Permasalahan “Arab” dan “Non Arab”
belakangan menjadi isu yang hangat di tengah banyaknya permasalahan yang
dihadapi bangsa belakangan ini. Ada kubu yang Pro dengan ke
Arab-araban, lalu kemudian selalu memuji dan memuja segala hal yang
berkaitan dengan sesuatu yang berbau “Arab” dan mengaitkan nya dengan
ajaran Islam. Ada pula kubu yang kontra “Arab”, lalu kemudian membenci
segala hal yang berkaitan dengan “Arab”, entah itu tradisi, kebudayaan,
cara berpakaian, dll.
Mereka yang Pro “Arab”, seringkali
menganggap orang-orang yang tidak mengikuti segala hal yang berbau
“Arab” adalah orang yang juga membeci Islam. Begitu pula sebaliknya,
mereka yang Kontra “ Arab” juga menganggap mereka yang terlalu
mengaggung-agungkan “Arabi” adalah orang-orang yang terlalu kaku, dalam
memahami agama secara berlebihan dan selalu mengaitkan Islam dengan
Arab.
Dalam Islam semua orang dipandang sama,
apapun ras, suku dan warna kulitnya, adalah salah jika kemudian ketika
kita menganggap ras atau suku yang satu dan lain nya, lebih baik
keislaman nya dibanding yang lain nya. Begitu pula ketika berbicara
tentang “Arab”, sebagian dari kita memang meyakini, bahwa Islam selalu
identik dengan “Arab”, tapi yakinlah sesungguhnya Islam bukanlah “Arab”.
Rasul bersabda:
“Tidak ada kelebihan orang Arab atas
orang Ajam(bangsa non Arab), dan tidak pula orang berkulit putih atas
orang berkulit hitam, kecuali dengan taqwa”.
Dalam rentang sejarah Islam yang sudah
lebih dari 1400 tahun membuktikan bahwa isi hadits tersebut benar
adanya. Bahkan lebih jauh lagi, empat orang dari enam orang Imam besar
ahli Hadits yang buku-buku kompilasi Hadits mereka (Kutubus Sittah, Buku
induk yang Enam, yaitu Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Turmudzi,
Sunan Abu Dawud, Sunan An Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah) hingga kini
masih dijadikan rujukan utama dalam mempelajari sumber-sumber Islam,
ternyata bukanlah orang-orang Arab.
Imam Bukhari berasal dari Bukhara,
Uzbekistan. Imam Muslim berasal dari Tashkent, Uzbekistan. Imam Turmudzi
berasal dari Termez, Uzbekistan. Imam An Nasa’i berasal dari Khorasan,
Iran. Bahkan ulama ahli hadits kontemporer, Syaikh Nashiruddin Al
Albani, berasal dari Albania.
Dulu Almarhum Gusdur pernah berkata “Kita ini sebenarnya orang Islam yang (kebetulan) hidup di Indonesia ataukah orang Indonesia yang kebetulan beragama Islam?”
Yakinlah, menjadi Muslim tidak harus Arab.
Dengan budaya lokal sekalipun, seseorang bisa menjadi Muslim sejati.
Maka adalah salah besar jika kemudian ada yang berpandangan, demi
menjaga kemurnian ajaran Islam, penganut Islam di Indonesia, atau di
manapun berada diharuskan meniru “Islam masa Rasulullah”, dan bukan
mengikuti “Islamnya Rasulullah”. Jika yang model seperti ini yang
diikuti, maka yang akan terjadi adalah Arabisasi, bukan Islamisasi.
Sebagai contoh, dalam hal berpakaian, kita
diwajibkan untuk menutup aurat. Tidak pernah ada ajaran yang mewajibkan
kita unntuk memakai gamis, dan pakaian tradisional Arab lainnya. Toh
dengan memakai sarung dan baju batik pun kita telah memenuhi kriteria
menutup aurat. Sehingga muncul pula istilah orang-orang yang memahami
Islam secara kontekstual. Islam yang di sesuaikan dengan budaya lokal,
Islam yang terakulturasi dengan budaya setempat, selama tidak
bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya.
Akan tetapi, walaupun demikian di sisi
lain, banyak pula ajaran Islam yang memang tidak bisa dipisahkan dengan
dunia Arab, di mana tempat Agama ini diturunkan. Bagaimana pun kita
harus mengakui pula, kitab suci yang menjadi sumber ajaran dalam Islam
juga berbahasa Arab. Begitu pula kewajiban berhaji, dan yang lainnya.
Kita pun kemudian diajarkan untuk menghargai, bahkan mencintai bangsa Arab, seperti sabda Nabi Muhammad SAW sendiri :
“Cintailah oleh kamu akan Arab karena
tiga hal (dalam riwayat lain, Jagalah hak-hak ku melalui Arab karena
tiga hal) : pertama, karena aku orang Arab, kedua Alquran berbahasa Arab
dan ketiga pembicaraan ahli surga dengan bahasa Arab”
Namun, kecintaan dan penghargaan ini bukan berarti kita taklid
seratus persen terhadap apa-apa yang dibawa oleh orang-orang Arab. Kita
mesti memisahkan yang mana ajaran Islam, dan mana pula yang hanya
sekedar budaya Arab.
Kita sebagai muslim harus mengikuti ajaran Islam, tapi tidak wajib untuk mengikuti budaya Arab.
0 komentar:
Posting Komentar