perhitungan WHO, penyandang
disabilitas setidaknya diperkirakan 15% dari seluruh penduduk Indonesia.
Ini sebuah kekuatan massa yang cukup besar, dibandingkan kekuatan
partai politik sekalipun. Kedua, memberikan panduan tindak kepada para
pejabat agar bisa membedakan tindakan-tindakan sebagai pejabat publik
dan tindakan sebagai individu berkaitan dengan organisasi afiliasinya.
Pernyataan-pernyataan pejabat publik sering kali masih tertangkap bias
dengan kepentingan pribadinya manakala merespons peristiwa-peristiwa
intoleran. Misalnya, saat terjadi penolakan pembangunan sebuah rumah
ibadah oleh kelompok tertentu, seorang pejabat publik berbicara di media
dengan membenarkan tindak itu. Atau ketika polisi melakukan
penangkapan, sebagian pejabat publik mempertanyakan proses
penangkapannya. Situasi komunikasi seperti ini, bisa ditangkap publik
sebagai sebuah pembenaran atas tindakan intoleran. Ketiga, meminta
kepada para pimpinan partai politik agar mengingatkan
anggota-anggotanya, terutama yang duduk di badan legislatif dan
eksekutif agar mereka bersikap hati-hati dan tidak mudah memberikan
komentar dan dukungan terhadap tindakan yang ditengarai beraroma
intoleran. Mereka seharusnya memberikan dukungan penuh terhadap tindakan
kepolisian dalam menangani kasus-kasus yang diduga intoleran, dan
memercayai proses hukum agar tidak menumbuhkan ketidakpercayaan terhadap
institusi polisi. Keempat, memberikan instruksi kepada kepolisian untuk
mencegahnya terjadinya pengerahan massa dalam proses-proses pemeriksaan
saksi atau tersangka kasus-kasus intoleran. Sebab pengerahan massa
seperti tidak bisa jadi tidak termasuk dalam kategori kebebasan
berpendapat yang dijamin UU, melainkan sebuah tindakan intimidasi
terhadap aparat penegak hukum dalam melakukan proses pemeriksaan.
Kelima, harus bertindak arif dalam menghadiri setiap peristiwa yang
beraroma intoleran, terlebih memiliki indikasi terhadap wacana yang
hendak menggoyahkan sendi-sendi NKRI. Ketidakhati-hatian dalam soal ini
bisa memberikan efek, seakan-akan Presiden menyetujui tindakan-tindakan
yang dihadirinya. Keenam, bersikaplah tegas dalam menghadapi setiap
tindakan yang mengarah pada intoleran. Ketegasan ini bisa didapat dengan
meminta para penasehat dan dewan pertimbangan untuk terus menerus
secara aktif mengolah informasi, membaca data, dan memberikan
masukan-masukan yang produktif dalam meredam meningkatnya intoteran di
negeri ini. Dengan enam langkah ini, setidaknya akan bisa sebagai jalan
melakukan tindakan-tindakan strategis dalam melawan intoleran di negeri
ini. Hancurnya toleransi di negeri ini merupakan sebuah petaka yang amat
besar, sebab bangsa ini terdiri dari beragam suku dan beragam agama,
yang menjaganya hanya dengan cara menumbuhsuburkan sikap toleran. Lain
tidak.***
0 komentar:
Posting Komentar