Sebenarnya,
kita adalah makhluk-makhluk bodoh yang mau-maunya memiliki agama. Untuk
menjadi pengikut pada suatu agama, termasuk Islam. Kita harus memutar
otak dua puluh empat jam non stop. Merenungi. Menghayati, dan memaknai
ajaran-ajaran dalam agama tersebut. Beragama. Berarti kita harus
mengulik. Membedah rahasia tuhan. Menyingkap tabir yang tertutupi.
Menemukan rumus-rumus tuhan. Demi mengenalnya lebih jauh. Demi
memantapkan dan membimbing jiwa kita mengahadapi hidup yang njelehi ini.
Cusssss. Gedeblug….
Tuhan
menurunkan kitab suci pembimbing manusia ke bumi. Untuk menemukan
rumus-rumus tuhan. Manusia perlu menelaah kitab suci sebagai buku manual
untuk lebih dekat dengannya. Untuk mengetahui mana yang baik dan buruk,
mana yang benar dan salah. Tapi ternyata eh ternyata. Kitab suci itu
terlalu kecil sebagai sumber pemaknaan tuhan. Manusia tetap harus
memutar otaknya, menyiramnya dengan oli agar lebih licin untuk
memikirkan tuhan. Untuk beragama.
Sedikit demi
sedikit, kitab suci (Al Qur’an) ditelaah. Dijabarkan sedikit demi
sedikit oleh para cendekiawan. Imam Muslim. Para Habaib. Kyai. Syech.
Ilmuwan Muslim. Dan sebagainya. Mereka menuangkannya ke dalam kitab yang
berlembar lembar dan beribu-ribu. Dahsyat. Mengagumkan. Memaknai Al
Qur’an dan Tuhan mulai terbantu. Otak dalam berpikir tidak terlalu ngoyo lagi.
Secara perlahan, karena lebih enak dan mudah membaca kitab karangan
cendekiawan muslim daripada Al Qur’an. Umat muslim mulai mengesampingkan
Al Qur’an.
Jaman terus
berkembang. Manusia terus menuntut perubahan dan kemudahan. Kitab-kitab
para ulama dan cendekiawan itu dirasa terlalu berbelit-belit. Kuno,
terlalu muluk-muluk. Kebanyakan filsafat. Apalagi ditambah masyarakatnya
kurang minat dalam membaca. Melelahkan. Mereka lebih suka mendengar.
Maka lahirlah ceramah-ceramah. Masyarakat berdatangan, menyimak. Buku
ditinggalkan, Al Qur’an di kesampingkan. Ulama dielu-elukan.
Tapi jaman
terus berjalan. Masyarakat malas keluar rumah. Model ceramah sudah tidak
diminati. Mau membaca malas, mendengarkan ceramah, juga enggan. Maka
lahirlah artikel. Rangkuman dari isi ceramah dan rangkuma beberapa
kitab. Dua lembar, cukup. Umat islam tersenyum. Al Qur’an semakin jauh.
Artikel
mulai membantu. Disebarkan kepada masyarakat luas. Perkembangan
teknologi meluas. Internet masuk lahirlah Google. Artikel dimasukkan.
Masyarakat membaca. Muncullah sesosok makhluk misterius tanpa rupa.
Banyak dipuja dan begitu pintar. Dia adalah sosok keramat pujaan para
netizen ababil. Dia menjadi the only one dalam memahami agam Islam dan agama lainnya. Dia adalah kitab suci, ulama, dan cendekiawan itu sendiri. Dia adalah, Mbah Google!
Cukup dengan
satu jari diusap-usapkan diatas kaca setebal rambut, sudah keluar
berbagai ilmu pengetahuan yang maha luas. Mbah Google, juru kunci itu
mulai memiliki banyak Santri. Banyak pengikutnya. Mereka memuja, bahkan
sampai ngeloni dimanapun dan kapanpun. Mbah Google, jauh
melebihi Al Qur’an dan omongan Ulama. Mbah Google, adalah bagian
kehidupan dari para pengikut agama itu.
Nun jauh di sana. Al Qur’an. Dan kitab suci lain. Tergeletak berdebu. Kadang diteleki
cicak. Tapi toh kita tetap diam saja. Kesucian Al Qur’an tidak ada
apa-apanya dibandingkan kesucian Mbah Google dan kitab Searchingnya.
Mbah Google hadir disetiap sendi kehidupan. Tinggal bilang Hallo Google,
maka seluruh pengetahuan, dan makna akan tuhan serta kehidupan akan
membentang luas dari sabang sampai merauke.
Kini para
pengikut agama tersebut sudah tidak perlu repot-reot membaca Al Qur’an
dan menelaahnya. Mereka tidak perlu mempelajari Nahwu Sorof. Mereka
tidak perlu mempelajari tafsir. Membaca kitab Al Hikam. Melakukan
perbandingan antara ajaran satu Ulama dan ulama lain. Menimbang tafsir
Al Qur’an. Mempelajari ikhwal turunnya surat tersebut. Cukup bilang hallo google. Semua permasalahan terjawab.
Kita ingin
mengetahui seperti apakah tuhan. Mbah Google menjawab. Kita ingin
mengetahui agama apa yang paling benar? Mbah Google menjawab. Kita ingin
mengetahui apakah ini haram atau halal? Mbah Google kembali menjawab.
Kita ingin mengetahui apakah kita harus memilih pemimpin muslim atau non
muslim? Mbah Google menyajikan jawaban. Mbah Google is the best!
Maka, di sana.
Sebuah buku dengan isi 30 juz itu semakin terabaikan. Dari menjawab
persoalan. Belajar, berdebat, dan sebagainya. Mbah Google adalah rujukan
pertama. Mbah Google telah menyajikan kemudahan itu. Jika ada yang
mudah, kenapa harus pilih yang sulit?
Untuk mengerti
Al Qur’an. Kita harus mempelajari ilmu Nahwu. Harus mengerti tafsir.
Mondok puluhan tahun. Baru kita mengerti syariat, makrifat, tarikat, dan
hakikat. Tapi dengan adanya Mbah Google. Kita bisa menghemat puluhan
tahun dan puluhan juta uang kita. Dengan waktu lima menit. Kita akan
mengetahui makna syariat, makrifat, tarikat, dan hakikat. Instan! Itulah
semboyan kita dalam beragama saat ini.
Maka tidak
heran jika belakangan banyak muncul argumen-argumen ngaco dari beberapa
netizen. Terkesan ilmiah. Hebat. Seperti telah mengaji, dan memahami Al
Qur’an belasan tahun. Padahal cuma hallo google, lalu copy paste, share.
Selesai. Mudah sekali dalam beragama. Saking mudahnya, kini muncul
beragam agama. Muncul beragam aliran. Ada aliran bumi datar, pisang
tegang, dan sebagainya.
Menggunakan Al
Qur’an sebagai rujukan? Hahahahaha. Ke laut aja. Kita akan menggunakan
Al Qur’an, nanti. Sebagai alternatif terakhir. Jika ketika nanti Mbah
Google sudah tidak dapat menjawab. Al Qur’an adalah rujukan terakhir.
Paling akhir. Hanya ketika kita sebagai pengikut agama, sudah waras.
nice artikel mas
BalasHapus