Tak penting apapun agama atau sukumu,
kalau kamu bisa melakukan sesuatu dengan baik untuk semua orang, orang
tidak pernah tanya apa agamamu-Gusdur,”
Tepat pada hari lebaran 2015, ada sebuah
intoleran yang terjadi di Indonesia. Sekelompok orang telah melakukan
tindakan inkonstitusional dengan membubarkan kegiatan shalat Ied di
Lapangan Koramil Karubaga, Tolikara, Papua. Tindakan brutal tersebut
diikuti dengan pembakaran sebuah mushala serta sejumlah rumah di sekitar
lokasi kejadian. Ternyata pengerusakan rumah ibadah di Indonesia tidak
berhenti sampai di sana. Gereja Baptis Indonesia Saman di Dusun Saman,
Desa Bangungharjo, Sewon, Bantul dibakar oleh orang tak dikenal dini
hari
.
Saya kira, aksi di Bantul merupakan
lanjutan aksi di Papua. Dalam kejadian ini saya mengkategorikan kalau
masyarakat termasuk kategori masyarakat yang reaksioner. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia reaksioner dapat diartikan sebagai bersifat
berlawanan dengan tindakan revolusioner. Tetapi, menurut sebenarnya saya
lebih setuju dengan arti reaksioner di Wikipedia, reaksioner adalah
sikap politik warga Negara yang serba aktif dan reaktif serta suka
menanggapi suatu keadaan. Beberapa tahun ini, ada banyak kejadian
intoleran yang terjadi di Indinesia.
Padahal dulu, ketika saya masih kecil,
saya tidak pernah menemukan konflik agama yang seperti ini. Bahkan di
tempat tinggal saya, ketika puasa kemarin umat kristiani sama-sama
melaksanakan puasa. Setiap pagi selama bulan puasa, saya tidak pernah
menghirup aroma masakan dari dapur tetangga saya yang beragama
kristiani. Ketika natal, tetangga saya yang berasal dari batak seangaja
membagikan makanan khas bataknya dengan mengganti dengan daging
ayam. Menelisik lebih jauh lagi tentang agama, riwayat Indonesia selaku
sebuah entitas nation state, secara historis bisa dikatakan
terlalu panjang. Indonesia masih berada dalam taraf awal. Akan tetapi,
tanpa disadari Indonesia saat ini memiliki pengaruh agama-agama dunia
yaitu, Indonesia adalah sebuah melting poe dan super markee.
Dahulu, agama dunia datang silih berganti.
Satu menggantikan yang lain. akan tetapi dalam arti tertentu juga ada
semacam pila amalgamasi. Baik dengan sesama impor, maupun antara agama
impor dengan tradisi agama lokal. Pola hubungan antar agama di masa
lalu, sangat dipengaruhi oleh politik stelsel dan politik keagamaan
pemerintah kolonial. Masing-masing dibiarkan dalam sebuah gubungan
antitesis, persaingan. Syakwasangka dan sikap ignoran ditunjang demi
kepentingan politik kolonial. Pemerintah kolonial melakukan politik
keagamaan yang hanya bersumbu pada dogma dan bukan pada etika. Bahkan
pada ajaran yang berlaku, bukan menitikberatkan pada prilaku.
Akibatnya, kehidupan agama bercorak
tertutup dan kehilangan inspirasi yang segar bagi umat dan masyarakat
untuk menuntut perbaikan nasib. Pada saat itu, agama boleh menjadi apa
saja, asalkan tidak menjadi agama pembebasan. Oleh elit penguasa
kolonial, komunikasi antar agama dikendalikan sedemikan rupa. Sehingga,
tidak berjalan secara bebas dan terbuka. Sejak abad 19, agama-agama
muncul dalam sebuah fase formatig yang ditandai oleh upaya untuk
merumuskan ajaran-ajaran dan pendidikan yang dirasa cicik dengan
tantangan yang muncul saat itu.
Terjalinnya hubungan dengan pusat-pusat
keagamaan di luar negeri menyebabkan munculnya gerakan purifikasi agama.
Ortodoksi menjadi ciri yang meninjol sebagai contoh pada saat itu,
kekristenan menjadi terlalu berat, begitu pula Islam lebih berkiblat
pada tanah Arab, Hindu ke India, Buddha ke Srilanka atau Thailand.
Proses purifikasi ini seringpula dimuati oleh masalah-masalah luar ke
dalam negri. Pada gilirannya problem-problem diimpor tersebut bisa
menjadi problem yang menetap dan sukar dicari jalan keluarnya. Daftar
panjang perang agama bisa dutambah dengan konflik-konflik di zaman
modern.
Contohnya, stigma sejarah yang pahit
tentang perang salub turut terungkit juga di Indonesia. Dendam sejarah,
kebencian, serta permusuhan bisa muncul kembali manakala cerita tentang
perang yang berjalan selama berabad-abad itu dibaca dalam konteks
pemahaman yang salah. Begitu pula perang yang terjadi antara golongan
Protestan dan Katolitik di sejarah Eropa bisa pula menimbulkan trauma
yang sama serta menimbulkan kembali prasangka keagamaan yang negatif.
Daftar panjang perang agama, bisa ditambah dengan konflik-konflik di
zaman modern, sebagaimana yang terjadi di Irlandia Utara, Libanon,
Israel, Bosnia dan lain sebagainya.
Dalam hal ini agama bisa berperan sebagai
minyak diatas nyala api yang membakar. Alangkah panas nyala itu menuksa
dan mematikan sekian banuak manusia di panggung sejarah. Ditambah dengan
suara-suara pesimis terhadap fenomena agama bahkan menyimpulkan,
manakala agama berperan dalam konflik dan peperangan. Maka sulit orang
keluar dari sana tanpa luka rohani yang mendalam. Hal tersebut ternyata
terbawa hingga saat ini. sehingga, ruh agama seakan sudah hilang.
Beberapa ciri masyarakat yang sudah kehilangan ruh agama adalah sebagai
berikut :
Pertama, musnahnya kepekaan terhadap nilai
baik. nilai baik dan buruk, lebih banyak menjadi komoditas tanpa
landasan moralitas. Daripada menjadi pandangan hidup yang melekat utug
pada kehidupan individua maupun sosial. Kedua, hubungan sosial
beroriensitasi pada profit semata. Persaudaraan menjadi tandus. Tujuan
hidup tidak lagi memberi banyak perhatian terhadap pertautan hati yang
didasari persamaan, tolong-menolong dan penghargaan nilai kemanuaan.
Doktrin agama hanya menjadi falsafi dan tidak banyak lagi membawa
konsekuensi praktis dalam kehidipan masyarakat.
Ketiga, kebebesan manusia mulai melampaui
batas norma yang menunjukan ketinggian derajatnya sebagai manusia.
Manisia menutup mata terhadap akibat yang dimunculkan oleh tindakan
menuruti naluri rendahnya. Kehidupan kapitalis menjadi trend yang
menggejala. Berbagai polusi budaya mencemari peradaban manusia.
Kemudian, berbagai usaha yang didorong kerakusan, menyebabkan sebagai
masalah sosial, lingkungan dan terandangnya masa depan peradaban manusia
itu sendiri.
Belajar dari luka sejarah yang terus
bergores dalam kehidupan manusia layaknya menusia dapat mengambil
ikhtibar. Bahwa, sudah saatnya nilai-nilai mengajari cinta,
persaudaraan, persamaan dan berbagai sifat mulia launnya dihidupkan di
tengah masyarakat. Manusia harus bisa menerima pluralisme SARA sebagai
sesuatu yang bukan untuk dipertentangkan. Harus pula menyadari bahwa
kekerasan apapun alasannya hanya mendatangkan mudharat, kerugian
mencakup miril dan materil.
Akhirnya, masih mungkinkah membalut luka
sejarah selama ini dengan perban cinta dan damai? Ataukah memang naluri
manusia akan terus doyan pertikaian? Jawabannya berpulang ke
masing-masing individu dan kelompik sosial dari manusia sendiri. Sebab,
tidak ada yang bisa mengubah nasib suatu bangsa, kecuali bangsa itu
sendiri yang akan mengubahnya.
0 komentar:
Posting Komentar