Kabar gembira bagi para pencinta Pancasila. Deklarasi ‘perang’ terhadap radikalisme kembali muncul dari kalangan kampus.
Kali ini, seluruh perguruan tinggi negeri
dan swasta se-Kalimantan melakukan deklarasi antiradikalisme di
lingkungan kampus. Deklarasi itu dikumandangkan usai kuliah umum Menteri
Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir di
Universitas Borneo Tarakan, Tarakan, Kalimantan Utara, baru-baru ini. .
Menurut Menristekdikti, deklarasi Ini
merupakan yang ketiga kalinya digelar setelah deklarasi serupa di Jawa
dan Sumatera. Dan hal ini memang seharusnya dilakukan oleh perguruan
tinggi yang mengemban amanat untuk menjaga empat pilar kebangsaan, yakni
Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhineka
Tunggal Ika.
Pihak Universitas dan rektorat harus
bertanggung jawab terhadap penannggulangan radikalisme di kampusnya.
Sehingga, lanjut Menristekdikti, jangan sampai ada mahasiswa maupun
dosen yang terlibat dalam gerakan radikalisme.
Secara hukum, Menristekdikti menjelaskan
telah ada Peraturan Pemerintah 53/2010 yang memuat aturan bahwa rektor
maupun dosen yang terlibat gerakan radikalisme bisa diberhentikan.
Selain itu, Kemristekdikti telah mempersiapkan formula pencegahan
gerakan radikal dan intoleran yang bertentangan dengan nilai-nilai
Pancasila dan kebhinekaan di kampus melalui program “General Education”.
Program ini berusaha menanamkan wawasan kebangsaan dan pluralisme
kepada warga kampus.
Deklarasi perguruan tinggi se-Kalimantan
yang didorong oleh pemerintah itu menambah panjang deretan kalangan
akademisi yang berpartisipasi melawan radikalisme. Sebelumnya, beberapa
perguruan tinggi negeri juga sudah menegaskan penolakannya pada
propaganda radikalisme atau promosi “khilafah Islamiyah” yang diusung
ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Baru-baru ini, Institut Teknologi Sepuluh
Nopember (ITS) Surabaya juga menegaskan pelarangan terhadap segala
bentuk propaganda penegakan khilafah yang menolak Pancasila dan
demokrasi di kampus tersebut.
Rektor ITS Prof Joni Hermana menegaskan
Pancasila sebagai ideologi kebangsaan dan UUD 1945 sebagai konstitusi
negara wajib diikuti oleh bangsa Indonesia, termasuk umat Islam yang
menjadi bagian tak terpisahkan dari bangsa Indonesia.
Apalagi, Pancasila dan UUD 1945 juga
menjamin kebebasan bangsa Indonesia dalam menjalankan agama sebagaimana
dalam Sila Pertama.
Untuk itu, Joni memandang apapun yang
bertentangan dengan prinsip yang berlaku di negara ini, termasuk prinsip
untuk meninggalkan demokrasi dan Pancasila serta menggantinya dengan
khilafah adalah salah. Sebab hal itu adalah tindakan melawan negaranya
sendiri atau makar.
Dan sebagai lembaga pendidikan tinggi
milik pemerintah dan negara Indonesia, ITS harus patuh dan menjalankan
landasan yang telah menjadi kesepakatan nasional untuk kehidupan
kebangsaan. Karenanya ITS tidak akan membiarkan kegiatan apapun yang
bertentangan dengan ideologi negara.
ITS bukan kampus negeri pertama yang
melarang aktivitas propaganda Khilafah di dalam kampus. Sebelumnya,
pimpinan Universitas Brawijaya di Kota Malang, Jawa Timur, juga telah
melarang kegiatan dakwah yang digelar sekelompok mahasiswa. Rencananya,
acara itu akan menghadirkan seorang pembicara dari Jakarta.
Pihak kampus mencium keterkaitan panitia penyelenggara dan calon pembicara dalam acara tersebut dengan HTI.
Akhir April lalu, Rektor Universitas
Brawijaya juga tidak mengizinkan acara keagamaan yang digelar Lembaga
Kajian Islam Al Fatih Muslim Drenalin (LKI-AMD), Fakultas Ilmu Komputer
Universitas Brawijaya. Rencananya, acara itu akan menghadirkan pendakwah
dari Jakarta, Felix Siauw.
Lagi-lagi, acara itu tidak diizinkan karena diduga materinya terkait dengan ideologi HTI.
Beberapa perguruan tinggi lainnya pun
melakukan hal serupa. Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, misalnya
juga menegaskan komitmennya untuk tidak mentolerir keberadaan dan
dakwah HTI. Pihak Rektorat akan melakukan pengawasan menyeluruh terhadap
mahasiswa sejak mereka masuk kampus agar tak tersusupi paham radikal.
Rektorat juga mengambil-alih pengelolaan
masjid kampus untuk menangkal propaganda khilafah. Dan semua itu
dilakukan UGM sebagai wujud komitmennya untuk menjadi benteng Pancasila,
sebagaimana amanat Tri Dharma perguruan tinggi.
Di Yogyakarta, UGM tak sendiri. Kampus
lainnya di Yogyakarta yang juga melarang aktivitas HTI adalah Institut
Seni Indonesia (ISI). Rektor ISI Yogyakarta, Agus Burhan telah
mengeluarkan deklarasi yang melarang segala bentuk penyebaran atau
kampanye ormas di kampus, termasuk HTI dan partai politik. Rektor
menegaskan ISI Yogyakarta sedang berupaya menjadi pelopor perguruan
tinggi seni nasional yang unggul, kreatif, dan inovatif berdasarkan
Pancasila.
Ratusan kilometer dari Yogyakarta ke arah
barat, tepatnya di kota Bandung, Institut Teknologi Bandung (ITB) juga
melakukan hal serupa. ITB melarang kegiatan dan organisasi
kemahasiswaan yang menginduk pada organisasi masyarakat, sosial, maupun
politik manapun yang berasal dari luar kampus, terutama yang terkait
dengan HTI.
Kebijakan kampus-kampus tersebut itu
melarang aktivitas HTI dan propaganda khilafah sudah tepat. Sebab
pemerintah memang sedang memproses pembubaran HTI. Maka, sudah
selayaknya seluruh perguruan tinggi, terutama yang milik negara,
mengikuti kebijakan pemerintah.
Lebih dari itu, sebagai bagian dari
aparatus ideologi negara, perguruan tinggi juga berfungsi melakukan
ideologisasi Pancasila pada para mahasiswa. Maka sangat tak tepat
apabila perguruan tinggi memberi ruang pada tumbuhnya ideologi anti
Pancasila, terutama paham kekhilafahan yang dikumandangkan HTI.
Sudah seharusnya, kampus-kampus lainnya turut berpartisipasi dalam melawan radikalisme yang membahayakan Pancasila ini.
0 komentar:
Posting Komentar