Pendahuluan Populasi pengguna internet di dunia terus saja meningkat
setiap tahunnya. Kini, jumlahnya sudah menyentuh angka yang sangat
besar. Dalam ajang D11 Conference yang diadakan oleh situs AllThingsD,
Mary Meeker yang berasal dari firma Kleiner Perkins Caufield & Byers
Meeker, mengungkapkan bahwa pengguna internet di seluruh dunia telah
menyentuh angka 2,4 miliar orang. Pengguna internet di Indonesia dari
tahun ke tahun jumlahnya juga terus mengalami kenaikan. Berdasarkan
hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII),
pengguna internet di Indonesia pada tahun 2009 mencapai 30 juta, tahun
2010 sebanyak 42 juta, tahun 2011 sebanyak 55 juta, tahun 2012 mencapai
63 juta orang, dan tahun 2013 mencapai 71,19 juta, hal yang sama juga
pada tahun 2014 dan 2015 terus mencapai peningkatannya dengan angka yang
cukup tinggi. Internet sebagai konsekuensi dari perkembangan teknologi
informasi memiliki dua sisi yang bertolak belakang, misalnya, internet
merupakan media yang efektif untuk menyampaikan pesan pada publik. Namun
sarana ini justeru kerap dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk
mengampanyekan ideologi nya. Sebuah lembaga yang bergerak di bidang
riset dan kajian masalah-masalah terorisme, The Terrorism Research
Center pernah mengumumkan hasil penelitiannya mengenai tren terorisme
global. Dalam laporan itu diungkapkan, selama kurun waktu 1993-1998
jumlah aksi-aksi terorisme di seluruh dunia memperlihatkan penurunan.
Namun, di Asia tercatat justru terjadi peningkatan, misalnya pada tahun
1996 di Asia terjadi 11 aksi terorisme, 21 aksi terorisme pada 1997, dan
sebanyak 48 aksi terjadi pada 1998, pasca 1998 hingga 2003 diprediksi
telah terjadi sebanyak 100 lebih aksi kekerasan maupun terorisme yang
berskala besar di kawasan Asia. Dan diantaranya juga di kawasan Asia
Pasifik. Indonesia sendiri, saat ini dikenal sebagai ladang subur
persemaian aksi radikalisme dan terorisme. Radikalisme dan Terorisme
Istilah teror dan terorisme sesungguhnya mulai populer pada abad ke 18,
namun fenomena yang ditujukannya bukanlah baru, sebab terorisme telah
lama di kenal sejarah. Terorisme telah lahir sejak ribuan tahun silam
dan telah menjadi legenda dunia. Taktik terorisme mulai di kenal sejak
awal abad ke 48 Masehi, ketika sebuah sekte Yahudi bernama Zealots
berkampanye melalui aksi terorisme untuk memaksa pemberontakan terhadap
bangsa Romawi di Judea. Kampanye yang dilakukan termasuk asasinasi
(pembunuhan) oleh Sicarii (sebuah aksi ekstrem Yahudi). Maraknya aksi
teror yang terjadi dengan jatuhnya banyak korban telah mengidentifikasi
bahwa terorisme adalah kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Pengertian tindak pidana terorisme sendiri di Indonesia termuat dalam
pasal 6 dan Perpu No 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003.
Saat ini bisa dikatakan kerentanan terhadap radikalisme berbasis sosial
keagamaan telah menjadi humus yang baik bagi tumbuh subur dan
berkembangnya terorisme. Menurut Sholahuddin Wahid mengkafirkan orang
lain saja sudah meresahkan, mengganggu kerukunan dan harmoni sosial,
apalagi menghalalkan darah, demikian bisa memicu tindakan yang lebih
kriminal. Menurut laporan tahunan The Wahid Institute tentang kebebasan
beragama dan berkeyakinan, di tahun 2010 kasus intoleransi sebanyak 184
kasus. Tahun berikutnya 267 kasus dan di tahun 2012 jumlahnya mencapai
274 kasus. Hasil pantauan tahunan Setara Institute pun menunjukkan tren
peningkatan kasus intoleransi. Di tahun 2011, kasus intoleransi tercatat
244 kasus. Sedangkan di tahun 2012 jumlahnya 264 kasus. Berdasarkan
data lembaga-lembaga tersebut, kekerasan berlatar agama dan intoleransi
beragama dipicu karena adanya perbedaan aliran/paham keagamaan.
Sebenarnya aksi terorisme di Indonesia tidak hanya terjadi di era
reformasi sekarang ini, melainkan sudah terjadi sejak puluhan tahun
silam. Jika ditelusuri dari jejak sejarahnya. Perang melawan terorisme
yang dilakukan aparat kepolisian pun telah berhasil menangkap ratusan
pelaku terorisme, termasuk gembong teroris di Indonesia yakni Dr. Azhari
dan Noordin M Top. Berdasarkan catatan Detasemen Khusus anti teror
(Densus 88), sejak tahun 2000 hingga April 2013, sudah 845 pelaku
teroris yang ditangkap di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut,
tersangka yang meninggal dunia di TKP 83 orang, tewas bom bunuh diri 11
orang, divonis mati 6 orang, dan divonis seumur hidup 5 orang. Di antara
mereka juga yang dikembalikan ke keluarga sebanyak 65 orang, 10 orang
proses penyidikan, 47 tahap persidangan, dan 618 orang divonis dengan
berbagai jenis hukuman. Serangan terorisme di Indonesia terus mengalami
elevasi, mulai dari jaringan, target serangan, dan pelaku. Sejak tahun
2000 hingga 2010, orang-orang barat, nonmuslim dan simbol-simbol asing,
khususnya Amerika dan sekutu nya dijadikan sebagai target serangan.
Namun, sejak 2011 hingga sekarang simbol-simbol negara seperti aparat
keamanan bahkan sampai kepada rumah ibadah sudah menjadi target serangan
teror. Dua kali aksi bom bunuh diri meledak di dalam komplek
kepolisian, yakni di Masjid Adzikra Mapolresta Cirebon, Jawa Barat dan
Mapolres Poso, Sulawesi Tengah. Internet dan Pesan-pesan Radikalisme
Munculnya website yang kerap menebar hate speech adalah fakta konkret
bahwa internet menjadi lahan empuk bagi kelompok radikal dalam melakukan
propagandanya. Dari kampanye-kampanye kebencian inilah kemudian
sebahagian pihak khususnya generasi muda yang cenderung eksklusif merasa
seolah mendapat pembenaran untuk melancarkan aksi dan mengamalkan
ideologinya untuk memusuhi Amerika, non Muslim bahkan untuk meruntuhkan
negara demi untuk khilafah impiannya. Pada 2011, Kementerian Komunikasi
dan Informatika menerima pengaduan sebanyak 900 yang terkait dengan
situs–situs radikal. Dari jumlah itu sebanyak 300 situs yang dianggap
radikal telah diblokir (BBC Indonesia, 28 September 2011). Penutupan
situs radikal merujuk pada UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik. Berikut ciri-ciri kelompok/media radikal dalam
mengekspos isu-isu tertentu dan perbandingannya dengan kelompok/media
moderat, yaitu seperti dalam tabel di bawah Ini :
Masih adanya aksi teror dan tertangkapnya anggota jaringan teroris di
sejumlah daerah mengindikasikan bahwa terorisme masih menjadi ancaman
nyata dan serius bagi bangsa Indonesia. Hal itu juga menandakan kelompok
teroris berhasil menyebarkan propaganda mereka. Kelompok teroris telah
melakukan pelbagai aksi mulai dari peledakan bom di tempat keramaian,
peledakan tempat-tempat ibadah, pengeboman kantor kedutaan atau
representasi perusahaan asing, hingga penembakan dan pengeboman aparat
kepolisian. Dampak yang diakibatkan dari aksi terorisme di antaranya
merenggut nyawa, mencederai orang lain dari cedera ringan hingga cedera
permanen, kerugian materi dan kerusakan fasilitas umum. Permasalahan
radikalisme keagamaan memang harus menjadi perhatian serius bagi bangsa
ini. Sebab benih-benih radikalisme keagamaan kini telah tumbuh subur di
kalangan generasi muda. Bahkan, radikalisme disinyalir telah masuk ke
dalam lembaga pendidikan formal. Hal ini dibuktikan oleh hasil
penelitian Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) yang menunjukkan,
hampir 50 persen pelajar di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi
(Jabodetabek) setuju dengan aksi radikal demi agama. Menyadari internet
ikut andil dalam menyebarkan radikalisasi keagamaan, maka
deradikalisasi terorisme di dunia maya pun harus dilakukan. Indonesia
harus mampu melawan isu dari kelompok radikal yang suka menebar
kebencian dan anti terhadap kebangsaan. Hemat penulis, bila tidak segera
ditangani radikalisme melalui media Ini, maka akan terus seperti hantu
yang bergentayangan untuk tetap menebar teror.
0 komentar:
Posting Komentar