Menjadi ulama/kyai NU itu membutuhkan keikhlasan dan ketawadhuan tingkat tinggi. Menjadi kyai NU harus siap nrimo,
hidup sederhana, bahkan bisa dibilang pangkatnya gitu-gitu aja. Menjadi
Kyai NU lebih sering difitnah, dihina dan dicaci. Menjadi Kyai NU tidak
akan pernah setenar ustaz-ustaz yang sering tampil di TV, yang bahkan
tak pandai mengaji. Hanya bermodal suara serak, nangis, atau mengutip
ayat al Quran dan Hadist dan dengan lantang suaranya bergemuruh Allahu
Akbar sana-sini. Atau tidak akan dikagumi seperti halnya ustaz gadungan
yang wajahnya ganteng rupawan, menjadi endorse baju muslim dan kerjanya kawin-cerai-poligami.
Begitulah menjadi Kyai Nu, antara ada dan
tiada. Ada, ketika bangsa sedang dalam bahaya. Lalu dianggap tidak ada
dan tidak berjasa ketika masalah itu sudah terselesaikan. Istilah
kerennya ya jadi satpam, lah. Gus Mus pernah mengadukan hal ini pada
Gusdur. Sambil keduanya tiduran di lantai, beliau bilang ke Gusdur:
“Gus, NU itu dari dulu ndak naik2 pangkatnya, jadi Satpam
terus. Kalau ada sesuatu bahaya, maka NU maju ke depan (seperti sewaktu
resolusi jihad, sewaktu DI/TII, PKI, dll).
Tapi begitu bahayanya hilang,
NU kembali duduk di pojokan sambil rokokan. Begitu terus, ini gimana
nih Gus?”. Jawaban Gusdur seperti biasa langsung membuat diskusi
berhenti. Allah yarham Gusdur menjawab: “Apa masih kurang mulia
kalau kita bisa jadi Satpam nya bangsa ini?”. Dan Gusmus pun terdiam
tidak bisa melanjutkan omongannya.
Sejarah kembali terulang. Indonesia saat
ini sedang diambang krisis toleransi. Sedikit-sedikit bawa isu agama.
Masjid jadi sarang fitnah dan adu domba. Jika ada Kyai NU yang membela
si Anu, dianggap menyimpang. Dilabeli kafir, munafik, asu, dan
sebagainya. Jika kyai NU dianggap membela lawan si anu mereka bersorak
gembira, lalu semuanya mendadak NU. Perbedaan pendapat dikalangan Kyai
dijadikan bahan perdebatan dan olokan. Anak-anak muda NU pun, yang
kencingnya saja masih belok ikutan menghujat. Katanya NU tidak seperti
dulu lagi, tidak seperti NU nya Mbah Hasyim Asy-arie. Lalu mereka pun
membelot, mendukung kelompok radikal yang selama ini teriak Allahu
Akbar.
Strategi dakwah NU harus dipahami oleh
orang yang cerdas dan memiliki keluasan ilmu. NU berdakwah bukan dengan
cara turun ke jalanan, kampanye politik di jalan besar ibukota dengan
menutupinya dengan ritual keagamaan biar dianggap lebih Islam. Teriak
nyaring Allahu Akbar lantas merusak barang-barang. Itu strategi dakwah
yang dangkal. Orang mungkin akan terkagum, tapi lihat kelompok yang
seperti ini mudah terombang-ambing. Strategi dakwah NU itu licin, penuh
perhitungan. Pada awal dakwah tentu akan dicaci karena dianggap musuh.
Tapi pada akhirnya NU akan memenangi pertarungan. Berikut ada dialog
menarik dari strategi dakwah tersebut, yang saya ambil dari situs Duta
Islam.
“Aku malu jadi warga NU sekarang”.
“Kenapa memangnya?”
“NU sekarang tidak kayak NU zaman Mbah
Hasyim dulu, sekarang NU disusupi Syiah, liberal, komunis, bahkan sangat
dekat dengan Non-Muslim. kalau zamannya Mbah Hasyim kan masih murni,
lurus, tidak disusupi macam-macam”.
“Emang kamu pernah hidup dan merasakan NU di masa Mbah Hasyim?”
“Nggak sih”.
“Makanya jangan sok tahu dan termakan fitnah dan isu tidak benar. Kamu tahu kan Jepang itu penjajah dan menyembah matahari?”.
“Kalau itu tahu lah, kan banyak di tulis di buku sejarah”.
“Kamu tahu nggak, NU nya Mbah Hasyim itu
malah mengintruksikan santri-santri untuk latihan militer dengan Jepang.
Bahkan Mbah Hasyim jadi ketua Shumubu atau Menteri
Agama saat pemerintahan Jepang. Padahal kan Jepang Kafir, penjajah lagi.
Dan ternyata NU nya Mbah Hasyim bisa kok bersikap koperatif dengan
Jepang”.
“Masa sih?”
“Iya, dan kamu tahu nggak kalau Mbah Wahab
Hasbullah pernah dicap Kyai Komunis karena bersikap kooperatif dengan
Bung Karno dalam Nasakom nya. Berbeda dengan Masyumi yang memilih
keluar. Itulah siyasah, strategi dakwah. Lihatlah dampaknya. Dengan
kooperatif terhadap Jepang akhirnya bangsa Indonesia dapat bertempur
dengan baik dan akhirnya merdeka. Dengan kooperatif terhadap Bung Karno
(yang dekat dengan Komunis) akhirnya umat Islam terselamatkan dari
bahaya komunis. Bahkan atas saran NU, akhirnya Bung Karno tidak jadi
membubarkan HMI.
“Gitu ya?”
“Ya, Jadi NU Mbah Hasyim dan NU sekarang
itu tetap sama, membela Islam dan Indonesia, bukan salah satunya. Islam
saja atau Indonesia saja. Karena kalau membela salah satunya akan bisa
memunculkan perang antar anak bangsa yang akhirnya ibadah jadi tidak
nyaman dan selalu dihantui ketakutan”.
“Kalau gitu aku tidak malu lagi jadi NU dan bangga menjadi NU”.
“Makanya jangan percaya isu,fitnah,atau
hoax yang menjelekkan NU. Belum apa-apa sudah nuduh macam-macam pada NU
sekarang. Kita nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi. kita hanya tahu
dari Medsos yang belum tentu benar, sebaiknya husnudzon saja pada
penggede NU. Karena strategi NU ini mirip dengan starategi dakwah Nabi.
Kapan-kapan saya kasih tahu, sekarang ayo kerja, wes wayahe tandur.
0 komentar:
Posting Komentar