Belakangan ini berkembang opini yang
memunculkan kesan seolah-olah gerakan intoleransi sedang merajalela di
Indonesia. Ah, sepertinya lebay deh.
Para penggerak intoleransi itu disebut-sebut telah, sedang dan akan memperjuangkan tegaknya khilafah di negeri yang mayoritas penduduknya menjunjung tinggi keberagaman atau kebinekaan.
Jika pun aroma intoleransi itu tercium
begitu menyengat oleh sebagian di antara kita, saya menduga lantaran di
DKI Jakarta ada hajatan Pilkada, dan sebagian elite politik di kota ini
tidak menghendaki Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjabat kembali sebagai
Gubernur Jakarta periode 2017-2022.
Siapa sebenarnya yang tidak senang jika
Ahok kembali menjadi Gubernur DKI? Apakah warga Jakarta yang kebetulan
penganut agama mayoritas di negeri ini?
Tidak. Bukan mereka, tapi para elite
politik dan “penjarah” uang rakyat yang sebelum Ahok menjabat sebagai
Gubernur menggantikan Joko Widodo, begitu leluasa berkongsi dengan
penguasa memainkan proyek. Buktinya, beberapa di antara mereka kini
meringkuk di penjara.
Yang belakangan tidak senang dengan Ahok,
sehingga aroma intoleransi semakin tercium ke mana-mana, tentunya adalah
pesaing Ahok di putaran kedua, yaitu pasangan Anies Baswedan-Sandiaga
Uno dan para pendukungnya.
Kubu itu memanfaatkan “napak tilas”
putaran pertama, yaitu tuduhan mengada-ada bahwa Ahok menistakan agama
hanya gara-gara Ahok minta agar warga Jakarta jangan mau diperdaya oleh
elite politik yang memakai sebuah ayat suci dalam memilih pemimpin.
Namun, apa pun yang terjadi, saya beriman
bahwa semua itu terjadi karena seizin Tuhan yang rindu bangsa ini,
khususnya warga DKI Jakarta, semakin dewasa dalam beragama, berinteraksi
sosial, dan berdemokrasi. Juga dalam rangka menempa Ahok agar ia
semakin tangguh dalam memimpin, baik kelak kalau ia terpilih sebagai
Gubernur DKI dalam putaran kedua atau sebaliknya. Rencana Tuhan pasti
indah buat siapa pun.
Logikanya, kalau warga Jakarta menjunjung
tinggi semangat intoleransi seperti yang mungkin dikehendaki oleh
sebagian elite politik dan pendukung pasangan calon gubernur pesaing
Ahok, mantan Bupati Belitung Timur ini sangat mungkin akan gugur di
putaran pertama.
Ya, di putaran pertama tempo hari dia
pasti akan memperoleh suara 10 persen seperti hasil survei yang
dilakukan lembaga surveinya Denny JA.
Faktanya, Ahok memperoleh 42,87 persen
suara. Dengan kata lain ia meraih juara pertama. Di luar DKI Jakarta, ia
sudah dipastikan bakal menjadi Gubernur. Sebagian besar pemilih Ahok
pastinya adalah warga Jakarta penganut agama mayoritas. Bagaimana
mungkin kita menyimpulkan bahwa kelompok intoleran sedang berkuasa atau
marajalela di negeri ini, setidaknya di Jakarta?
Oleh sebab itu saya bisa pahami jika Ketua
Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono sehari sebelum hari
pemungutan suara (15 Februari) mengaku resah seolah-olah ada
“…..phobia”.
Saya juga bisa pahami jika ada sementara
pihak yang menyatakan tidak setuju dengan Presiden Joko Widodo yang
beberapa pekan lalu mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia sudah
kebablasan. (Sumber:
https://news.detik.com/berita/3428904/jokowi-demokrasi-kita-sudah-kebablasan).
Boleh jadi Pakdhe Jokowi menyimpulkan
demikian setelah melihat hiruk-pikuk demokrasi Pilkada di DKI Jakarta
yang diakui atau tidak telah melahirkan kesalahpahaman dalam kebebasan
berpendapat. Ujung-ujungnya, ujaran kebencian, fitnah, bahkan berita
abal-abal (hoax) bernuansa keagamaan dianggap sebagai kebenaran, lalu muncul stigma gerakan intoleransi sedang melanda negeri ini.
Tak usahlah jauh-jauh, di Banten juga ada
Pilkada yang diikuti dua kandidat Calon Gubernur, yaitu Rano Karno yang
didukung partai nasionalis, dan Wahidin Halim yang antara lain didukung
Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Di Jakarta, PKS adalah pendukung berat
Anies-Sandi. Siapa pun tahu bahwa pasukan PKS-lah yang selama ini lihai
berstrategi bagaimana menumbangkan Ahok dengan berbagai cara. Partai ini
diakui pandai mengemas opini dengan pendekatan agama.
Yang menarik, banyak umat Kristen di
Banten memilih Wahidin Halim yang jelas-jelas didukung partai Islam
(PKS). Penasaran dengan fakta seperti itu, saya bertanya kepada sejumlah
anggota komunitas sebuah gereja di Tangerang: “Tanggal 15 Februari lalu
mencoblos siapa?” Jawabannya beragam, ada yang mengaku memilih Rano dan
ada pula yang memilih Wahidin.
Namun, fakta tidak terbantahkan bahwa
wajah demokrasi Pilkada di DKI memang lumayan menyeramkan lantaran kaum
bumi datar atau kaum bersumbu pendek terus membombardir warga Jakarta
dengan isu SARA. Demi Cagub yang didukung memenangi kontestasi Pilkada,
mereka tidak peduli bahwa opini yang mereka bangun telah membuat
sebagian masyarakat semakin bodoh.
Gerakan pembodohan rakyat itu terbukti
memang cukup efektif. Melalui grup WA kemarin (Kamis 2 Maret) saya
mendapat informasi ada seorang pemuka agama yang menolak aksi sosial
(pelayanan pengobatan gratis) di salah satu perkampungan di Jakarta.
Pemuka agama itu menolak lantaran beberapa
aktivis pengobatan gratis mengenakan baju kotak-kotak, identik dengan
Ahok. Dengan kasar, sang pemuka agama menyebut salah seorang relawan
kesehatan dengan kata-kata “setan”.
Beruntung, kasus itu tidak dibiarkan
berlarut-larut. Tim kesehatan bersama aparat keamanan malam harinya lalu
menyambangi rumah sang tokoh yang kemudian meminta maaf dan berharap
agar “aksi bodohnya” itu tidak diperpanjang.
Di luar itu, seruan diskriminatif, seperti
para warga yang memilih Cagub DKI yang tidak seagama tidak akan
mendapatkan pelayanan salat jenazah di rumah Tuhan masih terus
dikumandangkan.
Ujaran kebencian yang ditujukan kepada
etnis Tionghoa lewat WA, Telegram, Twitter, Facebook dan media sosial
lainnya juga terus marak. Bahkan seorang “imam besar” yang tempo hari
memberikan kesaksian di persidangan ke-12 kasus “penistaan agama” pun
ogah berjabatan tangan dengan Ahok dan tim penasihat hukumnya.
Bentuk intoleransikah aksi-aksi di atas?
Menurut saya tidak. Maaf kalau para pembaca Seword tidak sependapat
dengan saya. Saya yakin jika Ahok dan kawan-kawan menyambangi rumahnya,
sang “imam besar” pasti akan membuka pintu rumah dan hatinya.
Jika pun aksi “pembodohan rakyat” itu
masih terjadi sekarang ini, semua itu dilakukan semata-mata bertujuan
atau bermotifkan agar Ahok kalah telak dalam putaran kedua. Tidak lebih
dari itu. Mereka tidak senang jika Ahok yang bukan sekaum dan seagama
(minoritas pula) terus moncer di Jakarta.
Para kaum bumi datar hanya merasa kecolongan karena tidak dinyana kaum bumi bulat dan pemilik akal sehat kok punya prestasi luar biasa. Karena tak bisa melawan dengan akal sehat, SARA pun digunakan.
Terlepas sampai sejauh mana SARA terus
digosok-gosok para kaum bumi datar demi memperjuangkan “yang penting
bukan Ahok”, saya yakin toleransi dan kebinekaan di negeri ini tidak
bakal terkoyak, apalagi sampai luluh lantak.
Bahwa Anies-Sandi bersahabat dengan ormas
yang dituding menjunjung tinggi semangat intoleran, itu adalah hak
Anies. Kita tidak boleh menggugat, apalagi marah dan benci.
Sebaliknya, kita harus dukung, sebab ormas itulah yang menjadi soko guru
Anies-Sandi dalam putaran kedua nanti. Bahwa Anda mau tertawa
terpingkal-pingkal lantaran Anies yang terpelajar didukung ormas yang
kerap menjungkirbalikkan logika tersebut, itu hak Anda.
Demi mengalahkan Ahok-Djarot, dalam
hajatan Pilkada, Anies berhak berbuat apa saja. Namun, saya percaya
Anies sesungguhnya adalah seorang pluralis dan penjunjung tinggi
toleransi.
Ia pasti sangat sadar bahwa di Partai
Gerindra ada orang-orang keturunan Tionghoa yang juga memilihnya dalam
putaran pertama tempo hari.
Anies pasti tahu bahwa di partai itu ada
Hashim S Djojohadikusumo, adik Prabowo Subianto (Ketua Umum Partai
Gerindra). Disebut-sebut Hashim-lah yang kerap mendonasikan uangnya ke
Gerindra. Tanpa mengecilkan peran Sandiaga, boleh jadi Hashim pulalah
yang ikut mendanai kampanye Anies-Sandi, padahal Hashim penganut Kristen
yang oleh teman-teman Anies yang berasal dari kaum bumi datar
diidentikkan dengan kaum kafir.
Selain berteman dengan Lieus Sungkharisma
yang jelas-jelas keturunan Tionghoa, Anies juga berkarib dengan bos MNC
Group, Harry Tanoesoedibjo (HT).
Dibandingkan dengan Ahok, HT tampaknya
lebih Kristen. HT adalah jemaat sebuah gereja beraliran Kharismatik yang
semangat berdakwahnya lebih militan dibanding aliran Protestan seperti
gerejanya Ahok. Ahok adalah jemaat Gereja Kristus Yesus (GKY).
Tidak banyak yang tahu, doktrin gereja
Kharismatik adalah jemaatnya harus bisa menjadi kepala, bukan ekor.
Konkretnya, orang Kristen harus siap menjadi pemimpin di bidang apa pun,
bukan sekadar berada di belakang atau bawah.
Semangat seperti itu tampaknya sudah
tertanam kuat dalam diri HT. Buktinya, ia telah menguasai media massa di
negeri ini, mulai dari media cetak, radio, media online dan televisi. Kurang apa lagi? Ia benar-benar telah menjadi “raja” di bidang media.
Maka jangan heran kalau ia pun merasa
perlu mendirikan partai (Perindo) dan duduk sebagai Ketua Umum. Maaf,
jangan salahkan dan tertawakan HT jika kelak ia mengajukan diri sebagai
calon presiden pada 2019.
Dalam berpolitik, gereja aliran
Kharismatik memang lebih permisif. Tapi, tidak demikian dengan aliran
Protestan, berpolitik agak ditabukan. Politik bahkan dilarang masuk
gereja, meskipun ada juga gereja aliran Kharismatik yang sama sekali
melarang kegiatan politik di gereja.
Akan halnya Ahok. Meskipun ia tercatat
pernah menjadi ketua majelis di gerejanya, aliran Protestan tidak
ekspansif. Gereja beraliran ini dalam misinya lebih fokus ke dalam,
yaitu melakukan pembinaan iman kepada warganya.
Gereja beraliran Protestan tidak mengenal
yang namanya KKR (Kebaktian Kebangunan Rohani). Mendengar KKR, orang
Kristen beraliran Protestan biasanya agak alergi. Istilah KKR bukan
sesuatu yang asing buat gerejanya HT.
Oleh sebab itu, saya bisa pahami jika
Hashim pernah menyebut Ahok sebagai umat Kristen yang tidak baik
(lihat:http://www.tribunnews.com/nasional/2016/12/14/adik-prabowo-subianto-sebut-ahok-bukan-umat-yang-baik).
Di kalangan Kristen beraliran Kharismatik,
sangat mungkin Ahok memang bukan Kristen yang baik, sebab selama
menjabat sebagai Gubernur, Ahok lebih peduli kepada umat Islam daripada
kepada umat Kristen. Suatu kali Ahok bahkan pernah marah-marah kepada
seorang pendeta yang minta perlakuan khusus dari Pemprov DKI dalam soal
izin pendirian gedung gereja.
Ya, sudahlah, jika dalam hajatan Pilkada,
khususnya di DKI Jakarta, muncul kesan ada gerakan intoleransi, anggap
saja itu sebagai warna warni demokrasi dalam proses pemilihan gubernur.
Siapa pun yang menang nanti, situasi dan
kondisi sosial politik akan kembali normal. Menghadapi putaran kedua,
warga Jakarta selayaknya membuka wawasan dan hati, jangan sampai
menyesal di kemudian hari.
Sekali lagi, belajar dari pengalaman
putaran pertama Pilkada DKI, sesungguhnya tidak ada intoleransi di
Jakarta. Yang ada hanyalah kepentingan sesaat. Anies, HT, apalagi Ahok
adalah pejuang toleransi.
0 komentar:
Posting Komentar