“Jika kau ingin menguasai orang bodoh, maka bungkuslah segala sesuatu yang batil dengan kemasan agama”
(Ibnu Rushd)
Inilah fenomena mutakhir
yang terjadi di Pilgub DKI 2017. Apapun caranya, termasuk mengajak
Tuhan sekalipun yang penting Ahok tidak kesampaian menjadi gubernur
untuk kedua kalinya.
Pelibatan agama dan Tuhan dalam Pilgub DKI
sudah terasa sangat memuakkan. Beragam cara dilakukan namun tidak
pernah berhasil menjatuhkan nama Ahok di tengah-tengah masyarakat DKI
Jakarta. Akhirnya mereka menembak dan membidik titik lemah Ahok –yang
menurut mereka merupakan titk lemah- yakni backgorund Ahok yang datang dari penganut agama minoritas dan kebetulan beretnis minoritas.
Ahok adalah korban senyata-nyatanya
politisasi agama. Ayat-ayat kitab suci digunakan untuk menjegalnya dan
bahkan kalau perlu memenjarakannya. Ahok dianggap menista agama, padahal
apa yang Ahok katakan tak lebih dari peringatan akan orang-orang yang
memanfaatkan atau memakai ayat-ayat untuk membohongi konstituen atau
masyarakat akar rumput. Bak gayung bersambut, kata-kata Ahok di
Kepulauan Seribu dianggap menista. Kini, statusnya sebagai terdakwa dan
harus menjalani entah berapa kali sidang sebelum Sang Hakim mengetokkan
palunya. Akankah Ahok dinyatakan bersalah ? Mari kita lihat saja
skenario ini berjalan.
Kalau Ahok masih dianggap kurang, maka
yang sekarang digarap dan yang menjadi sasaran adalah para pendukungnya.
Mereka-mereka yang memilih Ahok pada putaran pertama Pilgub DKI lalu.
Kepada merekalah teror dijalankan. Ketika ayat-ayat memilih pemimpin non
muslim masih kurang bergema, maka mereka bergerak lebih jauh. Dibuatlah
spanduk-spanduk yang isinya mengerikan. Dilarang mensholatkan
orang-orang yang mendukung Ahok karena mereka dianggap sebagai
orang-orang munafik yang mendukung calon pemimpin nonmuslim. Nah, lho,
beginilah jika agama sudah terlalu jauh di bawa ke ranah politik praktis
dan pragmatis.
Spanduk tersebut sudah kadung tersebar ke
mana-mana dan tokoh agama maupun aparat keamanan lambat menyikapinya.
Namun, seperti dikutip laman bangka.tribunnews.com, akhirnya
tanggapan datang dari Dewan Masjid Indonesia dan Pemuda Muhammadiyah
yang mengatakan ajakan tersebut tidak sesuai ajaran Islam dan terlalu
mempolitisasi masjid.
“Abaikan saja (isi ajakan dalam
spanduk). Yang mau salatkan (jenazah umat Islam yang mendukung Ahok),
misalnya, tetangga atau saudaranya, jalankan (salat jenazah) saja,” kata
Wakil ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI), Masdar Farid Mas’udi.
Pernyataan di dalam spanduk tersebut, demikian Masdar, tidak tepat serta
terlalu berlebihan. “Karena mensalatkan jenazah itu fardu kifayah.”
Artinya, harus ada yang menshalatkan jenazah umat Islam tersebut kemudian menguburkannya. “Apabila itu tidak dilakukan, semua umat Islam akan berdosa,” papar Masdar.
Dan akhirnya pemprov DKI tidak tinggal diam dengan aksi-aksi provokasi
ini. Bersama jajaran Satpol PP, Pemprov DKI telah menurunkan 206 spanduk
tolak menyalatkan jenazah dan spanduk serupa yang bernada provokatif.
Wilayah Jakarta Timur menjadi yang terbanyak ditemukan spanduk ini.
Jika itu juga masih dirasa kurang, maka
rencananya nanti pas hari-H pencoblosan putaran kedua akan diadakan
“Tamasya Al-Maidah” warga dari luar Jakarta diundang untuk hadir di
tempat-tempat pemungutan suara atau TPS. Kehadiran mereka tak jelas
untuk apa, dan target apa yang ingin diraihnya ? Yang jelas tentunya
–jika itu dilaksanakan- akan mengganggu dan mengintimidasi para pemilih.
Sebaliknya penggagas acara ini –seperti
dilansir news.detik.com- justru berpikiran sebaliknya. Gerakan Nasional
Pembela Fatwa MUI (GNPF MUI) yang akan menggelar aksi ‘Tamasya
Al-Maidah’ di hari H Pilgub DKI putaran kedua. GNPF menyebut aksi ini
dilakukan agar pilkada bisa berjalan dengan damai.
“Tamasya Al-Maidah. Pada intinya, ini
kami dari GNPF MUI ingin agar Pilkada DKI Jakarta dapat berjalan dengan
damai dan tertib. Mengapa namanya ‘Tamasya Al-Maidah’ karena spiritnya
kan dari 212 juga yang memperjuangkan Al-Maidah 51,” kata tim
advokasi GNPF MUI Kapitra Ampera kepada wartawan, Rabu (15/3/2017).
Kapitra mengatakan GNPF MUI sendiri juga akan memastikan relawannya
tidak melakukan pemaksaan. Dia juga menyatakan aksi ini semata-mata
untuk membuat suasana damai, bukan untuk memilih pasangan tertentu.
Jika agama sudah dicampuradukkan ke dalam
ranah politik inilah yang terjadi. Agama yang suci dan sakral
ditunggangi sedemikian rupa untuk kepentingan-kepentingan pragmatis dan
profan semata. Pilgub DKI, seperti saya jelaskan di awal tulisan ini
adalah seaktual-aktualnya politisasi agama. Jika praktek-praktek ini
dibiarkan berlarut-larut, bukan tak mungkin masyarakat kita terpecah
belah dan tersekat-sekat dalam primordialisme sempit.
0 komentar:
Posting Komentar