Kaum sumbu pendek sering merasuki
sendi-sendi Pemilih di Jakarta dengan kecerdasan mereka yang liar biasa.
Saking cerdasnya, maksud politis mereka selalu berlindung di balik
agama. Orang-orang yang sedang bodoh pun banyak mengikuti mereka.
Sialnya, mereka berani eksis dan narsis dengan siasat politisasi agama
yang mereka padu sedemikian rupa.
Beberapa waktu yang lalu, kaum sumbu
pendek menjatuhkan harga diri mereka lagi yang sudah sangat minus
kuadrat. Saat perayaan Haul Presiden kedua RI Soeharto di Masjid At-Tin,
mereka sukses menurunkan gaungnya yang katanya ‘paling islami’ dengan
cara mengusir plus meneriaki umpatan babi, kofar-kafir, munafik, sorakan
huuu, dan lainnya ke Djarot yang baru hadir di acara tersebut. Berbuat
kasar dengan memakai pakaian khas islam dan berdiri di tempat yang suci
(masjid) seperti itu telah menggambarkan posisi organ tubuh mana yang
salah dari kaum sumbu pendek. Entah salahnya di otak, mulut, hati, atau
lainnya, terserah Anda mau ‘menampar’ mereka di bagian yang mana supaya
mereka normal kembali.
Tanggapan dari Djarot untuk kaum sumbu pendek di Masjid At-Tin
Djarot bukanlah kaum sumbu pendek.
Diperlakukan seperti penjahat oleh kaum sumbu pendek tidak membuat
Djarot lemah atau malah tersulut emosinya. Sebaliknya, reaksi elegan
justru diperlihatkan oleh Djarot. Tetap menampilkan senyum dan gestur
tubuh yang ramah adalah ‘tamparan’ yang memang pantas diarahkan kepada
kaum sumbu pendek pada saat itu. Atau bisa saya katakan, Djarot sudah
memperlakukan dengan manusiawi mereka yang sedang berperilaku bak
binatang. Karena hujatan kotor plus emosi tinggi yang dilakukan
berjamaah di masjd, tidaklah pantas dilakukan oleh manusia manapun.
“Padahal saya diundang. Kan tujuannya
baik. Di masjid loh ini. Tujuannya itu shalawat dan dzikir nasional
untuk keselamatan dan kedamaian negeri. Kok perilakunya begitu mereka.
Ya masuk aja biasa gapapa. Biar aja, biar aja,” kata Djarot.
Sudah menjadi tontonan umum kalau kaum
sumbu pendek itu sering memberi stempel kofar-kafir, munafik, dll kepada
orang yang tak sepaham dengannya. Hal ini menjadikan medsos dan dunia
nyata menjadi rawan bagi orang-orang yang mendukung Ahok. Buktinya saja
sudah jelas, politisasi mayat pendukung Ahok yang dimuat dalam
spanduk-spanduk provokatif tersebar di mana-mana. Sadis.
Saya sendiri sangat tidak mengiyakan
perbuatan dari kaum sumbu pendek yang sering menjelek-jelekan orang lain
dengan stempel kafir sampai munafik tersebut. Persetan dengan siapa
jagoan mereka di Pilkada. Kalau mereka sudah berbicara layaknya di
posisi Tuhan yang dengan Maha segalanya, maka perbuatan mereka itu sudah
tidak benar terlepas dari siapa jagoannya.
Tamasya Al-Maidah di hari H Pilkada
Baru-baru ini beredar ajakan untuk
mengikuti program bertajuk ‘Tamasya Al-Maidah’. Program tamasya ini
bertujuan untuk menegakan Al-Maidah 51 di TPS-TPS di Jakarta saat hari
pencoblosan 19 April nanti. Wah, bodoh rasanya jika ada yang mengatakan
maksud tamasya ini bukan untuk menjegal Ahok. Lihat saja poster di bawah
ini, dan tarik kesimpulan Anda masing-masing.
Program ini jelas adalah agenda keroyokan
dari kaum sumbu pendek untuk mengalihkan suara Ahok di hari H. Mereka
pasti akan mengintimidasi Pemilih sebelum mencoblos di bilik suara.
Aturan main yang tertera di poster bisa jadi alasan kenapa saya
berasumsi demikian. Kalau sudah begini, Pemilih di Jakarta harus
menguatkan hati nurani supaya tidak tergoda bahkan terbujuk oleh tamasya
yang bisa saya bilang adalah cara jorok terakhir sebelum melihat Ahok
menang.
Oh ya, mengenai tamasya ini, saya jadi
terpaksa memodifikasi lagu populer anak yang berjudul Naik Becak yang
saya kira dapat melukiskan tamasya ini akan seperti apa. Baca sesuai
irama lagunya.
“Saya mau tamasya
Berkeliling keliling Jakarta
Hendak melihat-lihat
Keramaian Pilkada
Saya memanggil dia
Pemilih di #Jakarta
Hey, hello, elu pilih siapa?Saya gaje sendiri
Sambil intimidasi Pemilih
Melihat dengan sinis
Ke kanan dan ke kiri
Lihat calonku kalah
Tamasya tak berguna
Becak, becak, tolong tabrak saya”
Seru kan lagunya?
Djarot: Tamasya Al-Maidah, opo maneh iki
“Kemarin pas di lapangan, saya diberitahu
media, ada ‘Tamasya Al-Maidah’, opo maneh iki? Seluruh warga diminta
datang ke Jakarta untuk mengawal masing-masing TPS, ngapain?” kata Djarot,
dalam acara peluncuran Tim Reaksi Cepat Bhinneka Tunggal Ika-Basuki
Djarot, di Jalan Talang Nomor 3, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu
(18/3/2017).
Menurut Djarot, sudah banyak pihak yang
menjadi saksi dan mengawal pelaksanaan pilkada di tiap TPS. Saksi itu
berasal dari saksi tiap pasangan calon, petugas Kelompok Penyelenggaraan
Pemungutan Suara (KPPS), personel TNI/Polri, dan saksi dari pemerintah.
“Saksinya sudah banyak, enggak perlu
undang (warga) seluruh Indonesia, apalagi pakai (alasan menegakkan)
Al-Maidah. Ketawa sendiri saya, lucu,” tambah Djarot. Saya pun
mengiyakan sambil manggut-manggut plus ketawa. Haha, Djarot ‘menampar’
kaum sumbu pendek (lagi).
Saya kira apa yang dikatakan Djarot sudah
benar. Kaum sumbu pendek hanya beralasan ana-ini-anu untuk mengalahkan
Ahok semata. Tamasya Al-Maidah tidak lain adalah cara TERAKHIR dari kaum
sumbu pendek untuk mempengaruhi Pemilih di Jakarta supaya memilih
Anies-Sandi. Kita yang waras mesti mensyukuri hal ini. Harapnya,
kekerdilan kaum sumbu pendek dalam berpikir dan bertindak berhenti
sampai di sana. Tapi tetap saja tidak bisa dipungkiri, saya ingin sekali
menampar kaum sumbu pendek dalam arti yang sebenarnya. Pembaca Seword
ada yang mau ikut?
Salam.
Suara ini rasa-rasanya….
0 komentar:
Posting Komentar