![](https://seword.com/wp-content/uploads/2017/03/Penguasa-Surga-300x218.jpg)
Orang-orang
sok benar itu perlu diingatkan kembali, demokrasi bukan (hanya) soal
pertarungan berebut kuasa. Demokasi hanya alat bagi warga untuk turut
berkontribusi dalam hal-ihwal bernegara. Pilkada pun hanya wahana
penyaluran gagasan-gagasan kaitannya dengan perbaikan kualitas hidup.
Siapapun yang terpilih (berkuasa) nantinya tak boleh melegitimasi
pemaksaan kehendak kelompok tanpa batas, mereka tak boleh bertindak
semaunya.
Pilkada adalah pesta demokrasi. Lazimnya
sebuah pesta, harusnya orang-orang yang terlibat diliputi kegembiraan,
bukannya saling sikut. Tapi yang terjadi, demokrasi hanya dilihat
sebagai sistem untuk meraih kuasa, begitulah penerjemahan para politisi
dalam berkompetisi. Padahal, dalam perspektif kemanusiaan yang lebih
luas, semua individu punya hak yang sama, suara-suara yang disetor
nilainya dihitung per kepala.
Sayangnya, gejolak Pilkada akhirnya tak
terkendali. Salah dan benar diukur pada kelompok mana anda berpihak.
Pilkada tidak lagi soal kompetisi untuk meraih kursi pemerintahan, apa
yang terlihat adalah pertarungan brutal nyaris tanpa batas.
Tanpa legitimasi kuasa pun, para kelompok
radikal dan barisan penganutnya telah memamerkan wajah sangar kekuasaan.
Ngeri membayangkan,jika kekuasaan betul-betul telah mereka dapatkan.
Ketika itu terjadi, demokrasi hanya akan menjadi alat bagi mereka untuk
berkuasa, lalu menendang siapapun yang berbeda dengan mereka.
Dekonstruksi religi
Bukan salah demokrasi ketika pertarungan
brutal terjadi. Sebuah implementasi praktek demokrasi yang sebenarnya
telah diprediksi oleh Max Weber, sebagai proses sosial yang makin buram.
Menurut Weber, gejala buram tersebut ditandai oleh masyarakat yang
seringkali tidak mampu memperkirakan secara jelas konsekuensi dari
tindakannya.
Kita menyaksikan segala urusan duniawi tak
ada yang luput dari urusan Pilkada. Bantuan uang, baju kaos, iklan di
televisi, kunjungan presiden, kedatangan Raja Salman, hingga cerita
asyik dalam gemerlap lampu Alexis, semuanya dimasukkan dalam daftar
kampanye negatif.
Pada tingkat yang lebih dramatis, tuduhan
munafik, sesat dan kafir telah mendekonstruksi makna kesucian religi.
Bahkan yang lebih ekstrim, kelompok radikal berani melangkahi kewenangan
Tuhan melalui doktrin satu-satunya kebenaran versi kelompoknya.
Khotbah-khotbah diteriakkan berbunyi tuduhan, fitnahan, dan makian
mengacaukan suasana khusyu majelis-majelis.
Kelompok radikal sudah jauh melampaui
batas. Mereka mengaku ber-Tuhan tapi dengan lantang mendelegitimasi
kewenangan Tuhan. Apa yang mereka khotbahkan sebenarnya jauh lebih
berbahaya dari apa yang kita saksikan. Mereka tidak mampu mengira
konsekuensi dari ucapan dan tindakannya.
Dan yang miris adalah upaya mengaitkannya
dengan persoalan akhirat. Sejak polemik Al-Maidah yang menggiring Ahok
menjalani rentetan persidangan dengan dakwaan penista agama, lalu
diikuti dengan kisah lainnya yang juga dikemas sebagai bingkisan
akhirat.
Memilih calon gubernur kini tak selesai
hanya pada persoalan duniawi. Dalih demi kepentingan akhirat,
potongan-potongan ayat diumbar dalam materi khutbah Jumat yang
ditafsirkan dalam bahasa makian dan nada kebencian yang berujung tuduhan
kafir.
Mencoba berkuasa di akhirat
Kisah drama politik Pilkada DKI kian buram
dengan upaya ‘menghadirkan’ alam akhirat di dunia fana. KH. Said Aghil
Siraj, Ketua PBNU tidak segan-segan menyebut kalau mereka telah begitu
lancang membawa Tuhan turut berkampanye. Setelah hampir dipastikan
mentalnya kasus penista agama, boikot Sari Roti pun tidak menghasilkan
simpatik sama sekali. Atas nama Tuhan, mereka mengeluarkan larangan
menshalatkan jenazah, larangan menerima bantuan untuk masjid, hingga
larangan berjodoh ke orang yang dikiranya telah berbuat nista. Mereka
benar-benar mencoba melegitimasi kekuasaan dunia dan akhirat. Mereka
telah menentang Tuhan.
Gejala ini terang membenarkan anggapan
Weber, bahwa masyarakat tidak mampu lagi, atau mungkin tidak peduli lagi
dengan implikasi tindakannya. Mengumbar tuduhan kafir jelas sebuah
tindakan fatal yang berpotensi merusak tatanan masyarakat. Tuduhan kafir
adalah sikap radikal yang menempatkan kelompok yang mereka sebut kafir
sebagai musuh yang harus dilenyapkan. Radikalisme nyata telah mewabah di
tengah masyarakat, yang jika dibiarkan akan menuyulut menjadi konflik
fisik yang mengerikan.
Kekuasaan memang menggiurkan, sebab dengan
berkuasa mereka dengan mudah memperoleh akses terhadap pemenuhan
keinginan-keinginan. Karenanya, perebutan kekuasaan selalu berlangsung
ketat dan tak jarang menghadirkan tragedi berdarah.
Saudara-saudara kita yang saat ini sedang
kalap, perlu diperingatkan, pantas ditegur agar segera menyadari, bahwa
kekuasaan yang dikiranya hendak digenggamnya, sebenarnya hanya ilusi
belaka. Dunia yang fana ini hanya fatamorgana.
Dan mencoba tetap berkuasa di akhirat adalah tindakan nyata penentangan terhadap Kekuasaan Tuhan.
0 komentar:
Posting Komentar