Media
massa tidak bisa dipisahkan dari aksi terorisme. Tanpa kehadiran media
yang memublikasikan aksi teror kepada publik, terorisme akan kehilangan
makna, karena tujuan aksi teror itu tidak akan tercapai. Jika teroris
ingin menyampaikan pesan politik, memberi tekanan pada pemerintah, atau
menciptakan ketakutan di kalangan masyarakat, semua itu baru akan
tercapai jika ada publikasi media.
Bahkan, karena sangat menyadari pentingnya
peran media, kaum teroris tidak cuma mengandalkan pemberitaan dari
media luar. Kaum teroris sendiri dan para pendukungnya, berkat kemajuan
teknologi informasi dan jaringan Internet, dapat langsung memublikasikan
sendiri aksi-aksi terornya melalui media online dan media sosial.
Kelompok ekstrem ISIS (Islamic State of Iraq and Syria), misalnya,
secara sistematis menyebarkan aksi-aksinya di media Twitter, Youtube,
Facebook, dan sebagainya.
Pelaku terorisme paham bagaimana
memanfaatkan media untuk mencapai tujuan-tujuan politiknya. Mereka
bahkan piawai mencari simpati, menggalang dana, dan merekrut
anggota-anggota baru lewat propaganda di berbagai media. Bagi Anda yang
suka mengamati narasi di media sosial atau sejumlah situs media daring,
mungkin pernah membaca hal semacam ini.
Dalam berbagai status di media sosial dan
media daring, ada semacam pujian atau pengagung-agungan terhadap pelaku
terorisme yang tewas dalam melaksanakan aksinya. Dikatakan, misalnya,
bahwa pelaku terorisme itu mati dengan “tersenyum,” atau mayat teroris
itu berbau wangi, sesudah sekian hari darahnya masih segar mengalir, dan
lain-lain. Dalam wacana keagamaan tertentu, semua itu dianggap
tanda-tanda bahwa orang bersangkutan “mati syahid.” Inilah sebentuk
glorifikasi (glorify) atau pengagung-agungan terhadap pelaku terorisme.
Di negara-negara Eropa belakangan ini
muncul diskursus sekaligus kekhawatiran bahwa Internet menjadi salah
satu alat penting untuk menyebarkan paham radikal di kalangan remaja.
Internet memang membuka ruang baru untuk menyebarluaskan sekaligus
mendiskusikan berbagai hal, nyaris tanpa sekat ruang dan waktu.
Mayjen TNI Agus Surya Bakti, yang hampir
lima tahun menjabat deputi Pencegahan Perlindungan dan Deradikalisasi
BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) mengungkapkan, jumlah dan
ragam situs yang dikelola oleh kelompok-kelompok teroris dari tahun ke
tahun selaku meningkat.
Jika pada 1998 ada 12 situs, pada 2003
jumlah situs kelompok teroris ini sudah mencapai 2.650. Pada 2014,
jumlah situs itu meningkat drastis menjadi 9.800. Sedangkan pada 2016
ini, diperkirakan kelompok-kelompok teroris akan mengelola lebih dari
15.000 situs.
Selain kuantitas, bentuk dan pola
penyebaran terorisme di dunia maya pun semakin berkembang. Menurut Agus,
dalam bukunya Deradikalisasi Dunia Maya, pertumbuhan situs radikal di
Indonesia cukup masif. Dari yang terang-terangan berafiliasi dengan
jaringan teroris hingga yang secara samar-samar dan sembunyi-sembunyi
memberi dukungan kepada gerakan radikal-terorisme.
Sidney Jones, peneliti terorisme dari
Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), menyatakan, media
sosial adalah alat propaganda favorit bagi para pendukung ISIS di
Indonesia. Mereka kerap menggunakan Facebook Fan Pages sebagai alat
propaganda. Beberapa di antaranya sempat ditutup Facebook, namun mereka
membuatnya lagi dengan nama yang berbeda. Meski demikian, Jones
mencatat, sejak pertengahan 2015 penggunaan Facebook oleh para pendukung
ISIS di Indonesia cenderung menurun.
Namun penurunan itu diimbangi dengan
merebaknya penggunaan aplikasi cakap-cakap melalui telepon seluler,
seperti WhatsApp, Telegram, dan Zello. Ketiga aplikasi ini menjadi
favorit di kalangan kelompok ekstrem di Indonesia. Bahkan, sebagian
narapidana terorisme yang masih berada di penjara bisa berkomunikasi
lewat aplikasi tersebut dengan Timur Tengah, dan juga dengan sesama
pendukung ISIS di Indonesia.
Secara singkat dapat disimpulkan, media
menjadi pisau bermata dua, yang bisa digunakan untuk kebaikan dan juga
untuk kejahatan. Di satu sisi, kita memerlukan media untuk menyampaikan
pesan-pesan damai, mencegah radikalisasi, dan meredam pesan-pesan
kekerasan. Sebaliknya, para pendukung terorisme juga memanfaatkan media
untuk mempropagandakan misi dan tujuannya.
Menyadari hal ini, Dewan Pers telah
mengeluarkan panduan bagaimana agar media tidak menyampaikan pemberitaan
yang sengaja atau tak sengaja mendukung pelaku terorisme. Panduan itu
tertera dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 01/Peraturan–DP/IV/2015 tentang
Pedoman Peliputan Terorisme. Pedoman itu ditetapkan pada 9 April 2015,
dan ditandatangani oleh Ketua Dewan Pers, Prof. Dr. Bagir Manan, S.H.,
M.C.L.
Kejahatan Luar Biasa
Dalam mengeluarkan panduan ini, Dewan Pers
menyadari bahwa: Pertama, tindak terorisme merupakan kejahatan luar
biasa, yang memerlukan keterlibatan semua pihak termasuk pers untuk
menanggulanginya. Kedua, berita pers mengenai aksi maupun dampak
terorisme semata-mata untuk kepentingan publik. Ketiga, sebelum ini pers
di Indonesia belum memiliki pedoman peliputan, yang dapat menjadi acuan
bersama dalam memberitakan tindak terorisme. Keempat, pers harus
bekerja secara profesional sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun
1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
Penjelasannya adalah sebagai berikut.
Tindak terorisme adalah sebuah kejahatan luar biasa (extraordinary
crime). Sejak 1993 pada saat Deklarasi Wina dan program aksi Wina,
terorisme sudah dianggap sebagai murni tindak pidana internasional dan
sebagai perbuatan yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Konsep ini
dikukuhkan PBB pada 1994, dan dikukuhkan lagi pada 1996.
Pada 2003, Dewan Keamanan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan Resolusi 1456 yang menyatakan bahwa
dalam menumpas terorisme, negara-negara harus mengambil tindakan yang
sesuai dengan kewajibannya menurut hukum internasional. Dan setiap
tindakan yang diambil untuk memberantas terorisme itu harus sesuai
dengan hukum internasional, termasuk hukum HAM internasional, hukum
pengungsi internasional, dan hukum humaniter.
Wartawan memberitakan tentang aksi maupun
dampak terorisme semata-mata untuk kepentingan publik. Dalam meliput,
para wartawan harus selalu berpegang pada kode etik jurnalistik (KEJ).
Norma KEJ menyebutkan tentang independensi, akurasi berita,
keberimbangan, itikad baik, informasi teruji, membedakan fakta dan
opini, asas praduga tak bersalah, perlindungan terhadap narasumber dan
orang-orang yang berisiko.
Namun wartawan perlu selalu mengingat
bahwa tugas utama jurnalistik adalah mengungkapkan kebenaran. Kebenaran
dalam jurnalistik sendiri bukanlah kebenaran yang bersifat mutlak tetapi
kebenaran yang bersifat fungsional, yakni kebenaran yang diyakini pada
saat itu dan terbuka untuk koreksi.
Setiap wartawan juga berkewajiban menjaga
profesionalitas. Komitmen utama jurnalisme adalah pada kepentingan
publik. Kepentingan pribadi, kelompok, atau kepentingan pemilik media
harus selalu ditempatkan di bawah kepentingan publik. Wartawan harus
cermat dalam mengumpulkan dan menyebarluaskan informasi, menjaga
keberimbangan, dan independen.
Meskipun sudah ada berbagai pandangan di atas, Dewan Pers masih menganggap perlu ada satu pandangan peliputan terorisme sebagai standar pemberitaan terorisme, yang sekaligus melengkapi ketentuan yang telah diatur dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers maupun Kode Etik Jurnalistik. Panduan peliputan itu dijabarkan dalam 13 butir arahan Pedoman Peliputan Terorisme.
0 komentar:
Posting Komentar