Kasihan sekali Fahri Hamzah, makin lama
makin banyak logikanya yang terbalik-balik. Nalarnya makin menjauh dari
alur berpikir normal, yang lazim. Hal ini sangat kentara pada
komentarnya terhadap kasus E-KTP yang tengah ditangani KPK, yang
melibatkan puluhan anggota DPR dan Mendagri sebelumnya, Gamawan Fauzi.
Mari kita telaah satu persatu dengan
menganalisis pernyataan Fahri. Dengan diprosesnya dua terdakwa dalam
kasus tersebut, yakni Sugiharto, mantan mantan Direktur Pengelola
Informasi Administrasi Kependudukan, Direktorat Jenderal Kependudukan
dan Pencatatan Sipil Kemendagri dan Irman, mantan Direktur Jenderal
Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Fahri bilang ketua KPK, Agus
Rahardjo, harus mundur.
Alasanya, Agus memiliki konflik kepentingan (conflict of Intertest)
atas kasus tersebut. Sebagai mantan Ketua Lembaga Pengkajian dan
Pengadaan Barang dan Jasa dengan Kementerian Dalam Negeri, Agus sangat
paham proyek E-KTP. Pada masa itu, kasus-KTP telah audit oleh BPK dan
dinyatakan bebas dari korupsi. Menurut Fahri, hal itu aneh. Setelah
diaudit dan dinyatakan bersih oleh BPK, malahan dijadikan kasus korupsi
setelah Agus menjadi ketua KPK.
Dengan cara berpikir itu, ada setidaknya empat alur pikir Fahri yang terbalik. Pertama,
kalau Agus Rahardjo punya kepentingan, katakanlah ia turut korupsi
misalnya, seharusnya ia berusaha keras memendam kasus itu. Ia tidak akan
mengutak-utiknya lagi karena dia sendiri akan terjerat bersama para
terdakwa dan calon terdakwa dari anggota DPR RI. Ini artinya, Agus
membuka kasus itu karena tidak memiliki benturan kepentingan. Terbalik
‘kan?
Kedua, jika Agus turut
terjerat, sudah pasti beliau akan dicopot dari posisinya sebagai ketua
KPK. Ini bisa menimbulkan banyak efek. Karirnya bisa tamat, keluarganya
turut menanggung malu, dan sebagainya. Orang waras, yang punya
kepentingan, tentu tidak akan melakukan hal seperti itu. Ini artinya,
Fahri seolah menyuruh Agus Rahardjo agar mengubah dirinya menjadi orang
yang tak waras. Aneh ‘kan?
Ketiga, menyuruh Agus
mundur dari posisi ketua KPK karena menangani kasus yang melibatkan
dirinya jelas terbalik. Semestinya, permintaan itu disampaikan Fahri
apabila Agus terlibat dan terus menghalang-halangi penanganan kasus
korupsi E-KTP. Bila keadaannya demikian, barulah nalar Fahri kena. Nah,
terbaik lagi nalarnya, bukan?
Keempat, dengan sangat
pahamnya permainan banyak pihak pada proyek E-KTP, makaya Agus merasa
perlu bertindak. Kalau tak paham, mana mungkin ia bongkar. Keberatan
Fahri di sini, sudah diperksa BPK dan dinyatakan bersih. Tidak ada
korupsi. Menurut dia, Agus mestinya diam saja. Fahri tidak mau paham
bahwa Agus punya tanggung jawab untuk menunjukkan kepada publik, bahwa
hasil kerja BPK tidak otomatis sempurna. Terkadang ada lobang yang BPK
tidak paham atau malahan dianggap enteng.
Boleh jadi juga Agus sudah menegur hal
yang dianggap enteng itu pada saat itu. Cuma, suaranya tak terdengar.
Tenggelam pada hiruk pikuknya kerak-kersek bunyi lembaran-lembaran
rupiah dan dolar. Inilah yang tak mau dipahami Fahri. Dengan
keberatannya yang amat tinggi atas kerja Agus, secara tak langsung ia
menunjukkan bahwa ada kepentingannya yang terganggu dalam pembongkaran
kasus tersebut. Ini sebetulnya yang perlu dijelaskan kepada publik. Nah !
Kalau nalarnya jalan, semestinya yang
dilakukan Fahri menyuruh mundur semua anggota DPR yang disebut-sebut
terlibat seperti disarankan oleh Donal Fariz,
Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW. Tapi ini, tidak dilakukan
Fahri. Malahan terkesan membela teman-temannya yang diduga terlibat.
Jelas aneh ‘kan?
Makna kekagetan Jokowi
Lebih aneh lagi adalah penafsirannya
terhadap rasa kaget Presiden Jokowi ketika Fahri menceritakan apa yang
diketahuinya mengenai kasus E-KTP. Dikatakannya, Jokowi kaget.
“Banyak yang Presiden itu belum tahu, belum mendapatkan laporan
rupanya, jadi dia kaget juga dengan keterangan yang saya sampaikan itu,”
ujarnya.
Fahri juga tampak sangat gembira melihat
respons Jokowi mengenai gagasannya mengadakan hak angket atas kasus
tersebut. Dia bilang Jokowi tidak memermasalahkan. “Ya, beliau kan
Presiden semakin terang makin positif aja melihatnya. Jadi tidak ada
masalah,” tuturnya kepada media.
Membaca tanggapan Fahri tersebut orang
makin tak mengerti jalan pikiran Fahri. Rasa kaget hanya dimaknai sama
dengan harapannya. Sama sekali dia tidak berpikir bahwa rasa kaget
Jokowi bisa beragam. Bisa berarti bahwa Jokowi kaget mengetahui
terbalik-baliknya logika Fahri. Jokowi kaget karena makin paham bahwa
pengertian Fahri atas apa yang disebutnya sebagai conflict of Interest
seperti siang dan malam. Jokowi kaget karena paham bahwa gagasan
pengadaan hak angket yang diusulkan Fahri makin memerlihatkan
ketakpahamnya tentang hak angket.
Jika dibahasakan secara lugas, rasa kaget
Jokowi mungkin berarti begini: Fahri, anda itu wakil ketua DPR RI, tapi
cara berpikirmu terbalik. Kalau Agus Rahardjo terlibat semestinya bukan
membuka kasus itu, tapi menguburkannya dalam-dalam di bawah permukaan
bumi kesadaran orang.
Mungkin juga Jokowi bilang, Fahri saya
kaget karena kamu sepertinya kebakaran jenggot bila kasus E-KTP dibuka
kepada publik. Mestinya kamu itu bersyukur dan mendukung. Bukannya
menentang. Ada apa denganmu sebenarnya Fahri, sehingga anda mati-matian
menghalangi pembongkaran perampokan uang rakyat?
Atau mungkin Jokowi berkata: Fahri jangan
bingung kalau anggota DPR atau siapa pun pelaku korupsi dibongkar KPK.
Itu tugas mereka. Itu yang saya janjikan dulu ketika saya kampanye. Saya
tidak mau berhenti pada orasi. Tapi harus sampai pada aksi. Saya terus
berjuang agar uang rakyat hanya digunakan untuk membangun kepentingan
rakyat. Bukan yang lain! Oleh sebab itu, kita harus terus kerja, kerja,
dan kerja! Bukan orasi, orasi, dan orasi! ***
0 komentar:
Posting Komentar