“Assalammualaikum warahmatullahi wabarakatuh,” terdengar suara dari pengeras suara musholah yang tak jauh dari rumah Cang Kosim.
“Kayanya ada pengumuman penting tuh,
Bang,” tutur Cing Farida, istri Cang Kosim yang saat itu sedang menemani
Cang Kosim minum kopi di pagi hari di teras rumahnya.
“Kayanya sih, iya,” kata Cang Kosim.
“Innalillahi wainnalillahi roji’un.
Telah meninggal dunia, Sarip Bin Kapri, umur 56 tahun. Meninggal dunia
pada tanggal 10 Maret 2017. Jenazah disemayamkan di kediaman di Rt 002
Rw 09. Wassalammualaikum warahmatullahi wabarakatuh,” begitu suara pengumuman dari mushola ditutup.
“Si Sarip bukannya udah lama sakit, Da?” tanya Cang Kosim kepada istrinya.
“Kemaren gua ketemu istrinya. Memang sejak
pencoblosan Pilkada putaran pertama dia gak keluar rumah lagi.
Kerjannya aja udah ditinggalain, Bang. Tapi katanya sih sempat sembuh,
Bang,” ujar istri Cang Kosim.
“Udah umurnya, Da. Nanti kita ke sana ya. Nyelawat,” tutur Cang Kosim.
Cang Kosim beranjak dari kursinya menuju
kamar untuk ganti pakaian. Sementara itu, Cing Farida membereskan gelas
dan piring di atas meja. Tak lama kemudian dia membawanya ke ke dapur.
Selesai urusan dapur pun dia menuju kamar untuk berganti pakaian.
“Bang, kira-kira waktu Pilkada kemaren si Sarip milih siapa ya?” tanya Cing Farida.
“Mana gua tahu. Itu kan tahu cuma dia doang yang tahu. Emang kenapa?” Cang Kosim balik bertanya.
“Gua takut dia milih paslon yang baju kotak-kotak, Bang,” ujar Cing Farida agak kuatir.
“Lha…. Emangnya kenapa?” tanya Cing Kosim.
“Memangnya Abang gak tahu. Di musholah Rt
02 ada spanduk tuh. Tulisannya musholah ini tidak mensholatkan jenazah
pendukung dan pembela penista agama. Paslon kotak-kotak kan cagubnya
lagi sidang penistaan agama,” Cing Farida mencoba menjelaskan kepada
Cang Kosim.
“Waduh….. Kok bisa ada spanduk begitu ya? Siapa yang pasang?” tanya Cang Kosim.
“Gak tahu gua, Bang. Tapi waktu gua ke
pasar kemaren, pas lewat situ udah ada tuh spanduk. Pastinya pengurus
musholah tahu dong siapa yang pasang,” tutur Cing Farida.
“Bisa panjang urusannya kalau begini. Ntar
gua coba cari tahu. Masa orang meninggal karena beda pilihan aja gak
boleh disholatin di musholah. Itu mah udah keterlaluan,” ujar Cang
Kosim.
“Ya udah Bang, ayo kita berangkat,” ajak Cing Farida melihat Cang Kosim sudah siap.
Dengan menggunakan sepeda motor Cang Kosim
dan Cing Farida berboncengan menuju rumah Sarip di Rt 02. Sepanjang
jalan yang dilaluinya, tak terlihat orang menuju rumah duka. Hanya
satu-dua orang saja yang terlihat. Begitu juga ketika memasuki jalan
menuju rumah Sarip. Yang terlihat hanya bendera kuning sebagai tanda
kalau ada yang meninggal dunia.
Tepat di depan musholah An-Nur, Cang Kosim
menghentikan laju motornya. Dilihatnya spanduk berwarna hijau dengan
tulisan warna merah dan kuning menyala. “Musholah Ini Tidak Mensholatkan
Jenazah Pendukung dan Pembela Penista Agama”. Begitu jelas tulisan itu
terbaca.
“Ini gak bisa dibiarin,” ujar Cang Kosim
dalam hati, sambil melanjutkan perjalanannya menuju rumah Sarip yang
berjarak empat rumah dari musholah.
Sampai di rumah Sarip, Cang Kosim merasa
heran. Rumah duka terlihat sepi sekali. Hanya terlihat kerabat Sarip
saja. Sedangkan tetangga sekitar rumah Sarip tak banyak yang terlihat.
Padahal, kediaman Sarip terletak di pemukiman yang padat penduduk. Juga
hari ini adalah hari libur.
“Assalammualaikum,” ujar Cang Kosim ketika memasuki halaman rumah Sarip yang diikuti Cing Farida di belakangnya.
“Waalaikumsalam Cang,” jawab beberapa orang yang ada di rumah duka.
Cang Kosim dan Cing Farida masuk ke
ruangan tempat jenazah Sarip dibaringkan. Di atas lantai beralaskan
karpet warna hijau jelanazah Sarip diletakkan. Tubuh kaku Sarip
ditutupin kain batik serta bagian atasnya kain berwarna putih. Istri dan
dua orang anak Sarip yang sudah remaja nampak mendampingi di sisi kiri
jenazah.
“Saya turut berduka-cita ya Bu,” ujar Cang
Kosim sambil menyalami istri dan kedua anak Sarip seusai dia berdo’a di
hadapan jenazah Sarip. Hal yang sama juga dilakukan oleh Cing Farida.
“Makasih Cang sama Cing yang udah mau datang,” ujar Tuti, istri Sarip dengan suara yang agak parau.
Cang Kosim dan Cing Farida pun beranjak ke
luar ruangan. Dia kemudian duduk di kursi yang tersedia di halaman
rumah. Dalam hati dia terus bertanya-tanya, kenapa tak banyak warga yang
datang. Ada apa gerangan? Pertanyaan itu terus berkecamuk dalam hati
Cang Kosim. Apa ada hubungannya dengan spanduk di mushola tadi? Atau
benar yang dikatakan istrinya soal pilihan dalam pilkada putaran pertama
lalu.
“Assalammualaikum, Cang,” Madi memberi salam dan membuyarkan lamunan Cang Kosim.
“Waalaikumsalam. Elu Di? Kok sepi ya?” tanya Cang Kosim sambil menjabat tangan Madi.
“Tadi ane udah kemari, Cang. Tapi karena sepi, ane balik kanan. Ane liat Cang Kosim ada. Ane mampir deh sekalian,” tutur Madi.
“Tetangga yang lain pada kemana ya?” tanya Cang kosim.
“Nah, itu dia Cang yang ane mau omongin.
Tadi ane coba ngecek ke pengurus musholah, ini masih ada hubungannya
sama spanduk dan coblosan pilkada kemaren Cang,” ujar Madi membuat
penasaran Cang Kosim.
“Coba jelasin ke gua, ada apa nih,” Cang Kosim semkin penasaran.
“Jadi begini, Cang. Menurut info yang ane
dapet, si Sarip nih waktu Pilkada kemaren coblos yang kotak-kotak, Cang.
Encang kan tahu sendiri gimana kondisi si kotak-kotak itu sekarang.
Karena ada himbauan berupa spanduk di musholah, warga jadi agak takut
mau ke rumah Sarip. Takut dikira pendukung kotak-kotak. Ujung-ujungnya
nanti kalau meninggal kagak disholatin sesuai himbauan di spanduk itu,
Cang,” tutur Madi.
“Gak bisa kaya gitu juga. Musholah kan
tempat ibadah. Terbuka buat semua muslim. Bukan tempat politik. Siapa
saja yang meninggal boleh disholatin di musholah. Gak pakai milih-milih.
Dosa kita kalau gak sholatin. Lagian, memang siapa yang tahu jelas
kalau si Sarip milih kotak-kotak? Ada yang bisa jadi saksi? Kalau pun
ada, apa salahnya milih sih kotak-kotak. Ini soal pilihan, bukan soal
agama,” ujar Cang Kosim sedikit agak emosi.
“Iya juga sih, Cang. Jadi gimana dong?” Madi bertanya.
“Sekarang, lu panggil pengurus musholah,
juga Ustad Rofik yang sering jadi Imam di musholah. Kita kumpul di sini.
Kita tuntasin semua. Kasihan si Sarip. Masa kita diemin begini aja. Ada
kewajiban kita untuk ngurus dia,” tutur Cang Kosim.
“Ane telepon aja ya satu-satu, Cang,” ujar
Madi. Dia pun langsung mengambil telepon gengamnya dari saku bajunya.
Ditelepon satu pe satu orang-orang yang dimaksud Cang Kosim.
“Udah lu kontak semua?” tanya Cang Kosim melihat Madi memasukkan kembali teleponnya ke dalam saku.
“Sudah Cang. Mereka semua mau datang,” jawab Madi.
Keduanya kemudian ngobrol-ngobrol dengan keluarga Sarip lainnya yang ada rumah duka.
“Saya heran sama warga di sini. Kenapa
nuduh Sarip memilih kotak-kotak waktu coblosan kemaren,” tutur Supri,
kakak kandung Sarip memulai obrolan dengan Cang Kosim dan Madi.
“Itu dia yang mau dicari tahu. Tuduhan itu
bener gak? Kalau pun bener, gak ada hubungannya sama sholatin jenazah,”
ujar Cang Kosim.
“Iya Cang. Adik saya ini sejak remaja udah
tinggal di sini. Masa sekarang diakhir hidupnya diperlakukan seperti
ini. Jelas ini tidak adil, Cang,” tutur Supri dengan nada protes.
“Ente sabar aja. Tadi Madi udah telapon
pengurus musholah sama Ustad Rofik untuk ke sini. Nanti kita beresin
deh. Ada apa sebenarnya,” tutur Cang Kosim mencoba meredakan emosi
Supri.
Tak lama kemudian Ustad Rofik dan dua
orang pengurus musholah datang bersamaan. Ada ketegangan terlihat di
wajah mereka. Jalannya pun agak tergesa-gesa. Cang Kosim yang melihat
mereka datang berusaha menenangkan diri. Dia tidak mau terjadi debat
kusir yang panjang dalam menuntaskan masalah ini.
“Assalammualaikum,” ujar Ustad Rofik memberi salam.
“Waalaikum salam,” jawab Cang Kosim dan beberapa orang yang hadir di rumah Sarip.
“Gimana ini Ustad. Katanya gak ada yang
mau memandikan dan mensholatkan si Sarip? Apa salahnya si Sarip, Tad?”
tanya Cang Kosim kepada Ustad Rofik setelah agak sedikit tenang.
“Ini sebenernya karena ada yang pasang
spanduk di musholah, Cang Kosim,” ujar Mali, salah satu pengurus
musholah An-Nur yang datang ke kediaman Sarip.
“Sudah tiga hari lalu spanduk itu terpasang,” Yayat, pengurus musholah lainnya menimpali.
“Siapa yang pasang?” tanya Cang Kosim.
“Ada warga yang memberikan spanduk itu. Dia minta supaya dipasang di musholah,” jawab Mali.
“Pengurus musholah tahu gak kenapa itu harus dipasang? Ngerti gak maksudnya isi spanduk itu?” tanya Cang Kosim lebih lanjut.
“Jama’ah musholah kan banyak yang sering ikutan aksi Bela Islam, Cang. Jadi kita ikut aja maunya jama’ah,” tutur Ustad Rofik.
“Si Sarip, jama’ah musholah An-Nur bukan?” Cang Kosim bertanya lagi.
“Dari masih remaja dia udah jadi jama’ah, Cang,” jawab Mali.
“Nah, udah tahu dari remaja dia udah di
musholah, kenapa sekarang jenazahnya gak ada yang mau ngurusin. Ada yang
bisa jelasi ke gua gak nih persoalan ini?” tanya Cang Kosim dengan
suara agak meninggi.
Ustad Rofik, Mali dan Yayat hanya terdiam. Belum ada jawaban dari mereka. Suasana pun menjadi hening. Semuanya tertunduk.
“Si Sarip kan waktu coblosan milih kotak-kotak, Cang,” Yayat mencoba menjawab dengan suara agak tertahan.
“Lu yakin si Sarip milih kotak-kotak?
Memangnya lu liat waktu dia nyoblos di bilik suara?” tanya Cang Kosim
lagi, terlihat lebih emosi.
“Gak sih Cang,” jawab Yayat.
“Apa yang bisa membuktikan dia milih
kotak-kotak? Ada yang punya bukti gak? Apa pernah ada yang liat dia
kampanye buat si kotak-kotak? Tolong kasih penjelasan yang logis buat
gua soal ini,” tanya Cang Kosim.
“Memang sih Cang, si Sarip gak pernah
kampanye buat kotak-kotak. Kalau lagi ngumpul sama warga aja, gak pernah
ngomong soal pilkada,” tutur Ustad Rofik.
“Nah udah jelas kan semuanya. Gak ada
bukti soal tuduhan ke Sarip. Kalau pun ternyata Sarip milih kotak-kotak,
apa dasarnya kita tidak mengurus jenazahnya? Kalau satu kampung ini gak
ada yang memandikan dan menshotkan jenazah Sarip, kita semua dosa. Gua
rasa Ustad Rofik lebih tahu soal ini,” tutur Cang Kosim dengan suara
meledak-ledak.
Semuanya terdiam. Maklumlah, selain calon
ketua RW, Cang Kosim merupakan tokoh yang sangat disegani di kampung
Apus. Nenek moyang Cang Kosim asli dari kampung Apus. Jadi, suara Cang
Kosim sangat didengar oleh warga.
“Kalau pun Sarip milih kotak-kotak,
salahnya di mana? Dosanya di mana? Kalau dosa biarkan jadi urusan Sarip
sama Allah. Kita jangan ikut-ikutan jadi Tuhan. Jadi, jangan merasa diri
kita paling benar. Gampang aja kita nuduh orang berdosa, nuduh kafir,
nuduh munafik. Tapi kita lupa, bahwa kita juga mungkin lebih banyak
dosanya,” Cang Kosim bicara panjang lebih.
“Jadi gimana enaknya, Cang?” tanya Mali agak kikuk.
“Sekarang, kumpulin warga. Urus jenazah
Sarip sampai ke kuburan. Copot tuh spanduk di musholah. Jangan hanya
karena beda pilihan kita warga kampung Apus ini dipecah-belah. Jelas kan
semuanya,” tutur Cang Kosim.
“Iya Cang. Ya udah, kita umumin lagi di musholah,” ujar Yayat.
Yayat langsung menuju musholah. Pengumumam
kali ini ditambahin dengan pernyataan bahwa Sarip jenazahnya akan
diurus oleh pihak musholah dan warga boleh datang ke rumah duka.
Mendegar pengumumam itu, Cang Kosim
menjadi lega. Warga pun mulai berdatangan ke kediaman Sarip. Proses
pemakaman pun berlangsung berjalan dengan lancar. Cang Kosim kembali
tersenyum melihat warga kampung Apus kembali bersatu. Tidak lagi
tercerai-berai akibat spanduk.
0 komentar:
Posting Komentar