ilustrasi |
JAKARTA — Sudah bukan rahasia lagi bahwa berita palsu alias hoax merajalela di ranah digital Tanah Air. Jalurnya bisa berupa situs online, media sosial, hingga chatting di aplikasi pesan instan.
Kenapa orang Indonesia getol menyebarkan hoax? Ketua Masyarakat Indonesia Anti Hoax Septiaji Eko Nugroho mengutarakan bahwa sebabnya mungkin berkaitan dengan penggunaan teknologi yang tidak dibarengi dengan budaya kritis melihat persoalan.
"Kita itu termasuk lima besar pengguna smartphone dunia, tapi tingkat literasinya kedua terbawah setelah Botswana di Afrika," ujar Septiaji ketika berbicara dalam deklarasi Masyarakat Anti Hoax di Jakarta, Minggu (8/1/2017).
Septiaji mengacu pada hasil riset World's Most Literate Nation yang dipublikasikan pertengahan tahun lalu. Dari 61 negara yang dilibatkan dalam studi tersebut, Indonesia memang menempati urutan ke-60 soal minat baca masyarakatnya.
Walhasil, menurut Septiaji, masyarakat pengguna internet di Indonesia cenderung suka menyebarkan informasi ke orang lain tanpa lebih dulu memeriksa kebenarannya.
"Banyak orang merasa hebat kalau jadi yang pertama menyebarkan informasi, entah benar atau tidak," keluhnya.
Senada dengan Septiaji, akademisi dan intelektual Muslim Komarudin Hidayat menyayangkan sikap sebagian orang yang menurut dia lebih senang ngerumpi ketimbang membaca.
"Orang ingin jadi yang pertama (menyebar informasi), mencari sensasi, berlomba-lomba menikmati kesenangan dalam kebohongan," kata Komarudin.
Padahal, lanjut dia, hoax adalah hal berbahaya yang akibatnya bisa sangat merugikan bagi pihak yang menjadi korban, mulai dari kehilangan reputasi, materi, bahkan juga bisa mengancam nyawa. Komarudin menyamakan bahaya hoax yang adiktif dengan narkoba.
Dia mengatakan bahwa penyebaran hoax saat ini jauh lebih masif lantaran didorong oleh media sosial. Di internet, penyebar hoax merasa "aman" karena tidak berhadapan langsung dengan pihak lain yang dijadikan sasaran hoax.
Untuk mencegah akibat buruk yang ditimbulkan hoax, Komarudin mengimbau masyarakat akan bersikap lebih kritis dalam menjumpai informasi yang dijumpai di internet, entah lewat situs online, medsos, ataupun pesan chatting.
"Periksa kebenarannya terlebih dahulu," ujar Komarudin. "Kalau tidak jelas, stop. Kalau jahat, jangan ikut-ikutan."
0 komentar:
Posting Komentar