Sudah beberapa tahun ini kita disajikan
berbagai macam spanduk berisikan pesan-pesan provokasi. Di banyak tempat
di Jakarta, spanduk-spanduk yang berisi seolah-olah pesan keagamaan,
menjadi pemandangan sehari-hari di kompleks perumahan, dekat masjid,
dekat gereja atau di jalan-jalan. Tidak bisa dipungkiri, pesan-pesan
tersebut membawa-bawa agama tertentu. Seringkali, pesan provokasi
tersebut dibungkus dengan bahasa yang lebih halus dan dengan pintarnya,
menggunakan jargon-jargon nasionalisme.
Bukan tidak sedikit orang di awal-awal
spanduk-spanduk itu naik menjadi risih, terganggu, dan malu. Bayangkan
kalau pesan-pesan itu dibaca client dari luar negeri, atau
kawan kita tahu agama kitalah yang membawa pesan itu. Rasanya agak risih
juga untuk orang-orang yang mengaku ‘waras’. Meskipun dengan berusaha
santai akan berkata, “Agamaku tidak seperti itu. Itu sih garis keras.
Heran juga dengan orang-orang itu, kok ada banyak ya pengikutnya?”.
Membaca pesan-pesan provokasi di spanduk-spanduk itu tidak bisa merubah mindset saat itu juga, atau seminggu kemudian, atau sebulan kemudian. Itu adalah pesan softsell
atau pesan jangka panjang. Pesan itu tidak diharapkan dimengerti untuk
saat ini. Namun dengan berjalannya waktu, pesan itu akan tertanam secara
perlahan di benak kita dan kita menjadi terbiasa dengan pesan-pesan
provokasi tersebut, kemudian secara tidak sadar, kita ikut
menyetujuinya.
Di awal-awal melihat pesan-pesan tersebut,
seperti kebanyakan orang waras lainnya, mereka mengira, takkan ada
seorang pun yang akan terpengaruh atas pesan-pesan provokasi tersebut.
Mereka melihat, melewati, melupakan. Kadang-kadang berusaha meng-upload nya di media sosial sebagai bagian dari tanggungjawab sosial. Beberapa orang akan bereaksi, komen, akhirnya kembali melupakan.
Dalam dunia pemasaran, ada yang disebut dengan softsell dan hardsell. Pada pesan hardsell diharapkan
bisa memberikan reaksi spontan. Seperti misalnya, “Beli satu dapat
satu”, “Diskon 50%”, atau “Harga naik minggu depan”. Melalui pesan-pesan
tersebut, kita diharapkan untuk langsung melakukan tindakan, karena
kalau terlambat, tidak akan kebagian. Call to action-nya sangat kuat. Biasanya menggunakan kata-kata: “Beli Sekarang”, “Hanya Hari Ini”, dan sebagainya. Namun berbeda dengan pesan softsell. Pesan softsell sangat
halus dan berumur sangat panjang. Contohnya adalah produk Aqua. Sangat
lama Aqua mendidik konsumennya akan air sehat yang praktis setiap saat.
Puluhan tahun dihabiskan Aqua untuk memasukkan pesan-pesan tersebut.
Hari ini bisa kita lihat hasilnya. Setiap kali kita beli air mineral,
kita pasti bilang : Ada Aqua? Padahal yang diberikan ke kita adalah merk
lain. Itulah contoh kekuatan pesan softsell. Pesan softsell tertanam sangat dalam di benak kita dan menjadi bagian dari keseharian kita.
Hal ini berlaku juga untuk spanduk-spanduk
berisi pesan provokasi. Contoh pesan spanduk seperti Tolak
Kriminalisasi Ulama dan sejenisnya adalah spanduk-spanduk yang biasa
kita lihat di sekitar jalan-jalan masuk perumahan kelas menengah ke
bawah. Pesan-pesan itu hampir kita bisa temui di ujung-ujung gang atau
jalan raya ke rumah-rumah penduduk. Siapa yang paling banyak
menghabiskan waktu di kompleks perumahan tersebut? Anak-anak dan remaja.
Mereka adalah generasi yang disasar.
Spanduk provokasi berisi pesan-pesan provokasi tidak diharapkan untuk memberikan reaksi instant
dari orang-orang yang melihatnya. Tapi itu adalah pesan jangka panjang.
Dengan melihat pesan-pesan provokasi tersebut setiap hari, kita akan
terbiasa dengan pesan-pesan berisi kata-kata kasar dan provokasi.
Mula-mula kita menganggap kata-kata itu keterlaluan, tapi setelah
melihatnya sepuluh, dua puluh, tiga puluh kali, kita akan terbiasa. Kita
menjadi imune. Secara tidak langsung, sangat perlahan, tapi
pasti, pesan tersebut tertanam dalam pikiran kita, dalam benak kita.
Sekali, sepuluh kali, dua puluh kali, kita tidak merasakannya. Namun,
setelah sekian puluh kali melihat pesan tersebut, kita jadi menganggap,
barangkali pesan tersebut benar adanya. Barangkali, kita bisa
pertimbangkan kebenarannya. Barangkali, cuma kita yang terganggu.
Buktinya, spanduk-spanduk provokasi itu aman-aman saja di tempat itu,
bahkan semakin banyak di tempat-tempat lain.
Jangan menganggap remeh keberadaan
spanduk-spanduk provokasi. Banyak anak-anak, banyak remaja, banyak
pemuda-pemudi yang baru tumbuh, jadi terbiasa dengan pesan-pesan
terrsebut. Mereka tumbuh dengan pesan-pesan provokasi tersebut, dan
lama-lama mereka akan menganggap pesan-pesan tersebut adalah hal yang
normal. Pesan-pesan provokasi itu adalah bagian dari bentuk cuci otak
jangka panjang.
Akhir-akhir ini kita melihat bahwa
regenerasi di ormas-ormas radikal adalah anak-anak muda usia menjelang
dua puluhan. Mereka tumbuh karena terbiasa dengan ujaran-ujaran
kebencian. Mereka telah menganggap bahwa ujaran-ujaran tersebut adalah
hal yang lumrah.
Ini adalah perang softsell. Siapa
pun aktor di balik pesan-pesan provokasi itu adalah seorang yang
jenius. Ia seorang yang sangat sabar. Ia seorang pemain yang tenang dan
tidak terburu-buru. Ia tahu, suatu hari nanti, akan lahir generasi baru
yang mudah digerakkan untuk kepentingannya.
0 komentar:
Posting Komentar