Pemerintah China dan Arab Saudi, Kamis
kemarin menandatangani sederet nota kesepahaman bernilai 65 miliar dolar
atau sekitar Rp 866 triliun saat kunjungan kerja Raja Salman ke China.
Kesepakatan yang ditandatangani itu
termasuk kerja sama di bidang investasi, energi, dan sektor-sektor
lainnya. China adalah negara keempat di Asia yang menjadi tujuan
kunjungan kerja Raja Salman untuk mempromosikan peluang investasi di
Arab Saudi termasuk menjual saham perusahaan minyak Saudi Aramco.
Presiden Xi Jingping mengatakan kunjungan
Raja Salman menunjukkan pentingnya Arab Saudi menjaga hubungannya dengan
China. “Kunjungan ini akan mendorong dan terus meningkatkan kualitas
hubungan kedua negara demi keuntungan bersama,” katanya.
Selain hubungan ekonomi, China dan Arab Saudi juga bekerja sama di bidang keamanan dan pertahanan.
Kapal-kapal perang China juga telah mengunjungi kota pelabuhan Jeddah sebagai bagian operasinya di Teluk Aden.
Kapal-kapal perang China juga telah mengunjungi kota pelabuhan Jeddah sebagai bagian operasinya di Teluk Aden.
Nah, sekarang kita sudah tahu kerja sama
Arab Saudi dan China bernilai 866 triliun Rupiah. Bagaimana dengan kerja
sama Arab Saudi dan Indonesia?
Dikabarkan dari berbagai media, ternyata
Raja Salman telah menyetujui kerja sama investasi di proyek Refinery
Development Master Plan Program (RDMP) Cilacap, antara Pertamina dan
Saudi Aramco.
Total investasi Arab Saudi adalah US$6 miliar atau senilai Rp79,8 triliun. Arab Saudi juga berkomitmen untuk memberi pinjaman melalui Saudi Fund Contribution to The Financing of Development Project senilai US$1 miliar. Total investasi yang dibawa Raja Salman adalah Rp93,1 triliun.
Total investasi Arab Saudi adalah US$6 miliar atau senilai Rp79,8 triliun. Arab Saudi juga berkomitmen untuk memberi pinjaman melalui Saudi Fund Contribution to The Financing of Development Project senilai US$1 miliar. Total investasi yang dibawa Raja Salman adalah Rp93,1 triliun.
Di sisi lain pemerintah Indonesia
sebenarnya berharap kedatangan Raja Salman kali ini dapat berinvestasi
sebesar US$25 miliar. Nyatanya hanya dapat US$7 miliar, atau hanya
sekitar 10 persen dari nilai kerja sama Arab Saudi dan China.
Sebenarnya sudah lumayan lah dan saya juga
bukan mau fokus di sini, melainkan bertanya-tanya apa reaksi kaum
sebelah saat mengetahui ini. Jujur, melihat reaksi dan pola pikir
mereka, saya lumayan gerah. Jokowi kerja sama dengan China dibilang
Jokowi menjual Indonesia ke China. Banyak juga yang teriak-teriak aseng.
Aseng salah apa coba? Teriak kafir lah, aseng lah, antek China lah.
Liat tuh Raja Salman di China. Berani nggak mereka komentar miring?
Mereka tidak sadar, senang tidak senang,
China sudah menjadi negara dengan kekuatan dunia yang sebentar lagi akan
menyalip Amerika. Amerika sekarang saja kejang-kejang menghadapi
serbuan produk buatan China. Namanya juga ekonomi gila-gilaan. Mau
nutupi kenyataan?
Lihat sejarah, Indonesia duluan merdeka
tahun 1945, Republik Rakyat Cina (RRC) terbentuk tahun 1949. Dulu negara
ini miskinnya nggak ketulungan. Saking sengsaranya banyak yang migrasi
ke negara-negara lain untuk kehidupan yang lebih baik. Sekarang lihat
sendiri sebesar apa ekonomi China. Suka tidak suka, suatu hari nanti
China akan menguasai dunia. Indonesia yang kaya sumber daya alam dan
duluan merdeka saja sangat jauh tertinggal dengan China.
Di saat Jokowi baru membangun
infrastruktur, China sudah membangun besar-besaran. Infrastrukturnya
mengerikan, industri di sana juga sebentar lagi nomor satu di dunia.
China dari dulu sudah berlari kencang di saat Indonesia baru mau belajar
berlari. Dengan kenyataan ini wajar kalau Arab Saudi juga ingin kerja
sama dengan negara ini dengan nilai yang besar. Namanya juga kepentingan
bisnis, pasti memperhitungkan untung ruginya.
Kaum sebelah tampaknya tidak bisa menerima
kenyataan ini. Arab Saudi saja tidak masalah, kenapa sini banyak yang
mempermasalahkan. Kerja sama dengan China dibilang antek aseng.
Pemikiran macam apa ini?
Saya pernah dikirimi broadcast yang
menceritakan tujuan kedatangan Raja Salman ke Indonesia. Isinya kurang
lebih begini. Raja Salman datang ke Indonesia untuk membantu umat Islam
Indonesia dan berkeinginan membayar semua hutang Jokowi ke komunis China
dan investasi besar-besaran, supaya pemerintah Jokowi bebas dari China
komunis dan tidak dikendalikan China lagi. Saking antinya dengan aseng,
otak pun jadi delusi seperti ini, bikin hoax untuk membohongi diri
sendiri.
Mungkin Dubai bisa menjadi contoh yang
bagus. Kota modern ini terkenal dengan kemewahan dan banyak rekor yang
ditorehkan seperti Mall terbesar di dunia (Dubai Mall), gedung terbesar
di dunia (Burj Khalifa), air mancur menari terbesar di dunia, hotel
termewah di dunia (Burj Al Arab), bianglala tertinggi di dunia (Dubai
Eye), pulau reklamasi buatan terbesar di dunia (Palm Jumeirah & Palm
Jebel Ali), ski indoor terbesar di dunia (Mall of Emirates) dan
lainnya.
Uniknya orang lokal (Emirati) hanya
sekitar 10 persen dari jumlah total penduduk Dubai dan malah orang India
yang menjadi mayoritas (sekitar 30 persen) di sana disusul orang
Pakistan. Intinya hampir 90 persen penduduk di sana adalah pendatang
atau ekspatriat. Orang sana tidak teriak-teriak Indianisasi atau
Pakistanisasi. Mereka baik-baik saja padahal jadi minoritas, tidak
rusuh. Padahal UEA adalah negara Arab muslim dan orang India kebanyakan
Hindu. Toh mereka baik-baik saja.
Intinya kita harus introspeksi kenapa
negara lain bisa maju, nggak ribut, fine-fine saja tidak seperti di
sini. Kapan negara ini bisa maju kalau ada kaum yang dikit-dikit demo
tak jelas, hobi bikin hoax yang membodohi masyarakat, pilkada dengan
jualan agama dan mirisnya laku pula, toleransi tipis, gesek sedikit
langsung emosi, kerja sama dengan negara lain dibilang antek negara itu,
suka bikin isu meresahkan, dikit-dikit nyinyir.
Kapan majunya kalau begitu? Negara lain pun enggan investasi.
Bagaimana menurut Anda?
0 komentar:
Posting Komentar