Demokrasi Indonesia sedang diuji hebat dengan noise
dari semua komponen masyarakat. Atas nama kebebasan berpendapat atau
demo yang dijamin dan dilindungi Undang-Undang, seakan-akan semua boleh
dilegalkan. Sadis dan kejam ! agama ikut-ikutan dijadikan tameng
pembenaran atas khayalan.
Adalah kealpaan yang akut para wakil
rakyat pembuat UU yang “hobi” membuat pasal karet dan multi tafsir, maka
lengkap sudah kegaduhan yang ada.
Kita tidak boleh dan bisa menyalahkan
perkembangan teknologi digital, karena apapun wujud dan canggihnya,
selalu akan memiliki dua sisi yang sama tajamnya. Masyarakat Indonesia
sepertinya masih “gagap” dalam mengejawantahkan dari niat baik sang
inventor. So jangan salahkan facebook, twitter, wa, instagram atau aplikasi lainnya.
Pilkada DKI kali ini, kegaduhannya sudah
dalam taraf yang sangat akut stadium IV, terlampau banyak kepentingan
yang ikut menungganginya. Sampai-sampai, siapa menunggangi siapa, tidak
jelas terlalu absurb. Kepentingan politik selalu akan menarik sepanjang
jaman, dengan slogan politik adalah pilar demokrasi.
Kesadisan dan kebengisan yang paling
mengerikan adalah saat politik berbaur dengan kepentingan ekonomi, lalu
disusupi dengan pembenaran agama. Batasan yang muncul menjadi semakin
tipis dan rapuh, tetapi tajam menusuk kepada jiwa dan nurani individu
yang berseberangan paham.
Awalnya FPI dan garis keras lainnya,
muncul hanya sebagai jawaban atas penghayatan pribadi beberapa ulama
yang tidak mendapatkan panggung, seolah-olah membenarkan bahwa mereka
adalah korban (victim) dari kekuasaan. Khayalan-khayalan perlahan
dibangun atas dasar ayat-ayat yang secara konteks dijabarkan dalam
bahasa keseharian dengan sangat dangkalnya pemahamannya.
Penulis setuju dengan kesimpulan dari
seorang Dafid Fuadi yang berhasil menyimpulkan salah satu bentuk
propaganda atas kepentingan sesaat yang sangat naïf ini. Hal ini hanya
akan memperlihatkan kekurangpahaman atas keyakinannya.
Lihat saja bagaimana kaum dangkal yang
ingin memaksakan konsep wahhabi secara terstruktur, mulai menyerang dan
begitu mudahnya menghakimi.
- Pertama stempel kata “musyrik”, “kafir”, “zindig”, “ahli bi’dah” dan “khurafat”.
- Tahap ke-2 menjadi kata “syiah”, “liberal”
- Tahap ke-3 menjadi “munafik”
- Tahap ke-4 menjadi kata “komunis”, “PKI”
- Tahap akhir apabila belum mempan juga akan memakai peran sebagai korban terzalimi, “playing victim”
Contoh kecil bagaimana agama mulai diterjemahkan dalam konteks kepentingan politik.
Apakah tidak menimbulkan kengerian dalam
masyarakat, munculnya propaganda atau kampanye semacam ini, jawaban yang
masuk akal hanyalah pemakaian ayat-ayat perang dalam kondisi damai.
Kampanye semacam ini murni pesanan, entah menunggangi atau ditunggani
oleh “pemilik modal” atau “pesohor” yang kehilangan peran di negara ini.
Mengutip dari seorang cendikiawan Nadirsyah Hosen, maaf ya prof ! Saya tidak sematkan gelarnya takutnya nanti ada merasa sensi dan terimtimidasi oleh gelarmu.
“Kabarkanlah kepada orang-orang
munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (yaitu)
orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi AWLIYA dengan
meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi
orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.”
Misalkan saja tentang perdebatan terhadap penghakiman atas pelabelan seorang muslim yang pilih kandidat non muslim sebagai munafik.
Adalah pembenaran dan khayalan yang ditebarkan dan dikampanyekan secara
massif tanpa melihat terlebih dahulu tentang kebenaran sesungguhnya.
Pada saat yang sama sang cendikiawan
santun ini mulai mencari dalam kaidah keilmuan yang dalam, tanpa
diracuni oleh kepentingan pribadi ataupun pesanan dari “seorang pemangku kepentingan”. Lihatlah bagaimana pelabelan tersebut ternyata ditelaahnya dalam banyak sumber keilmuan agama yang sangat dalam.
Inilah 10 rujukan kitab Tafsir yang beliau
dapat cantumkan, ternyata cukup banyak juga. Satu hal yang pasti bagi
penulis adalah tidak perlu menyertakan ayat detailnya tetapi poin utama
yang ingin digali adalah bahwa untuk memahami sebuah kebenaran
seringkali harus memperhatikan kondisi saat ini dan suasana kebatinannya
ataupun sumber kebenaran yang lain sebagai referensi.
- Tafsir al-Thabari
- Tafsir al-Qurthubi
- Tafsir Ibn Abbas
- Tafsir al-Tsa’labi
- Tafsir Hasyiah al-Shawi
- Tafsir al-Munir
- Tafsir al-Wasith Sayyid Thantawi
- Tafsir al-Qasimi
- Tafsir al-Khozin
- Tafsir al-Sya’rawi
Apakah ada pembaca yang ingin membedah lebih dalam dan detail ? Monggo silahkan saja, apalagi ingin melengkapinya.
Terakhir kalinya beliau sempat ngetwit,”Inilah
cara kita membela al-Qur’an dg benar: menempatkan ayat suci dg
terhormat, bukan membenamkannya dalam kubangan politik kebencian”.
Bagaimana menurutmu ? Saatnya berpikiran waras !
Salam NKRI
0 komentar:
Posting Komentar